Bisakah agama dan politik dipisahkan? Sepanjang masa banyak orang mencoba memisahkan agama dan politik, tapi tak berhasil. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah memisahkan otoritas agama dan otoritas negara. Inilah yang disebut sebagai sekularisme. Ada sekularisme yang berbasis di masyarakat seperti di Amerika Serikat. Ada sekularisme yang berasal dari desain ketatanegaraan seperti di Turki jaman Mustafa Kemal.
Tapi sekularisme tak pernah benar-benar berhasil memenangkan pertandingan. Kenyataannya, orang terus menemukan cara-cara baru untuk mengaitkan agama dan dan proses kenegaraan. Agama tak berhasil didorong untuk diam di ranah privat seperti yang diinginkan oleh para penyeru sekularisme. Sosiolog Jose Casanova (2001) pernah mengatakan bahwa ada gejala resurgensi global civil society di mana agama memainkan peran-peran yang makin publik. Agama, kata Casanova, kian jelas mengalami de-privatisasi ketimbang privatisasi.
Lalu mengapa agama selamanya susah dipisahkan dari urusan negara? Mari kita lihat bagaimana kedua hal itu bekerja di ranah individu.
Penyebab utama dekatnya agama dan negara sederhana saja: Keduanya adalah saudara kembar. Agama dan negara sama-sama lahir dari upaya manusia untuk mengorganisir diri berbasiskan keyakinan yang semula bekerja di ranah individual. Karena keyakinan individual itu dibentuk bersama, memiliki nuansa yang sama, maka manusia lalu berkelompok menjadikannya keyakinan kolektif. Keyakinan kolektif itulah yang menghasilkan otoritas agama dan otoritas negara. Keduanya sering bekerja bersamaan terhadap seorang individu. Karenanya, kebanyakan individu terikat pada struktur negara sekaligus struktur agama.
Sejarawan Harari dalam bukunya yang kini sangat kondang, Sapiens, mengatakan bahwa manusia berkelompok secara bertahap dengan dua menggunakan dua alat. Yang pertama adalah gosip, yang kedua adalah fiksi. Iya betul. Kalau Anda cuma belajar dari medsos dan ILC, istilah fiksi dalam konteks ini mungkin Anda dengar pertama kali dari Rocky Gerung.
Kalau rajin baca, Anda akan tahu bahwa beberapa pemikir sudah membahasnya sejak lama di karya mereka, dengan istilah dan langgam sedikit berbeda. Tapi mari saya pinjam cara pikir Harari saja di tulisan ini. Siapa tahu setelah ini yang belum baca jadi ingin baca bukunya. Anda tinggal pilih mau yang versi bahasa Ibrani (2011), Inggris (2014) atau Indonesia (2017).
Harari mengatakan bahwa di tahap-tahap awal, kemampuan manusia berkelompok sangat ditopang oleh berkembangnya bahasa. Penggunaan bahasa memungkinkan manusia untuk membahas tentang hal-hal riil yang ada di sekitarnya. Bahasa membuat manusia bisa bergosip. Kapasitas bergosip inilah yang memberi manusia kemampuan untuk membangun kelompok dalam jumlah yang terbatas, maksimal sekitar 150 orang.
Tapi gosip ini tak sanggup mengikat manusia lebih dari 150 orang. Manusia butuh sesuatu yang lebih kuat daripada bahasan tentang hal-hal nyata, agar bisa mengelompok dalam ukuran lebih besar. Ketika gosip tak lagi sanggup mengikat manusia dalam ukuran yang kian membesar, hadirlah sesuatu yang lain, yakni fiksi – sesuatu yang hadir dalam pikiran manusia, tanpa harus dibuktikan dulu di dunia nyata. Kehadiran imajinasi kolektif ini menyatukan manusia dalam skala yang jauh lebih besar daripada gosip.
Dengan imajinasi kolektif, manusia bebas untuk meyakini sesuatu yang sama, termasuk tentang dewa-dewi dan visi ideologis. Dengan fiksi ini lah manusia bisa berkreasi membangun struktur agama yang makin lama makin besar, atau membangun negara modern dengan puluhan atau ratusan juta manusia di dalamnya, atau bahkan memimpikan sebuah negara berskala global seperti yang dilakukan oleh orang-orang seperti Alexander the Great, Adolf Hitler, dan para pegiat Hizbuttahrir.
Agama dan politik bekerja di ruang yang sama dalam diri seorang manusia, yakni imajinasinya tentang sesuatu yang ideal dan abadi. Itulah sebabnya agama dan politik selamanya tak akan bisa dipisahkan. Terima saja kenyataan ini.
Sumber: islami.co