Refleksi Bagi Penerus Perjuangan Gus Dur

Bismillahirrahmanirrahim.

Setiap orang memiliki makna tersendiri terhadap Gus Dur, terutama bagi yang pernah bertemu, dan  apalagi bagi mereka yang merasa mewarisi pemikirannya. Seorang yang menulis biografi Gus Dur, bernama Greg Barton menyebutkan bahwa dasar-dasar pemikiran Gus Dur adalah liberalisme. Dalam tulisannya tentang “Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”, Barton menyebut dasar pemikiran Gus Dur adalah humanitarianisme liberal, karena ia sangat memperhatikan harmoni sosial, toleransi, hak-hak, dan kepentingan orang lain. Dalam hal ini, penting dikatakan, bahwa Gus Dur seorang yang memiliki perhatian terhadap hal-hal demikian sangatlah terang, tetapi mengatakan dasar-dasar pemikiran Gus Dur adalah humanitarianisme liberal adalah persoalan.

Versi lain salah seorang sahabat Gus Dur, bernama Djohan Efendi, pernah mengungkapkan kepada penulis bahwa Gus Dur itu seorang Humanis. Bahkan di batu nisannya, konon menurut Djohan, Gus Dur ingin ditulis: “Di sini telah dimakamkam seorang humanis”. Kalaupun betul itu dikutip dari Gus Dur, tentu tidak serta merta bisa dibaca dasar-dasar pemikirannya adalah humanisme. Bahwa dimensi humanistik (dalam bahasa para pegiat humanisme) menjadi bagian dari konsen Gus Dur, sudah jelas tidak perlu ditutup-tutupi. Akan tetapi mengatakan dan mengusung an sich humanisme yang mendasari perjuangan Gus Dur, mutlak perlu ditelaah kembali.

KH. Husein Muhammad, karib Gus Dur yang lain, mencoba membalik, dengan menyebut Gus Dur sebagai seorang zahid dalam buku yang judulnya Sang Zahid. Poinnya menempatkan aspek-aspek seperti perhatian terhadap harmoni sosial, toleransi, hak-hak, dan kepentingan orang lain; dan dimensi humanistik lain, adalah bagian an sich dari dimensi Gus Dur sebagai seorang zahid. Kiai Husein mencoba menyelami dari sudut dalam. Sebagai seorang karib sekaligus minum-makan dari air kehidupan pesantren (termasuk tasawuf), tetapi Kiai Husein tidak secara langsung membahas dimensi tauhid dan hubungannya dengan Gus Dur.

Dimensi lain lagi juga muncul lewat GUSDURian, sebuah perkumpulan yang saat ini mengaku meneruskan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Mereka merumuskan nilai-nilai Gus Dur ada sembilan, dan yang mendasarinya adalah tauhid. Penggunaan kata tauhid diambil dari dimensi terdalam dalam agama Islam. Akan tetapi penjabaran dan pendetilan dalam wilayah pergerakan dan pengkaderan, belum memperoleh cukup makna dan etos untuk menyambungkan konsep tauhid itu dengan gerakan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Tampak ada kegamangan dan keterputusan. Tapi pengambilan nilai tauhid itu yang mendasari perjuangan Gus Dur sudah sangat berarti membalik aspek-aspek, yang dikonsepsi misalnya oleh Greg Barton atau model-model pengetahuan gaya Djohan Efendi.

Terlepas dari itu semua, harus diakui, Gus Dur sudah menjadi tokoh publik, guru bangsa, dan pejuang kemanusiaan-keadilan kaliber internasional. Perjuangan dan pemikirannya kemudian banyak dibaca anak-anak muda santri NU dan sebagian non-santri, di Indonesia atau di luar negeri. Dari konteks demikian, ada petuah dari seorang guru, bahwa untuk menjadi seorang berkaliber yang nasional dan internasional, tidaklah berarti tercerabut dari komunitas dan akar pengetahuan komunitasnya, meskipun telah melahap berbagai pengetahuan lewat buku. Dan, Gus Dur adalah bagian dari sejenis ini.

