Di atas bus yang mengantarku pulang kembali ke Cirebon seusai ngobrol bersama Gus Mus yang mengesankan itu, tiba-tiba terlintas pikiran tentang hubungan Gus Mus-Gus Dur. Betapa akrabnya kedua orang penting dan hebat-hebat itu. Sejauh manakah sesungguhnya persahabatan keduanya? Mengapa Gus Dur sepertinya harus mampir ke Gus Mus pada hari-hari terakhir hidupnya, bukan sahabat-sahabatnya yang lain? Apakah masih ada pembicaraan penting selain yang baru disampaikan Gus Mus tadi? Mungkin berupa wasiat Gus Dur kepadanya untuk menjaga keluarga dan anak-anaknya, atau bahkan menitipkan NU dan umatnya? Pertanyaan-pertanyaan terakhir ini mengganggu aku untuk waktu yang lama, dan aku ingin menanyakannya lagi jika suatu saat bertemu Gus Mus.
Suatu hari, memoriku tiba-tiba muncul. Aku sering ke rumah Gus Dur sejak beliau masih sugeng (hidup) maupun sesudah sedo (tiada). Ini, karena aku diminta membantu lembaga yang didirikan Ibu Sinta, istri Gus Dur, Puan Amal Hayati. Juga, mengaji kitab kuning bersama Ibu Sinta dan teman-teman. Dalam suatu kesempatan ngobrol santai setelah bicara serius (rapat), atau usai mengaji, aku bertanya, “Maaf Bu, sejauh manakah hubungan Gus Mus dengan Gus Dur sehingga seakan-akan hanya Gus Mus yang ingin disinggahi pada hari-hari terakhir menjelang kepulangan Gus Dur? Apakah ada hal-hal penting atau wasiat yang disampaikan Gus Dur kepada Gus Mus?”
Ibu menjawab, “Ya, hubungan keduanya sangat dekat sejak dulu hingga hari ini. Kedekatan itu sudah dimulai ketika keduanya sama-sama belajar di Kairo, Mesir. Manakala Gus Dur tidak punya uang atau kekurangan untuk keperluannya, Gus Mus sering membantu, atau sebaliknya.”
“Ketika Gus Dur kemudian meninggalkan Kairo untuk meneruskan belajar di Baghdad, Irak, keduanya terus saling berkirim kabar. Demikian juga saat Gus Dur melancong ke Belanda dan negara Eropa lain. Sampai juga, ketika Gus Dur pulang kandang, pulang ke tanah airnya, hubungan persahabatan tak putus, meski tak lagi seperti di Kairo. Mereka terus saling berkirim kabar tentang keadaan dan nasib hidup dan gagasannya masing-masing.”
“Sampai hari ini kami sekeluarga, saya dan anak-anak saya, Alissa, Yenni, Anita dan Inayah, menganggap Gus Mus adalah teman dan bapak atau pak lik mereka. Kepada Gus Mus, kami sering berkonsultasi atau meminta nasihat atau memohon bantuan. Anak-anak saya memanggil dia dengan panggilan Om Mus.”
“Gus Mus adalah sahabat terdekat, tempat Gus Dur mencurahkan hati ketika ada masalah yang menggelisahkannya atau memerlukan sumbangan pemikiran.”
Sampai di situ, aku teringat kembali cerita Ibu Sinta bahwa pada setiap haul Gus Dur, keluarga selalu meminta Gus Mus hadir dan memberikan nasihat. Kecuali haul yang kelima, 27 Desember 2014, Gus Mus berhalangan hadir. Ketika aku bertanya kepada Ibu Sinta, beliau bilang, “Gus Mus telah mengabari kami jauh-jauh hari bahwa pada hari yang sama, 27 Desember ini di rumah juga ada haul ayahnya, K.H. Bisri Mustofa. Jadi, Gus Mus tidak bisa datang pada haul Bapak hari ini.”
