Pandemi semakin menjebak kecemasan di hampir seluruh aras kehidupan. Satu dari kecemasan yang berulang-ulang didaras pemberitaan adalah kecemasan pada kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protocol pencegahan serta menjaga kesehatan. Kenapa cuma itu?
Sebab kecemasan-kecemasan lain ternyata jauh diungkapkan seorang saintis Ed Yong dalam artikelnya yang berjudul “The New Coronavirus Is Truly Modern Epidemic” yang tersiar di The Atlantic (03/02/2020). Ed Yong menjelaskan betapa dunia dalam banyak babak akan menghadapi krisis epidemi. Secara aktual, prediksi itu disampaikan tahun 2018 dalam artikel “The Next Plague is Coming. Is America Ready?”
Sebagai ilmuwan mikrobiologi, Ed memprediksi ketidaksiapan dunia menghadapi pandemi. “The world isn’t ready. There has assuredly been progress—vaccines can be produced faster, global cooperation is tighter, basic research is nimbler—but supply chains are stretched, misinformation is rife, and investments in preparedness always fall into neglect once panic subsides.”
Kegagapan yang disorot Ed Yong adalah, pertama kekuatan mental, dan kedua merebaknya asumsi pada persebaran informasi yang sudah dalam taraf distraktif hingga mengaburkan kepakaran (the death of expertise). Pada titik terparah, informasi tanpa klarifikasi lembaga otoritatif, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebar secara serampangan. Carl Bersgston epidemologi dan sosiolog sains dari University of Washington, mengatakan sejak pandemi muncul, para ilmuwan telah menerbitkan lebih dari 7.500 makalah tentang Covid-19. Sialnya, temuan itu belum banyak membantu.
Kabar ini diperkeruh dengan dugaan akhir pandemi yang masih kabur, karenanya jelas menuntut kepatutan atau ‘common decency’ masyarakat terhadap upaya pencegahan transmisibiltas virus ini.
Dalam praktiknya, semenjak awal Maret pemerintah terlihat tidak siap. Ketidaksiapan pemerintah untuk tanggap cepat, ketidaksigapan di sektor-sektor, dan tidak sinkronnya hubungan antarlembaga lalu berujung pada strategi tambal sulam. Meskipun demikian, pemerintah pusat selalu mengkampanyekan supaya masyarakat disiplin, beraktivitas dengan merujuk protokol Covid-19: menjaga jarak, mencuci tangan, menggunakan masker, menghindari kerumunan serta larangan mudik. Anjuran-anjuran yang sifatnya emergency treatmens itu meski hanya sebagai itikad preventif (dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbiil masholih) dalam ‘pencegahan’ dan pembasmian banyak garis mutasi dari virus corona, tapi hal itu cukup menggedor kewaspadaan kita.
Sayang seribu sayang, kembali masyarakat tak mengindahkan protokoler dan cenderung tidak disiplin, bahkan di masa new normal. Jalanan masih ramai lalu-lalang pengendara motor—yang tak bermasker dan angkutan umum yang tak menjalankan protokolnya, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat lain masih banyak ditemukan majlis bergerombol. Karantina Wilayah, PSBB dan pengurangan frekuensi perpindahan orang antara wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah hanya dianggap angin lalu. Secara menyedihkan, kita lalu menilik angka grafik korban terpapar Covid-19 yang, kian hari kian bertambah.
Moralitas dan Keterlibatan
Meski, sejauh yang terdengar adalah suara kecemasan, ternyata ada normalitas baru yang mengemuka dalam tekstur masyarakat Indonesia, yaitu etos khidmah atau keterlibatan kepada pihak yang membutuhkan uluran tangan. Gerakan #SalingJaga antar sesama yang diinisiasi oleh Jaringan Gusdurian misalnya, telah mengetuk kesadaran fitri yang humanis. Belum dengan gerakan masyarakat lain yang bahu-membahu memberantas penyebaran virus tersebut.