NU-Aswaja An-Nahdliyah

Saya ingin memulai dari soal ini. Melepaskan Gus Dur dengan NU, sama saja dengan melepaskan dimensi Gus Dur yang teramat urgen. Dia lahir di pesantren pencetak kiai-kiai NU, anak dan cucu tokoh NU, dan dia sendiri memimpin NU beberapa periode. Bahkan Gus Mus saja, dalam diskusi Kristalisasi Pemikiran Gus Dur di Jakarta, tetap mengatakan dengan jujur “NU Nunut Gus Dur”, bukan sebaliknya, yang tetap menghubungkan Gus Dur dengan NU. Meski begitu, kata Gus Mus ini juga mengandung sayap-sayap, yang detil-detilnya tidak sederhana dijelaskan.

Yang jelas, tidak sedikit pada zamannya, tokoh NU sendiri tidak setuju dengan gerakan dan pemikiran Gus Dur. Itu sudah jelas dan diulas di banyak tempat. Akan tetapi, yang orang lupa, Mbah Ali Maksum dan Mbah Achmad Shidiq, sebagai pemimpin tertinggi NU pada zamannya selalu menjadi “pembelanya” dari berbagai serangan-serangan yang dialamatkan kepadanya. Gus Dur sendiri dalam acara Kick Andy mengatakan, kalau dia sebenarnya melaksanakan titah dari beberapa guru spiritualnya. Sampai diibaratkan, kalau mereka memerintahkan masuk ke dalam api, dia juga siap.

Nah, dari sini, dimensi Gus Dur sudah semakin jelas, melepaskan Gus Dur dari NU, adalah kesalahan fatal. Gus Dur menjadi tokoh yang hidup dari basis komunitas NU, dan dari NU untuk bangsa dan dunia, sesuatu yang tidak perlu dipisahkan, apalagi mau dihilangkan. Terlepas orang tidak suka macam apa pun dengan NU, fakta itu teramat jelas untuk dijungkirbalikkan. Pewaris pemikiran dan pelanjut perjuangan Gus Dur, semestinya tidak alpa soal ini.

Melepaskan Gus Dur dengan Ahlussunnah Waljamaah an-Nahdliyah juga bukan suatu yang bijak, kalau tidak mau disebut sebuah kesalahan fatal. Gus Dur tidak pernah berangkat dari marxisme, tidak berangkat dari kapitalisme, tidak pernah berangkat dari seorang humanis an sich yang dilepaskan dari dunia batin dan pengetahuan kultural kawah Aswaja an-Nahdliyah. Akan tetapi semua dimensi itu, diambil dan disaring, sehingga pancaran-pancaran itu menyuguhkan gerakan, pemikiran, dan sikap yang dimensinya meluas dan banyak.

Dalam berbagai argumentasi, sikap-sikap, dan pemikiran, Gus Dur selalu tidak melepaskan dari kaidah-kaidah fiqhiyah, penafsiran dengan mengutip al-Qur’an, pendapat-pendapat ulama, dan dunia akidah yang disebutnya sendiri sebagai Ahlussunnah Waljamaah, dalam beberapa tulisannya. Bahkan dalam bahasa Inggris Gus Dur pernah menulis satu bagian tentang Ahlussunah Waljamaah, di samping di dalam buku Islam Kosmopolitan. Belum lagi pergaulan dan ta’zhim-nya dengan para guru di kalangan sesepuh Ahlussunah Waljmaaah, tidak kurang-kurang untuk disebutkan. Tulisan ini tidak bermaksud terlalu jauh untuk menelusuri bagian-bagian Gus Dur dan Aswaja secara detil, sebab itu memerlukan kajian tersendiri.

Maknanya bagi Gerakan

Makna pertautan NU dan Aswaja Nahdliyah bagi gerakan yang menghubungkan dengan Gus Dur adalah, pembedaan antara apa yang disebut: posisi ketika membangun poros bersama memartabatkan negeri tercinta Indonesia, yang sangat digandrungi Gus Dur; dan posisi ketika membangun basis komunitasnya di kalangan santri NU, dalam melakukan kaderisasi dan penggemblengan-penggemblengan.

Dapat dilihat secara jelas, ketika dengan sahabat-sahabat dan tetangganya (sahabat dan tetangga Gus Dur), dia menggalang kekuatan membangun Indonesia dan dunia, dan oleh karena itu, mereka membentuk Fordem dan basis-basis masyarakat sipil di berbagai gerakan. Ketika membagun poros bersama, yang juga berbeda-beda ini, Gus Dur tidak lagi berbicara perihal NU dan dunia rumah tangga komunitasnya. Gus Dur sangat lihai menempatkan, kapan harus bersama sahabat-sahabatnya berbicara tentang Indonesia dan dunia; dan kapan kembali ke komunitas dan menggembleng komunitasnya untuk bisa bertransformasi diri dengan modal sosial pengetahuan yang dimiliki bersama komunitasnya itu, yang nantinya diobsesikan untuk membangun masyarakat Indonesia, negara, dan dunia.

Bagi dunia gerakan, akan menimbulkan pilihan: Pertama, gerakan membentuk poros bersama sahabat-sahabat Gus Dur, untuk agenda tentang Indonesia dan dunia secara luas. Yang diajak adalah kelompok-kelompok lintas agama/iman/kepercayaan, ideologi, dan orientasi politik dari asal-usul yang beragam. Model Fordem dan basis-basis masyarakat sipil itu yang dibangun. Harus ada kesadaran, meski bermacam-macam kepentingannya dari sudut asal-usul komunitas, tetapi memiliki kesamaan-kesamaan tujuan tertentu, di dalam masyarakat Indonesia, sehingga ada titik temu gerakan bersama di dalam Negara Pancasila dan NKRI.

Konsekuensinya, dalam gerakan demikian tidak perlu membicarakan hal-hal yang dimensinya kelompok basis Gus Dur, seperti misalnya tentang NU tauhid, sang zahid, Sarkub, tarekat, guru spiritual, dan lain-lain. Gerakan yang demikian sah-sah saja, dan diperlukan untuk membangun martabat bangsa, memperkuat masyarakat yang sadar akan negaranya dan tugas kemanusiannya, tetapi konteksnya melepaskan sekat-sekat dan menyepakati bagian-bagian mana yang harus diperjuangkan bersama.

Kedua, gerakan yang berusaha membangun kader-kader yang memahami secara kuat pemahaman, basis-basis pemikiran, laku-laku gerakan, dunia Aswaja na-Nahdliyah, dan dimensi-dimensi luas Gus Dur, termasuk spiritualitas Gus Dur. Dengan sendirinya, model ini berupaya membangun kader-kader dan gerakan yang menghubungkan dengan komunitasnya, tetapi tetap diorientasikan untuk mentransformasikan komunitas, dan pada saat yang sama mempersiapkan rekayasa membangun Indonesia dan dunia.

Maka yang dibicarakan dan menjadi tujuan, adalah mendesain kader-kader yang sebagaimana nilai-nilai Gus Dur pegangi sendiri, yaitu dia berbicara di dan dalam rumah tangganya. Maka tidak canggung lagi, ketika akan membicarakan makna tauhid di dalam dimensi Gus Dur yang berporos pada konsep asyhadu an la ilaha illallah dan yang berhubungan dengannya, Islam tradisi, dan berbagai hubungan dengan perjuangan Indonesia, dan lain-lain, dari sudut seorang NU. Gus Dur membangun kader-kader sejenis ini, di kalangan komunitasnya di NU.

Tiga Penerus Perjuangan Gus Dur

Pada saat ini, sebagian dari mereka yang terilhami dan merasa tetap meneruskan perjuangan Gus Dur ada dalam tiga jenis:

1. Pasca Gus Dur

Sebagian ada yang menginginkan pasca Gus Dur, yang sebenarnya adalah berorientasi pada tendensi kuat dari tradisi pengetahuan yang dimilikinya sendiri, yang diadopsi dari pemilihan dan anutan ilmu sosial tertentu yang telah dipelajari, misalnya dari sudut kiri. Di katakannya, Gus Dur ada di zamannya, dan pada saat ini zamannya sudah berubah. Apa yang menjadi pemikiran Gus Dur harus diolah kembali, didedah ulang, dan dipertajam kembali. Mereka tidak menginginkan dan merasa, kerugian besar adanya pembakuan terhadap nilai-nilai Gus Dur, apalagi pendakuan terhadap pewarisan perjuangan Gus Dur.

Jumlah kelompok ini tidak besar, sehingga secara langsung tidak berani memakai dan menggerus pemikiran Gus Dur sebagai usang, dan tidak kontekstual lagi. Mereka ini, cocok bagi para pencari, karena tidak memiliki tanggungjawab komunitas secara langsung, kecuali imajinasi membangun masa depan, tetapi sebenarnya posisinya ada di pinggiran. Yang dipikirkan adalah ke depan dan ke depan, yang tidak merasa penting menoleh ke belakang. Mereka membentuk irisan tersendiri dan kadang menyebut “kami melakukan kerja-kerja sebagaimana dilakukan Gus Dur” tanpa harus disebut sebagai pendaku penerus perjuangan Gus Dur; pada saat yang sama mereka tidak lagi tertarik dengan komunitas di mana Gus Dur dulu berjuang, sehingga tercecer secara kultural saja; dan di sisi lain mereka menggunakan tradisi ilmu dan cara pandang yang dimilikinya, untuk melakukan kerja-kerja yang disebut kerja-kerja Gus Dur.

Di antara mereka ini, adalah anak-anak yang pernah lahir dari rahim pesantren. Mereka menetapkan titik berangkat perjuangan bukan lagi dari komunitas di mana Gus Dur berasal, tetapi berasal dari imajinasi dan pikiran yang selalu mengharapkan kemajuan, tanpa mau menoleh ke belakang bersama komunitas yang dibangun Gus Dur, meskipun mereka dari pesantren. Soal apakah dimensi dan pola seperti ini baik, saya memiliki banyak kritik dan tidak perlu saya uraikan di bagian ini.

2. Organisasi dengan Nama Gus Dur

Mereka ini marasa berhak mewarisi perjuangan dan pemikiran Gus Dur, dan memakai nama yang mengeksklusi siapa pun yang menghubungkan dengan Gus Dur. Tujuan awalnya adalah baik, untuk menghindari penggunaan nama Gus Dur bagi petualang yang menerobos lembah kebusukan di belantara sosial dan politik; dan untuk mengonsolidasikan gerakan masyarakat yang tetap menghidupkan perjuangan Gus Dur. Gerakan ini mengandaikan adanya pembakuan dan kanonisasi, yang hal ini telah dilakukan. Akan tetapi kanonisasi ini kemudian mengarah pada penumpulan gerakan yang melepaskan spiritualitas Gus Dur, karena orientasinya ingin memperluas cakupan jumlah kader, tetapi sebenarnya adalah memperdangkal gerakan.

Pola yang ditempuh, sebagaimana pola yang mirip dengan Fordem (atau gerakan masyarakat sipil lain), tetapi juga bukan sebagaimana Fordem. Mirip pola Fordem, karena maunya mengorganisir dan merekrut sedapat mungkin dari berbagai aliran sebagaimana Fordem. Tetapi tidak seperti Fordem, karena Fordem membicarakan aspek-aspek perjuangan bersama demokrasi di Indonesia, yang masing-masing orang bisa berangkat dari asal usul dan tradisi masing-masing. Nah mereka dari jenis kedua ini, berbeda dari jenis tradisi yang dibangun Gus Dur ketika ia membangun Fordem atau sejenis gerakan masyarakat sipil.

Karenanya, mereka dari jenis kedua ini tidak mampu menancapkan aspek-aspek terdalam dari pendasaran perjuangan Gus Dur, tentang Islam Nusantara, tauhid, suluk, Islam tradisi, dan lain-lain; tetapi pada saat yang sama mengalami penumpulan. Tujuan mendidik kader yang akan menjadi Gus Dur-Gus Dur baru semakin tidak fokus, karena harus berkompromi dengan kenyataan, luasnya asal usul para kader yang dididik, yang di masing-masing komunitas mereka memiliki kepentingan dan loyalitas terhadap komunitas mereka sendiri. Laksana sebuah EO seminar yang tema seminarnya adalah pemikiran Gus Dur, mengulang-ulang. Tapi bagi kaum minimalis, fenomena ini dilihat sebagai tidak apa-apa, daripada tidak sama sekali.

Padahal perlu diingat, bahwa peserta pelatihan di mana organisasi ini melakukan kelas-kelas pemikiran, bukan untuk seminar, tetapi mendidik kader. Lama kelamaan, akan semakin tercipta lapisan kader yang berjarak dari dimensi dalam dan nilai-nilai yang sebenarnya mendasari Gus Dur, terutama aspek tauhid dan spiritualitas Aswaja. Mereka hanya akan meraup pemikiran Gus Dur, bukan mencerap nilai-nilai dan perjalanan untuk menjadi Gus Dur.

Memang ada ketakutan, secara ndakik-ndakik, akan terdapat tuduhan terjadi penyempitan, yang sejatinya justru penajaman dan pendasaran yang lebih kokoh untuk melahirkan Gus Dur-Gus Dur baru, meskipun tidak sekaliber Gus Dur sebenarnya. Ketakutan ini akan melanda para pewaris gerakan yang sudah terlanjur meyakini bahwa dengan jalan mirip Fordem tetapi juga tidak sama dengan Fordem, yang paling sah memaknai dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Yang sebenarnya adalah kefatalan dalam memaknai, apa artinya sahabat Gus Dur, dan apa makna perjuangan bersama dalam konteks Indonesia; dan apa kontestasi yang telah dan tengah terjadi sesungguhnya di dalam republik ini.

Yang lebih parah adalah, konsekuensi dari kenyataan bahwa pelepasan Gus Dur dari aspek-aspek terdalam hubungan Gus Dur dengan NU dan Aswaja an-Nahdliyah, akan menjadikan kader-kader yang dididik, sebagai kader yang telah dianggap dan merasa memahami Gus Dur. Akan tetapi justru di mana-mana akan melawan dan mengkritik komunitas di mana Gus Dur melakukan transformasi tradisi, tanpa mau membangun dan mengubahnya. Di sisi lain, ada banyak orang di komunitas di mana Gus Dur berasal, yang nantinya melihat organisasi yang menyelenggarakan kelas-kelas pemikiran Gus Dur ini, telah melakukan pengkhianatan terhadap Gus Dur sendiri, karena memotong aspek terdalam dari rangkain perjuangan Gus Dur tentang masyarakat, negara, dan manusia, yaitu NU dan Ahlussunnah Waljamaah an-Nahdliyah.

Dalam jangka panjang, kader-kader itu malah akan bisa memusuhi komunitas mereka masing-masing, bukan berusaha membangun dan mentransformasikannya. Sementara yang telah sadar, dan menganggap kader-kader yang dididik di situ sebenarnya hanyalah sebuah tempat mengasah, mereka memperoleh berbagai alat dan pengetahuan yang akan digunakan untuk memengaruhi komunitas mereka masing-masing. Manakala nantinya mereka sadar bahwa di Indonesia ini sebenarnya adalah kompetisi dan pertarungan, mereka mengetahui apa dan seberapa kuat dapur dari komunitas di mana Gus Dur dibesarkan. Memang semuanya tergantung pilihan-pilihan dan tujuan-tujuannya. Hanya saja, pada saat sekarang ini, kohesi gerakan semacam ini semakin menurun, dan trennya orang kembali ke komunitas, meskipun usaha-usaha bersama memikirkan dan membangun Indonesia mutlak diperlukan.

3. Kerja-Kerja Gus Dur

Mereka adalah yang tidak mau mengikuti jalan pasca Gus Dur, tetapi sangat tidak nyaman dengan pola pembakuan dan kanonisasi, jumlahnya jauh lebih besar, tetapi tercecer di mana-mana. Mereka menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi bagi sebagian kerja-kerja mereka, baik di dunia akademik, pergerakan masyarakat, ataupun di dunia politik kebudayaan. Mereka ini utamanya adalah anak-anak NU yang tidak masuk di organisasi yang mendaku paling mewarisi perjuangan Gus Dur. Pada umumnya mereka tersebar di berbagai tempat dan organisasi sayap di mana komunitas Gus Dur dulu dibangun, yaitu NU.

Jenis, pola pengetahuan, dan cara-cara kerja mereka beragam, seiring dengan keragaman dan kemampuan mereka menghubungkan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur. Pada umumnya mereka bekerja dengan titik berangkat dari komunitas NU, tetapi cara dan kerja-kerja yang dilakukan berperspektif Gus Dur. Di dalam wacana sosial dan pertarungan sosial, jenis ketiga ini dalam beberapa hal tidak memiliki titik temu dengan jenis kedua, dalam soal perbedaan titik berangkat ini, terkecuali bagi mereka yang bisa menyambungkannya, dan mencari titik temunya.

Dalam praksis, akan mempengaruhi aspek-aspek ketika membela dan membangun gagasan tertentu, cara mengoposisikannya, dan cara beraliansinya. Kasus di Yogyakarta menjadi salah satu contoh bagaimana benturan dan perbedaan ini terjadi. Dalam jangka panjang, bahkan mungkin bisa berbenturan, bila organisasi yang mendidik kader-kader dalam kelas-kelas pemikiran Gus Dur itu mengasumsikan sebagai titik berangkat dari proyek membangun komunitas masyarakat, Negara, dan manusia, yang berarti membangun sebuah Ormas atau sebuah NGO, yang berbeda dengan pola Fordem dan masyarakat gerakan masyarakat sipil lain.

Karenanya, dalam menanggapi sesuatu bisa sangat berbeda dengan organisasi komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkannya, yaitu NU. Tetapi semuanya sah-sah saja, kalau menggunakan ukuran demokrasi, tetapi yang perlu diingat Gus Dur tidak selalu memakai ukuran demokrasi untuk semua hal, karena nilai-nilai yang mendasarinya adalah tauhid.

Lalu, Bagaimana?

Cara paling elegan adalah mempertautkan dan memberikan pemilahan. Pertama, jenis pertama, tidak perlu dirisaukan, sebab pola dan model mereka adalah kerja-kerja para pencari. Kalau pencarian selesai dan memperoleh petunjuk dari Yang Maha Hidup, mereka akan kembali lagi; sedangkan mereka yang tetap puas dengan pengerangkaan analisis-analisis, yang mau melampaui atau pasca Gus Dur, akan menjadi marjinal karena mereka tidak memiliki basis komunitas. Kerja-kerja mereka adalah intelektual. Dan itu hak setiap orang.

Agar mereka tetap eksis, maka mereka akan membutuhkan pijakan komunitas organisasi dan komunitas kultural. Mereka akan membentuk sebuah organisasi taktis. Basis komunitas yang akan dipakai adalah masyarakat NU, tetapi titik berangkat dan taktik perjuangannya bukan lagi menggunakan wawasan dan khazanah pengetahuan Aswaja an-Nahdliyah. Ada yang menggunakan simbol simbol-simbol Nahdliyin dan ada yang tidak. Sebagai contoh yang menggunakan simbol Nahdliyin, untuk meloloskan agenda-agenda perjuangan mereka, yang khas bahasa membela rakyat, kaum tertindas, dan lain-lain, yang dalam banyak hal, justru di berbagai tempat bisa mengoposisi NU, tetapi juga bisa bersama-sama tergantung radikalisasi di tubuh mereka sendiri, siapa yang kuat mempengaruhi dan mengendalikannya; dan seberapa besar kecanggihan bisa mempertautkannya.

Mereka akan melakukan radikalisasi di kantong-kantong NU dengan alasan melawan eksploitasi SDA dan penghancuran terhadap masyarakat NU. Sebuah alasan yang terlihat masuk akal dan empatik, tetapi sering kali bisa berbenturan dengan NU sebagai jam`iyah yang memang terseok-seok, karena perbedaan titik berangkat dan komitmen terhadap perjuangan jami`yah. Radikalisasi ini akan menimbulkan friksi di tengah masyarakat NU, dengan kasus-kasus yang seakan masuk akal, karena adanya alasan penindasan eksploitasi SDA, misalnya. Akan tetapi efek jangka panjangnya: mereka tidak berusaha membenahi jam`iyah NU, tetapi mereka mengiris jamiyah dengan jamaahnya; dan akan semakin mengeroposkan NU.

Keprihatinan mereka sangat mendasar dan patut diacungi jempol, tetapi ketidakberanian mereka membuat pijakan yang lebih nasional (semacam Front Nasional), dan menggunakan embel-embel Nahdliyin, justru akan memperhadapkan Nahdliyin di kantong-kantong yang bergolak dalam soal SDA, baik dengan NU atau dengan penguasa dan pusat-pusat pengendali eksploitasi SDA, dan ini menimbulkan tanda tanya. Kalau tujuan mereka kotor, maka maksudnya akan tercapai, tetapi kalau tujuan mereka suci, tetap aka ada usaha mensinergikan dan memperbaiki jam`iyah, meskipun titik berangkat mereka berbeda. Hanya saja, secara taktis gerakan, hal ini akan merugikan, karena seakan-akan isu SDA hanyalah masalah Nahdliyin, padahal sejatinya adalah tidak. Mereka akan menceburkan soal eksploitasi SDA hanya dalam lingkaran Nahdliyin, menambah blunder dan pengroposan gerakan masyarakat sipil di bidang ini secara lebih luas, dan memperhadapkan risikonya dengan NU dan masyarakat NU.

Cara paling elegan adalah, melihat perjuangan mereka sebagai mulia, tetapi mereka sendiri, tidak serta merta menjadikan NU sebagai oposisi, tetapi bagaimana mentransformasikan NU, dan karenanya mereka juga berkewajiban membenahi dan memperbaiki NU. Pada saat yang sama tetap menjalankan agenda-agenda kerakyatan itu. Jalan ini bukan suatu yang gampang, berarti mereka harus berangkat dari titik, sebagai seorang NU, dan ini tidak mudah diterapkan. Belum lagi akan diperdebatkan: siapa NU, apa ukurannya, mana kartu NU-nya, dan lain-lain. Khas intelektual dan para pencari.

Kedua, organisasi yang mewarisi perjuangan Gus Dur dan menggunakan nama kebesarannya, bila tidak bisa memilah, bagaimana cara berinteraksi dengan sahabat dan tetangga Gus Dur, dan bagaimana berinteraksi dengan mempertimbangkan asal usul kader dalam kelas-kelas pemikiran itu, mereka akan terkurung dalam lingkaran panjang: mereka yang masuk pelatihan dan kelas-kelas itu tidak semuanya ingin menjadi seorang berlabel organisasi dengan ada Gus Dur-nya, atau tidak berangkat dari titik organisasi yang mewarisi perjuangan Gus Dur; dan akan menjadikan organisasi, mendefinisikan dirinya sendiri sebagai hal yang berbeda dengan komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkannya, yaitu NU.

Pada hari ini, sebagian yang berjalan adalah ini, sehingga menjadikan sebagain kader dan elitnya, kalau tidak mengkritik komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkan, adalah menganggap diri tidak kritis. Sementara kemauan untuk membenahi dan mentransformasikan komunitas itu tidak muncul secara kolektif, bahkan tidak ada keberanian untruk membenahinya.

Cara paling elegan adalah mempertautkan di antara dua ujung itu. Dengan para sahabat dan tetangga-tetangga Gus Dur adalah berbicara level perjuangan keindonesiaan dan kemanusiaan, dengan mentransfer pemikiran Gus Dur yang berkaitan dengan itu. Tetapi dalam dimensi lain, yang lebih fokus dan terarah, harus ada keberanian menghubungkan pemikiran-pemikiran Gus Dur dengan pelatihan bagi kader-kader untuk mengenali tauhid, suluk, Islam Nusantara, Islam Tradisi, NU, dan lain-lain, tanpa harus dilepaskan dari wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.

Yang perlu diingat lagi, kalau organisasi ini tidak melangkah menjadi Ormas, maka kader-kader lulusan dari kelas-kelas ini akan menganggap perkumpulan ini sebagai salah satu terminal saja. Terminal utamanya adalah komunitas masing-masing kader, yang nanti kader-kader itu berlabuh dalam sistem sosial. Apa yang tidak mendalam dan mendangkalkan di kelas-kelas pemikiran Gus Dur, tetapi sudah mendaku mewakili dan pernah dididik dalam satu organisasi yang paling Gus Dur sekali itu, akan menyeret anak-anak ini dalam kesombongan. Muaranya, akan menciptakan anomali bila tidak segera bisa kembali menyambungkan Gus Dur, NU dan Aswaja an-Nahdliyyah, lalu Indonesia, dan dunia.

Ketiga, mereka yang melakukan kerja-kerja dengan perspektif Gus Dur, tidak akan membahayakannya dan nama besarnya, karena Gus Dur sudah bermakna kata kerja. Bajunya, ada di komunitas di mana Gus Dur dulu berkarya dan melakukan transformasi, yaitu di NU dan organ-organ yang ada di bawahnya. Mereka lebih ringan bebannya karena tidak mendaku menggunakan nama organ yang langsung membawa embel-embel Gus Dur. Hanya saja, mereka akan memiliki potensi besar dalam beririsan dengan jenis kedua dan pertama, karena mereka menetapkan pencapaian tujuan gerakan berasal dari titik berangkat komunitasnya. Sedangkan mereka yang mengaku-aku menggunakan embel-embel Gus Dur secara formal ketika melakukan kerja-kerja Gus Dur, berada di luar jangkauan jenis ketiga ini, yang dengan sendirinya juga akan teramputasi.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat, menjadi bahan refleksi para kader yang mengaku, pernah punya hubungan atau merasa berhubungan dengan perjuangan Gus Dur, untuk memperjuangkan pemikiran dan kerja-kerja sosial di tengah masyarakat Indonesia.

Walhamdulillahirabbilalamin.

Sumber: santrigusdur.com

Intelektual Muda Nahdlatul Ulama' (NU) dan Penulis buku Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni, Sejarah Lengkap Wahhabi, dan lain-lain.