Tahu kan ‘polisi tidur’? Itu lho gundukan tanah atau material lain yang dipasang melintang di jalan, yang berfungsi untuk menghambat laju kendaraan. Fungsinya kurang lebih ini seperti shock lines (garis kejut) yang dipasang di beberapa area jalan raya, misalnya menjelang perlintasan kereta api, untuk mengingatkan para pengendara kendaraan bermotor agar melambatkan laju kendaraannya atau mengejutkan para sopir agar tetap waspada karena di depan ada sesuatu yang mengharuskannya berjalan pelan dan berhati-hati.
Dalam banyak kasus, pembuat ‘polisi tidur’ adalah warga sekitar. Mereka berinisiatif membuat ‘polisi tidur’ biasanya untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan karena pengguna jalan sering kali memacu kendaraannya terlalu kencang tanpa menghiraukan situasi.
Tidak tahu siapa yang memulai menyebut gundukan-melintang itu dengan istilah ‘polisi tidur’. Tapi istilah ini telah umum digunakan dan tidak ada yang tersinggung, termasuk polisi. Padahal kalau dipikir-pikir, istilah itu terasa menyinggung profesi polisi. Bayangkan, jalan yang biasa dilindas oleh kendaraan dan diinjak-injak oleh kaki itu disebut dengan istilah ‘polisi’. Ini terasa merendahkan profesi polisi yang seharusnya dihormati. Jangankan polisi, orang biasa saja tidak mau disamakan dengan sesuatu yang sesuatu itu fungsinya untuk dilindas dan diinjak-injak.
Konon, legenda tinju dunia, Muhammad Ali, tidak mau namanya dipasang di trotoar The Hollywood Walk of Fame bersama dengan nama-nama pesohor dunia lain karena namanya menyandang nama dua orang mulia di dunia, Muhammad dan Ali. Baginya, tidak layak nama Muhammad Ali dipasang di jalanan untuk diinjak-injak kaki orang yang berlalu lalang. Karena itu, keramik bertuliskan nama Muhammad Ali adalah satu-satunya keramik yang dipasang di tembok berdiri, bukan di trotoar.
Penamaan ‘polisi tidur’ juga bisa mengandung makna lain yang mengganggu. Selama ini ada kesan umum bahwa kalau ada polisi yang berjaga di pinggir jalan, para pengendara dihinggapi perasaan was-was. Sekalipun rasanya sudah melengkapi seluruh surat-surat dan berusaha sedemikian rupa tidak melanggar peraturan lalu lintas, tapi setiap kali melihat polisi sedang berjaga di pinggir jalan, pengendara kendaraan bermotor didera kekhawatiran. Apalagi kalau tangan polisi mulai melambai-lambai menghentikannya, petanyaan pertama yang terlintas adalah apa salah saya. Mungkin karena itulah, gundukan-melintang itu disebut dengan istilah ‘polisi tidur’, karena fungsinya untuk membuat pengendara memelankan kendaran, karena bahkan melajukan kendaraan saja kita sudah dibuat merasa bersalah.
Sekalipun pembuatan ‘polisi tidur’ diniati untuk tujuan baik, para pengguna jalan yang sedang melintas di atasnya seringkali menggerutu, bahkan memaki-maki. Mereka merasa laju kendaraannya terganggu. ‘Polisi tidur’ itu membuatnya tak nyaman karena si pengemudi dan penumpangnya harus menikmati terlempar ke udara akibat lonjakan jalan.
Apalagi, tidak jarang ada jalan di mana setiap seratus meter dipasang ‘polisi tidur’. Gerutuan atau makian akan semakin sering terlontar keluar. Bayangkan, kita mengendarai motor atau mobil dan setiap seratus meter harus merasakan sensasi terlempar ke udara.
Tinggi rendah nada gerutuan atau makian ini biasanya berbanding lurus dengan tinggi rendah gundukan. Semakin tinggi ‘polisi tidur’, semakin tinggi pula nada gerutuan atau makian.
Kejengkelan ini bisa dimengerti karena ada ‘polisi tidur’ yang terlalu tinggi hingga menyentuh gardan mobil atau tatakan mesin motor. Karenanya, kendaraan harus dilajukan dengan sangat pelan agar gundukan itu tidak melukai bagian bawah kendaraan. Untuk gundukan yang terlalu tinggi ini, masyarakat secara kreatif menyebutnya dengan istilah ‘polisi jongkok’.
Begitu menjengkelkannya ‘polisi tidur’ ini bagi pengguna jalan, hingga ada gurauan yang umum di masyarakat, “Polisi itu tidur saja mengganggu, apalagi bangun.”
Tapi yang mengherankan adalah mengapa tidak ada polisi yang tersinggung dengan penggunaan istilah ‘polisi tidur’ ini? Mengapa polisi tidak merasa bahwa istilah ‘polisi tidur’ melecehkannya atau melecehkan institusi kepolisian? Dalam kasus ‘polisi tidur’ ini, polisi terasa sangat bijaksana dan humoris. Polisi memiliki kebesaran hati yang luar biasa bahwa istilah ‘polisi’ boleh-boleh saja digunakan untuk menamai sesuatu yang bernada kritik dan humor.
Dalam konteks kritik bernada humor inilah lahir humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur yang terkenal itu. Gus Dur pernah berkelakar bahwa hanya ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Tapi rupanya humor itu kini dianggap mencemarkan nama baik institusi Polri. Setidaknya, itulah yang saat ini terjadi Maluku Utara saat seorang pria memposting di FB-nya humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur itu. Karena postingan itu, si pria diselidiki aparat kepolisian karena dianggap mencemarkan institusi Polri dan karenanya harus meminta maaf di depan media.
Saya membayangkan, andaikan istilah ‘polisi tidur’ yang tidak kalah menggemaskan dengan humor Gus Dur itu dianggap mencemarkan institusi Polri, mungkin akan ada penyelidikan massal oleh kepolisian. Bisa jadi akan ada penangkapan besar-besaran terhadap siapa saja yang menyebut gundukan jalan itu dengan istilah ‘polisi tidur’. Mungkin juga akan ada pelacakan siapa dalang pertama yang mencetuskan nama itu. Mungkin juga akan ada kerja bakti massal membongkar seluruh gundukan di jalanan untuk menghentikan kemungkinan pemakaian istilah ‘polisi tidur’.
Tapi untunglah tidak ada polisi yang terlalu baper dengan istilah ‘polisi tidur’. Sehingga, kita tetap bisa tidur dengan nyamar di dalam mobil sekalipun seringkali gerundel karena harus tergeragap setiap kali melindas ‘polisi tidur’. ‘Polisi tidur’ memang seringkai mengganggu perjalanan kita. Untunglah, dia hanya tidur sehingga tak bisa menangkap kita. Gitu saja kok repot!
Sumber: arrahim.id