Bukan tanpa sejarah. Latar sosiologis yang menekan dominasi keterlibatan itu, menumbuhkan asumsi bahwa civil society di Asia mempunyai dua kaki, satunya berpijak pada masyarakat dan yang lainnya bergantung pada politik. Inilah hal yang menjadi penting untuk dipelajari dan menjadi pelajaran yang berharga, karena gagasan dan etos kesejahteraan bersama yang mulanya menjadi lawan individualisme dan tetap dipelihara sebagai pilar kolektivitas sosial ternyata tidak otonom dari kekuasaan dan kekuatan negara. Meskipun terkadang masyarakat terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah (too much goverment) namun, sikap dan ketegasan pemerintah tetap akan menjadi acuan masyarakat dalam bertindak, terutama membangun moralitas kebajikan (social virtues).
Pilar society tidaklah hanya organisasi, asosiasi masyarakat, lebih mendasar dari itu adalah pribadi.
Dalam sejarah sosial, ada nilai-nilai yang secara esensial berbeda antara masyarakat “Barat” dengan masyarakat “Timur.” Peradaban Barat, melalui Filsafat Yunani, dilandasi oleh semangat pencerahan yang menekankan hak-hak individualisme, sementara masyarakat Timur yang terkenal religius itu selalu menekankan nilai komunitarianisme sebagai landasan etos sosial bersama (a collectivist ethos). Komunitarianisme Asia adalah sesuatu yang tidak bersifat privat, tapi menjadi publik, dalam arti semua orang mempunyai potensi untuk saling membagi kebersamaan.
Dus, nilai sosial kebersamaan masyarakat (sense of community) mendapatkan ujian di masa pandemi ini, tapi di sisi lain, perilaku volunterisme—atau dalam konteks ini penulis sebut sebagai khidmah—sama ganjarannya dengan ibadah. Bahwa kita yang hidup adalah hidup dalam komunitas, di mana kita berbicara dan membagi kasih sayang antar sesama sebagai perwujudan diri sendiri (self-realization) secara otentik.
Lantas, dari mana harus diperkuat ‘etos khidmah’ dalam membentuk masyarakat peduli sekarang ini? dalam rangka memperkuat kembali moralitas lewat keluwesan pribadi atau kelembagaan sosial yang strategis.
Pertama, adalah the family, dalam lingkungan keluarga. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga menjadi elemen penting bagi kesejahteraan sosial. Pendidikan nilai kebersamaan yang ditumbuhkan melalui basis keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anggota keluarga dalam melakukan tindakan inklusif dengan berbagi kasih sayang kepada orang lain.
Kedua, lewat bahasa dan lembaga-lembaga keagamaan. Sejauh ini di kalangan lembaga agama, tradisi philanthropy dan amal sedekah yang bersifat karitatif masih kuat. Begitu juga semangat voluntarisme sebagai ibadah. Dalam praktiknya, bahasa lembaga dalam melanggengkan tradisi philanthropy itu sangat membantu fondasi lembaga tersebut terhadap tuduhan personalisasi tertentu.
Ketiga, lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah. Tidak sedikit, dari sekolah-sekolah yang hanya tertarik “menjual ilmu” daripada mendidik kebajikan, apalagi yang bersifat sosial. Tidak dengan pesantren, yang mendayagunakan dua elemen penting dalam pendidikan, melalui dakwah bil lisan dan dakwah bil hal. Dua komposisi itu menjadi bekal santri dalam menjalankan khidmah mereka kepada masyarakat, terutama dalam masa-masa sulit seperti ini.
Keempat, khidmah dengan mengembangkan mutual aid and voluntary hospitals. Rumah-rumah sakit lokal yang memberikan pelayanan terhadap kelas sosial yang rentan melalui program volunter dan melalui program asuransi semacam prepaid insurance bagi masyarakat terdampak.
Ala kulli hal, secara naluriah, wabah itu membentuk solidaritas sosial di tingkat kewaspadaan antar sesama. Mustofa Akyol menyebut fenomena ini semestinya dimanfaatkan tidak hanya untuk membangun rasa nasionalisme saja, melainkan juga solidaritas internasionalisme. Gagasan yang juga sudah lama diideasikan oleh ulama-ulama nusantara berupa trilogi ukhuwah: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah.