Gus Dur menemani kiai, ulama, dan pengurus NU, yang berusia sebaya, di atasnya dikit, atau di bawahnya sedikit. Kira-kira, Gus Dur menemani mereka yang lahir tahun 1920an, 1930an, 1940an, dan 1950an. Gus Dur sendiri lahir tahun 1940.
Gus Dur menyambangi para santri kakeknya, para teman ayahandanya, para santri yang sanadnya nyambung dengan bebeberapa pesantren inti dan juga sanad tarekat, baik yang mu’tabar ataupun ghairu mu’abar.
Saat Gus Dur masih sugeng, kita menyaksikan beliau tidak pernah berhenti keliling daerah. Itu dilakukan sejak usia muda hingga menjelang wafatnya, akhir Desember 2009. Mungkin tidak ada kabupaten di Jawa yang tidak pernah dikunjunginya. Kita tahu juga –baik dari tulisan-tulisan yang dibuat sendiri ataupun dari kisah-kisahnya– Gus Dur menjalin huhungan dekat dengan para ulama dari Aceh, Medan, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Makassar, Lombok, Bali, dan lain-lain.
Saking seringnya Gus Dur ke daerah-daerah, tahun-tahun 1980an, banyak aktivis NU menemuinya di terminal atau di stasiun kereta api. Pastinya, Gus Dur naik pesawat juga. Tak heran, belakangan ini banyak beredar foto-foto Gus Dur masih muda sedang ada di Klaten, Wonosobo, Banyuwangi, Lampung, Makassar, Jombang, Tasikmalaya, dan lain sebagainya.
Agenda Gus Dur “menemani” para kiai atau aktivis NU tidak saja dalam rangka membawa informasi, memberi pencerahan, menyampaikan ide-ide, tapi Gus Dur juga “menyerap” sesuatu dari mereka. Itulah kenapa Gus Dur bertahan sangat lama dalam melakukan kelananya. Kalau cuma memberi, Gus Dur pasti kehabisan energi. Dan Gus Dur memang tidak berpretensi “memberi”, Gus Dur tak berpretensi “menyelesaikan” sesuatu. Gus Dur rileks saja, mengalir saja..
Bagaimana dengan Gus Im?
Hasyim Wahid –namanya “keramat” sekali– atau kita kenal dengan Gus Im lahir tahun 1953. Secara umur, ia sebaya dengan, sekedar menyebut contoh, Kiai Masdar Farid Mas’udi dan Kiai Said Aqil.
Gus Im menemani para kader NU atau pesantren yang lahir sekitar tahun 1960an dan 1970an, tapi juga bertemu dengan yang lahir 1980an awal. Agustus 2006, setelah Jogja Gempa, Gus Im dibantu Shaleh Isre dan Akhmad Fikri AF, mengumpulkan beberapa anak muda untuk bicara film. Gus Im menunggui selama tiga hari, di sebuah wisma di Kaliurang.
Kira-kira, jika Gus Dur menemani para orang tua, maka Gus Im menemani anak-anak muda. Jika Gus Dur banyak menemani para kiai yang punya pesantren, maka Gus Im menemani para santri dan masyarakat NU yang kebanyakan orang-orang biasa. Mereka anak kiai kampung yang kira-kira akan menjadi penggerak NU di kemudian hari. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis PMII, GP Ansor, dan IPNU. Mungkin, dari pengalaman menemani anak-anak muda yang kebanyakan bukan “darah biru” pesantren itulah, Gus Im pernah mengatakan begini, “Jika ingin bertahan, NU tidak bisa hanya mengandalkan ‘nasab’ dalam kaderisasi, tapi juga ‘sanad’.” Sanad di sini bermakna otoritas ilmu pengetahuan dan kemampuan atau daya pengorganisasian masyarakat. Di sini kita harus mencatat bahwa Gus Im, sebagai “darah biru”, melakukan otokritik yang sangat tajam.
Ada satu perbedaan lagi antara Gus Dur dan Gus Im: Jika Gus Dur jarang menyebut buku-buku, bahkan terkesan “menyembunyikan” referensi-referensinya, maka Gus Im suka merekomendasi buku-buku untuk dibaca. Perbedaan ini mungkin karena perbedaan “segmen” yang saya sebut di atas. Padahal kita tahu, dua orang ini, adalah kutu buku pilih tanding. Gus Im dan Gus Dur pernah duet bareng menerjemah buku karya Seyed Husein Nasr yang judulnya “Islam antara Cita dan Fakta” (saat saya mahasiswa tidak punya duit, almarhum Zainal Arifin Thoha memberi 50 eksemplar buku ini untuk dijual. Saya masih menyimpan buku ini beberapa eksemplar di rumah, di Losari-Cirebon sana).