Ibu melanjutkan, “Bila datang ke rumah Gus Dur, Gus Mus seperti masuk ke rumahnya sendiri. Dia duduk di kursi mana saja yang disukainya. Lalu, anak-anak Gus Dur akan menemuinya, bersalaman dengan mencium tangannya. Masing-masing akan menyapa, bagaimana kabar Om Mus? Habis baca puisi di mana lagi? Sudah nulis cerpen apa lagi, Om?” Sesudah itu, mereka bercanda-canda, saling mendongeng, melemparkan joke segar, dan bermanja-manja kepada Gus Mus.”
Ibu Sinta hanya bercerita sedikit soal hubungan persahabatan Gus Dur-Gus Mus. Aku belum sempat bertanya yang lebih banyak. Misalnya, apakah Gus Mus tahu kisah cinta Gus Dur dengan Ibu Sinta? Apakah Gus Dur sering curhat tentang cintanya kepada gadis cantik Sinta Nuriyah itu? Apakah Gus Dur pernah menunjukkan foto kekasih hatinya yang cantik di Jombang itu? Mungkin suatu saat aku akan menanyakannya.
Oleh karena itu, untuk menambah atau melengkapi pengetahuanku tentang hubungan persahabatan Gus Mus dan Gus Dur, aku kemudian mencoba mencari-cari informasi dari teman atau orang dekat Gus Dur yang lain. Dan, aku menemukan tulisan Gus Mus sendiri. Tulisan itu adalah suratnya kepada Gus Dur. Surat itu sangat menarik sekaligus lucu. ia memperlihatkan hubungan keakraban, keterbukaan, kehangatan, blakblakan, kekritisan, dan sebagainya. Bunyinya begini.
Gus Dur, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak berkomunikasi laiknya sesaudara. Benar seperti yang pernah Sampeyan ramalkan, masing-masing kita akan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri dan kesempatan ngobrol ngalor-ngidul seperti dulu sudah semakin sulit didapat. Dulu kita masih surat-suratan, lalu ketika semakin sibuk, kita hanya -tetapi alhamdulillah masih- telepon-teleponan. Kemudian, telepon-teleponan pun menjadi kian jarang.
Untunglah Sampeyan termasuk figur publik yang gerak-gerik dan ucapan-ucapannya selalu diberitakan, sehingga saya pun selalu dapat mengikuti kegiatan Sampeyan. Seingat saya, sejak Sampeyan menjadi ketua umum jam’iyah NU, hubungan kita sudah berubah menjadi agak “formal”. Sampeyan yang biasa memanggil saya njangkar, “Mus” saja, sudah berubah memanggil dengan “Gus Mus”. Sementara itu, saya sendiri semula masih mempertahankan panggilan “Mas Dur” terhadap Sampeyan; tetapi akhirnya, entah mengapa, merasa tak enak sendiri dan -mengikuti orang-orang- memanggil Sampeyan “Gus Dur”.
Pembicaraan antara kita pun sudah berubah, tidak pernah lagi fokus dan tuntas. Sejak itu, saya sudah merasa mulai “ada jarak” antara kita. Kemudian, Sampeyan menjadi semakin penting di negeri ini. Sampeyan menjadi pusat perhatian dan tumpuan banyak orang. Di mana-mana dielu-elukan. Saya ikut bangga, meski diam-diam saya merasa semakin kehilangan Sampeyan. Apalagi saat Sampeyan menjadi orang paling penting, menjadi presiden republik ini, saya benar-benar harus menerima “kepergian” Sampeyan. Sampeyan mestinya masih ingat, ketika para kiai -orang-orang pertama yang Sampeyan undang ke Istana- menyampaikan selamat, saya sendiri menyampaikan “belasungkawa”. Waktu itu -masih ingat- saya membisiki Sampeyan agar berhati-hati terhadap bithaanah, orang-orang yang pasti akan merubung Sampeyan untuk dijadikan “orang-orang dekat” Sampeyan (menjadi ketua NU saja banyak yang merubung, apalagi presiden). Bukan saya tidak percaya kepada Sampeyan, tetapi saya melihat rata-rata mulai Fir’aun, Heraklius, hingga Soeharto, bithaanah-lah yang menjadi biang keladi kejatuhannya.
