Suatu kemampuan dasar manusia untuk bertahan hidup adalah kemampuannya untuk menyelesaikan masalah. Tentu untuk memecahkan masalah harus terlebih dahulu mencari akar masalah. Namun terkadang justru penyebabnya malah dituduhkan pada yang lain. Sesuatu yang ditimpakan tuduhan sebagai penyebab hal buruk, meski biasanya tidak berhubungan sama sekali dengan fenomena yang terjadi. Terutama terhadap korban musibah, di mana tuduhan kebanyakan dilemparkan dengan disertai rasa benci maupun iri.
Adanya fenomena ini membuat saya berpikir kembali. Apakah fenomena ini memang suatu kewajaran, meski ironis, di negeri kita ini? Di mana korban musibah malah dihakimi berdosa sangat berat sampai mendapat azab. Dari sini saya berusaha menarik akar fenomena ini dari kebudayaan kita. Mencari tahu pokok permasalahan melalui akar historisnya.
Sebenarnya kisah azab memang bukanlah hal yang baru. Konsep ada di berbagai tempat di masyarakat dengan berbagai keyakinan. Mungkin kita pernah dengar bahwa Pompeii terkena azab sehingga terkubur karena letusan Vesuvius. Kisah lain juga mengatakan bahwa Atlantis tenggelam karena azab atas ulah warganya yang sudah menyimpang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa azab bukanlah hanya budaya milik kita.
Lalu bagaimana di Indonesia sendiri? Apa yang menunjukkan bahwa azab memang sudah ada sejak lama dalam budaya kita? Kita mungkin diceritakan kisah mengenai Malin Kundang. Pemuda yang merantau dan menjadi sukses di kota. Begitu kembali dan bertemu orangtuanya, rupanya si Malin sudah jadi anak durhaka. Maka geramlah sang ibu dan mengutuk si Malin. Diazablah Malin dan seluruh armada kapalnya. Buktinya konon adalah adanya batu yang menyerupai orang yang sedang bersujud di pantai di Sumatera Barat.
Malin Kundang adalah suatu legenda dari Sumatera Barat. Legenda adalah prosa rakyat berupa cerita di masa lalu yang dianggap benar-benar terjadi dan ditokohi manusia. Legenda juga termasuk folklor di mana kita dapat mempelajari kebudayaan darinya. Menurut James Danandjaja dalam Folklor Indonesia (1984), Folklor adalah suatu kebudayan kolektif masyarakat yang diwariskan turun temurun dan biasanya berbentuk lisan. Fungsi folklor Malin Kundang ini adalah pengesahan pranata kolektif masyarakat, alat pendidikan anak, dan juga alat pemaksa agar mematuhi norma. Dengan kata lain, azab sudah melekat pada kebudayaan kolektif masyarakat.
Azab ini memang memiliki fungsi kontrol, tetapi juga memiliki konsekuensi yang meresahkan. Saking meresahkannya Tan Malaka sampai membuat buku untuk mengkritik masyarakat yang masih terkungkung dalam logika mistik. Istilah ini Tan Malaka gunakan untuk menyebut pola pikir dari kaum mistikus yang bukannya mencari pokok permasalahan melainkan langsung menganggapnya sebagai bentuk kuasa Tuhan semata. Buku itu adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Madilog ditulis pada 1942-1943 yang menandakan tidak lama sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia masih berada di dalam pengaruh kuat logika mistik.
Tidak hanya Tan Malaka yang kesal karena budaya yang cenderung fatalis ini. Sukarno justru lebih dahulu mengkritik kaum Islam yang terlalu kaku dan terlalu fokus pada urusan akhirat. Islam bukanlah kepercayaan yang beku tetapi manusianyalah yang beku, begitu ujar Sukarno dalam Islam Sontoloyo. Sukarno melihat kaum Islam yang sontoloyo dan malah mengacaukan pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Kaum Islam itu seharusnya moderat dan bukannya taklid buta.
Masalah azab ini tidak berhenti di era pra kemerdekaan. Indonesia masih terperangkap dalam konsep azab yang tidak berfungsi semestinya setelah merdeka. Penyimpangan itu membuat masyarakat Indonesia terlalu percaya pada takhayul. Mochtar Lubis menyebutkan bahwa salah satu ciri dari manusia Indonesia adalah percaya pada takhayul. Mereka mempercayai berbagai mitos yang ada.
Lebih jauh lagi Mochtar Lubis mengatakan bahwa manusia Indonesia menggunakan berbagai simbol untuk melindungi diri mereka. Hal ini selayaknya orang yang menggunakan jimat untuk menolak bala. Jika tidak mengikuti simbol itu maka musibahlah yang akan mereka peroleh. Simbol itu yang akhirnya malah membuat manusia Indonesia terlena di dalam pengaruh simbol itu. Seolah-olah keadaan akan baik-baik saja dengan simbol itu dan mereka tidak akan mampu berbuat tanpa simbol itu. Hasilnya adalah hambatan yang luar biasa pada kemajuan manusia Indonesia. Pendapat Mochtar Lubis itu disampaikan dalam suatu pidatonya pada 1977 yang dibukukan menjadi Manusia Indonesia.
Di luar itu Mochtar Lubis juga pernah menulis novel yang cukup terkenal, Harimau Harimau, yang masih berkaitan dengan azab dan takhayul. Novel ini bercerita mengenai beberapa yang sedang pergi ke hutan dan justru membuat mereka harus bergumul dengan berbagai hal. Semuanya disebabkan karena hadirnya harimau yang tidak mengizinkan mereka keluar hidup-hidup dari hutan. Pergumulan terjadi dengan tujuan untuk menyelamatkan mereka, agar mereka bisa kembali ke desa.
Cerita ini adalah simbolisasi pertarungan manusia dengan berbagai mitos. Suatu kisah tentang upaya manusia agar terbebas dari hal yang menghambat mereka. Melawan banyak musuh yang datang dari berbagai penjuru, baik yang terlihat ataupun tidak terlihat. Pertaruhan demi keselamatan jiwa mereka. Meski begitu tokoh yang ada justru berhasil menyelamatkan diri setelah menyingkirkan pengaruh tuduhan azab dari pikirannya dan memutuskan beralih pada pikiran yang rasional.
Tetapi pertanyaannya adalah, apakah masyarakat Indonesia sudah berhasil keluar dari kubangan lumpur azab? Apakah upaya tokoh-tokoh bangsa kita itu sudah berhasil? Merefleksikan kondisi sekarang ini justru menimbulkan rasa pahit. Entah bagaimana reaksi Tan Malaka, Sukarno, Mochtar Lubis, dan tokoh-tokoh lain yang berusaha membebaskan bangsa mereka dari logika mistik, melihat kondisi sekarang ini.
Sumber: alif.id