Perbedaan penting lainnya adalah, jika Gus Dur menampakkan diri secara terbuka, termasuk dengan rutin menulis dan tampil sebagai pembicara di acara publik, mewacanakan ide-ide, maka adiknya tidak. Gus Im lebih selektif, terbatas, klandestin, dan bernuansa ideologis. Gus Im dalam sebuah wawancara menyebut kakaknya itu seorang pendidik, maka harus terbuka.
Di samping perbedaan, kita juga menjumpai kesamaan, antara Gus Dur, dalam menemani dan mendekati masyarakat NU atau pesantren. Dan persamaan ini membuat keduanya sangat berkarakter. Apakah itu?
Jawabnya tak lain kecuali “ziarah kubur”. Ya, Gus Dur dan Gus Im, sebagaimana yang kita saksikan, rajin ziarah kubur. Bahkan keduanya banyak memberi informasi kuburan-kuburan yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat. Apa istimewanya ziarah kubur?
Banyak orang mengira ziarah kubur cuma ziarah kubur. Tidak banyak yang membaca bahwa ziarah adalah simbol dari dunia yang luas, yang menyambungkan dari mulai “nasab” hingga “sanad”. Ziarah kubur lebih dari sekedar tanbih bahwa hidup ini cuma mampir ngumbe, bahwa kita semua harus ingat mati. Ziarah kubur adalah simbol kecil dari sebuah TRADISI BESAR.
Tradisi adalah kata kunci Gus Dur dan Gus Im. Kakak beradik ini punya karya yang sama soal tradisi. Gus Dur punya esai berjudul “Menggerakkan Tradisi Pesantren” dan Gus Im mewarisi kalimah yang dahsyat yang menjadi kredo NU Online: “Teknologi sebagai Tradisi”. Bagi keduanya, “tradisi” (selain menyerap dari bahasa Inggris, apakah kita punya kata “asli”, yang semakna dengan tradisi?) adalah kata yang “sakti”. Dari mana kata ini didapat?
Dari ayahandanya: Kiai Abdul Wahid Hasyim. Kiai Wahid Hasyim saking majunya waktu itu, pernah diisukan keluar dari NU. Memang beliau di luar kebiasaan keluarga pesantren pada waktu itu, dari mulai cara berpakaian, berteman, hingga bacaannya. Termasuk ketika punya ide memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan riyadiyah (matematika) di Tebuireng. Pesantren-pesantren lain, meski muridnya Mbah Hasyim, tidak ikut-ikutan memasukkan pelajaran matematika dan bahasa asing selain Arab itu. Karena dianggap nyeleneh. Bagaimana sikap Kiai Wahid saat dinilai nyeleneh?
Kiai Wahid yang wafat di usia muda, tidak terlalu ngotot berargumen bahwa dirinya masih NU. Yang ia lakukan hanya menunjukkan bahwa dirinya masih memikirkan dan mempraktikkan tradisi. Kemajuan yang dirancang dan dicita-citakan oleh Kiai Wahid adalah berbasis tradisi. Terdengar abstrak ya. Agar lebih konkret, Kiai Wahid –yang kemudian diikuti dua putranya yang sedang kita bicarakan ini– rajin sekali ziarah kubur.
Kembali pada Gus Dur dan Gus Im. Selain sama dalam urusan ziarah kubur, keduanya punya kesamaan dalam pergaulan. Daya jangkau pergaulan Gus Im dan Gus Dur tidak bisa dikejar oleh Nahdliyin lain. Awalnya karena memang anak Menteng, anak menteri agama yang punya akses lebih. Tapi kemudian diikuti oleh daya intelektualitas yang di atas rata-rata. Inilah yang membuat Gus Dur dan Gus Im melesat jauh sekali, pergaulan dan pembicaraannya melintasi batas agama, nasab, budaya, ekonomi, dan profesi.
Yang hebat, yang membuat dia istimewa di mata ulama pesantren adalah, meski anak Menteng, tapi tidak lupa pesantren dan segala macam tradisinya. Alih-alih melupakan, dua gus ini malah mengangkat dan mempromosikannya. Puluhan tahun kedua blusukan ke pesantren, lalu mengabarkannya pada dunia luar.
Hebatnya lagi, keduanya tetap tampil secara sederhana. Kadang-kadang keduanya memang meledek selera musik anak-anak NU yang begitu-begitu saja. Namun, ledekannya pun cukup bermanfaat, setidaknya membuat Savic Ali tidak hanya mendengarkan Nicky Astria, tapi juga karya-karya Metallica serta karya-karya musik yang membuat dunia buka telinga.
Sumber: alif.id