Gus Dur, mungkin Sampeyan akan mengatakan saya terlalu romantis, tetapi sungguh, saya sangat merindukan keakraban seperti dulu, di mana masing-masing kita masih hanya manusia-manusia yang tak terkalungi atribut-atribut. Sampeyan bebas menegur saya, dan saya tak merasa sungkan menegur Sampeyan. Karena, keikhlasan lebih kuat daripada rasa rikuh dan sungkan. Dan ternyata, keikhlasan persahabatan pun dapat dikalahkan oleh keperkasaan waktu. Sejak Sampeyan dikhianati oleh orang-orang yang dulu Sampeyan percayai mendukung Sampeyan (bahkan waktu saya peringatkan, Sampeyan malah menasihati agar saya jangan su’uzhzhann kepada orang), dan akhirnya melalui mereka, Allah membebaskan Sampeyan dari beban berat yang Sampeyan pikul sendirian, saya sebenarnya sudah berharap masa keakraban itu akan kembali.
Namun ternyata, harapan itu justru terasa semakin jauh. Kini, saya bahkan seperti tak mengenali Sampeyan lagi. Mas Dur yang demokrat sejati, Mas Dur yang berpikiran jauh ke depan, Mas Dur yang tak peduli terhadap jabatan, Mas Dur yang mencintai sesama, Mas Dur yang begitu perhatian terhadap umat, Mas Dur yang terbuka, Mas Dur yang penuh pengertian, Mas Dur yang mengayomi, Mas Dur yang akrab dengan semua orang, Mas Dur yang menebarkan kasih sayang, Mas Dur yang …. Ke manakah gerangan sosok itu, kini? Saya, kini, kok, malah hanya melihat Gus Dur yang menguasai partai yang kacau. Gus Dur yang mengurusi urusan-urusan tetek-bengek yang tak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umat secara langsung. Gus Dur yang terus membuat sensasi politik yang tak jelas maksud dan tujuannya. Gus Dur yang membuat kubu-kubu dalam tubuh partainya sendiri. Gus Dur yang alergi terhadap kritik. Gus Dur yang dikelilingi pakturut-pakturut yang tak takut kepada Allah dan tak mempunyai belas kasihan terhadap umat, Gus Dur yang tak lagi memperlakuakn para kiai sebagai kawan-kawan bermusyawarah, tetapi membiarkan pakturut-pakturut-nya memperlakukan mereka sekadar alat meraih kepentingan sepele, Gus Dur yang ….
Maaf Gus Dur, mungkin saya memang sudah terjebak dalam romantisme kampungan. Tetapi sungguh saya tidak mengerti. Kecuali pemikiran dan kegiatan-kegiatan luhur berskala makro Sampeyan, saya tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang Sampeyan lakukan sekarang dengan atau bagi partai Sampeyan, PKB, dan jam’iyah Sampeyan, Nahdlatul Ulama. Apakah dalam hal ini, Sampeyan -seperti biasa- mempunyai maksud-maksud tersembunyi di balik langkah-langkah Sampeyan yang membingungkan umat? Misalnya, apakah Sampeyan sedang melakukan semacam shock terapy untuk secara ekstrem menggiring warga menjauhi sikap kultus individu dan kehidupan politik? Artinya, Sampeyan ingin mengatakan dengan bukti kasatmata kepada mereka bahwa kultus individu itu tidak sehat, dan bahwa orang NU memang tak becus berpolitik? Bagaimanapun, Gus Dur, kalau boleh, saya masih ingin kembali memanggil Sampeyan “Mas Dur”. Semoga Allah melindungi dan melimpahkan taufik-hidayah-Nya kepada Sampeyan. Amin.
Pada saat yang lain, jauh sebelum surat Gus Mus yang menyebut diri sebagai romantis kampungan itu, Gus Dur berkirim surat kepada Gus Mus. Isinya begini:
Semoga keadaanmu sehat walafiat dan Allah selalu melindungimu, siang dan malam, Sahabatku. Amun, ya Rabbal ‘alamin.
Sahabatku, begitu Sampeyan lulus, aku berharap engkau segera cari utangan dan nyusul saya ke Belanda. Aku sudah carikan pekerjaan yang sesuai bakat Sampeyan di bagian advertensi.
Kerja di sini gajinya cukup besar. Saya sendiri sudah bekerja dengan gaji yang lebih besar lagi. Ngepel kapal. Nanti kita bisa menabung, dan beberapa bulan saja kita sudah bisa membeli mobil second (bekas). Dengan mobil itu, nanti kita pulang via darat ke Indonesia. Kawan-kawan dari negara-negara yang kita lewati sudah saya beritahu tentang rencana ini.
Dengan demikian, nanti kita bisa berkesempatan luas untuk bicara dan berdiskusi, terutama tentang Indonesia. Kalau sudah samapai tanah air, kita tidak akan punya banyak kesempatan bertemu. Terima kasih banyak atas keluangan waktumu untuk membaca surat ini.
Pesan Terakhir Gus Dur
Demikianlah, dengan membaca kedua surat itu, aku melihat betapa akrabnya persahabatan Gus Mus dengan Gus Dur dan keluarganya. Gus Mus adalah sahabatnya yang tak pernah berseteru. Gus Mus tak pernah membiarkan sahabatnya berjalan sendirian saja, manakala sahabat-sahabat dan orang-orang yang dibesarkannya, diuntungkannya, dan berkat Gus Dur mereka diberi rezeki melimpah, dengan tiba-tiba meninggalkan Gus Dur satu demi satu. Mereka meninggalkan Gus Dur, boleh jadi hanya karena pikiran-pikiran keagamaan Gus Dur yang nyeleneh, nyimpang, atau hanya karena tidak menyetujui pandangan-pandangan politik Gus Dur, atau karena hal-hal lain. Dalam keadaan demikian, Gus Mus selalu setia dalam keadaan apa pun, suka maupun duka. Gus Mus adalah sahabat sejati Gus Dur.
Akhirnya, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan penting yang masih tersisa di benakku dan sering muncul mengganggu pikiran. Ia adalah, apakah dalam pertemuan terakhir Gus Dur-Gus Mus itu tidak ada pesan atau wasiat khusus Gus Dur kepada sahabat karibnya itu?
Suatu hari, aku diajak makan siang oleh Ibu Sinta, di rumah temannya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Teman itu adalah seorang produser film terkemuka di Indonesia. Di sana, aku bertemu dengan beberapa tokoh lain seperti Pak Djohan Efendi, mantan sekretaris negara zaman Gus Dur, dan Ibu Prof. Saparinah Sadli, guru besar UI. Seusai makan, kami berbincang-bincang santai serta bercanda ria dengan beliau dan teman-teman lain. Di situ, aku sempat menanyakan tentang pertemuan terakhir Gus Dur dengan Gus Mus seminggu sebelum kepulangannya. Ibu Sinta menjawab, “Ya, seminggu sebelum Gus Dur pulang, kami mampir ke Gus Mus. Hubungan Gus Dur dan Gus Mus sangat dekat. Gus Dur seperti ingin pamit untuk pulang. Di situ, Gus Dur berpesan kepada Gus Mus, ‘Aku titip NU, aku titip NU.’ Dan, Gus Mus seperti kaget sekali mendengar ‘wasiat’ itu, tetapi tak bisa menolak, meski juga tak sanggup menjalankan amanat agung itu.”
Gus Mus memang rendah hati, sebagaimana sahabatnya itu. Kataku dalam hati saja.
Dan, pada akhirnya Gus Mus memang kemudian menjadi Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, menggantikan K.H. Sahal Mahfudh yang wafat. Dalam beberapa kali muktamar, Gus Mus sebenarnya sudah diminta banyak kiai dan warga NU untuk menduduki jabatan tertinggi di NU itu, tetapi beliau selalu menolak. Salah satu alasan yang disampaikannya adalah belum diizinkan ibunya. Oleh karena itu, jika beliau kemudian bersedia menjadi Rais ‘Am, beliau hanya ingin menjadi pejabat saja. Dan, kita tidak tahu apakah kelak beliau akan dikukuhkan sebagai Rais ‘Am yang definitif atau tidak.
(Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus)
Sumber: santrigusdur.com