I
Aku tak tahu, kata apa yang pantas kami ucapkan
untuk melepaskan, setelah engkau bulat
menjadi arwah
Setiap daun kering pasti terlepas dari tangkai
bersama takdir Tuhan
Untuk itu kami resapi Al-Ghazali
bahwa tak ada yang lebih baik
daripada yang telah ditakdirkan Allah
Karena itu kami rela
mesti tak sepenuhnya mengerti
karena yang terindah adalah rahasia
II
Bendera dinaikkan setengah tiang
Tapi angin seakan enggan menyentuhnya
apalagi mengibarkannya
Biarkan bendera itu merenung
menafakkuri kehilangan ini
yang bukan sekadar kepergian
Bendera itu diam-diam meneteskan juga
air mata, yang didahului tetesan embun di ujung daunan
Semua membisikkan doa
seperti yang kucapkan setelah kau dikuburkan
Bendera itu seperti tak punya alasan
untuk berkibar, seperti kami yang tak punya alasan
untuk meragukan cintamu
kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah
atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan
Cintamu akan terus merayap
ke seluruh penjuru angin
dan tak mengenal kata selesai
“Ode Buat Gus Dur”, puisi karya KH. Zawawi Imron (yang menggambarkan cinta Gus Dur kepada insan yang lemah dan dilemahkan).
****
Salam dan penghormatan.
Kawan-kawan saya GUSDURian dari seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah dapat berkumpul bersama.
Ini berat bagi saya, biasanya nyambut ini disuruh orasi. Padahal di sini ada yang lebih jago orasi, Kak Savic Ali, atau ada Mbak Inayah. Mbak Inayah lebih Jago orasi daripada saya. Saya ini anak Gus Dur urusan kerja di akar rumput, jadi untuk berkata-kata mungkin ndak terlalu jago.
Hari ini kita berkumpul bukan untuk menyanjung-nyanjung Gus Dur. Saya ingatkan kepada teman-teman bahwa GUSDURian bukan menyanjung-nyanjung Gus Dur. GUSDURian bukan pemuja Gus Dur. Ada bedanya antara pengagum Gus Dur dengan GUSDURian. GUSDURian adalah mereka yang mengambil inspirasi dari nilai-nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur untuk merawat Indonesia.
Jadi hari ini pun kita tidak akan menyanjung-nyanjung Gus Dur. Kita akan menggali pemikiran beliau, kita akan menggali jejak sejarah, jejak langkah Gus Dur dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kita juga akan mengasah kapasitas kita sebagai pendamping masyarakat. Sebagai sekelompok pemimpin, penggerak masyarakat di mana saja kita berada.
Saya bersama teman-teman memulai perjalanan GUSDURian mulai tahun 2010. Suatu hari saat asyik ngopi di sebuah mal yang sangat nyaman, tiba-tiba ada telepon, awalnya ada SMS “Mbak tolong bantu warga Ahmadiyah di Kampong Manis Lor Kuningan sedang dikepung.” Lalu waktu itu saya kaget dan saya minta dicarikan nomor orang Ahmadiyah yang ada di sana, lalu diberi nomornya. Lalu saya telepon, “Bagaimana kondisinya, Pak?” “Ya kami akan bertahan, kami mulai dilempari batu, tapi pagar kami tutup.”
Kampung Ahmadiyah di Manis Lor sudah lebih dari 20 tahun ada di sana, bahkan jauh lebih dari itu, bergenerasi-generasi. Awalnya tidak pernah ada masalah, tapi kemudian mulai muncul serangan demi serangan itu pagi jam 10. Saya mulai mencari siapa teman-teman GUSDURian yang ada di sekitar lokasi untuk bisa datang ke sana. Saya meminta Mas Kholis kalau tidak salah, lalu menugaskan dua anak dari Cirebon yang kemudian meluncur ke Kuningan dan memberikan informasi kepada saya sepanjang hari.
Mereka menyampaikan bahwa pada saat siang hari, pasukan yang ingin memasuki kampung Ahmadiyah di Manis Lor semakin banyak. Orang-orang ini berdiskusi dan mengatakan bahwa besoknya hari kamis mereka akan kembali lagi membawa pasukan yang lebih besar. Teman muda itu telepon saya, “Mbak, ini situasinya begini begini.” Saya terus komunikasi dengan warga Ahmadiyah yang ada di sana.
Jam 3 sore Pak Mubalig telepon sambil menangis, dia bilang begini, “Pokoknya kami akan tetap bertahan, kami tidak mau mengalami nasib seperti warga Ahmadiyah tidak jauh dari situ, kalau kami harus mati, kami mau mati di sini, Mbak.” Begitu yang disampaikan. Beliau menangis dan bilang begini, “Kalau Gus Dur masih ada, sebentar lagi beliau ada di depan gerbang. Dan itu membuat saya menangis. Saya tetap di mal tadi itu, di coffee shop yang nyaman itu dengan menangis. Lalu saya menyadari bahwa Gus Dur bukan hanya bapak saya. Dia bapak semua warga Indonesia yang sedang mengalami penindasan. Dia bapak semua kelompok yang sedang dilemahkan. Dia bapak bagi orang-orang yang mungkin merasa sudah tidak lagi punya harapan.
Ada juga Mas Adi bin Asnawi TKI dari NTB. Gus Dur dalam tiga tahun terakhir sudah sakit parah. Tidak bisa bepergian ke mana-mana. Naik turun mobil harus diangkat. Temen-temen pasti sudah melihat foto-foto beliau yang harus diangkat naik-turun mobil. Dan itu tidak lepas dari problem kontestasi politik. Saya tidak mau melupakan itu. Itu catatan sejarah. Bahwa kontestasi politik, bahwa ada orang-orang yang mengaku murid-murid Gus Dur, tega mengkhianati Gus Dur. Gus Dur dalam kondisi seperti itu masih ke Kuala Lumpur untuk memperjuangkan seorang TKI dari NTB yang terancam hukuman mati.
Awal Januari 2010, Adi bin Asnawi dibebaskan oleh Pemerintah Malaysia, dilepaskan dari hukuman matinya, dan dia pulang ke Indonesia dengan niat langsung bertemu dengan Gus Dur dan mengucapkan terima kasih. Di perjalanan dia tidak tahu bahwa Gus Dur sudah berpulang beberapa hari sebelumnya. Di sebuah kesempatan di Migrant Care, ia menyampaikan kalau bukan karena Gus Dur tentu dia akan berpulang lebih dahulu. Gus Dur ada kepada orang-orang tidak punya harapan dan itu yang diwariskan kepada kita.
Jaringan GUSDURian adalah jaringan yang tidak lazim. Hampir tidak ada di tempat lain. Saya selama ini belum menemukan sebuah jaringan yang dikhususkan untuk menjahit murid-murid dari seorang tokoh. Saya pergi ke Martin Luther King Jr Center di Atlanta. Saya bertanya Martin Luther King Jr bapak hak asasi manusia di Amerika, itu bagaimana cara merawatnya? Oh ya ada institut. Ada jaringan murid-muridnya tidak ya? Oh tidak ada. Saya tanya kepada teman-teman Hindu, teman pengikut Gandhi, tidak ada. Muridnya banyak tapi tidak terkelola. Gus Dur juga muridnya Gandhi, tapi tidak ada jaringannya.
GUSDURian dimulai dari nol. Kita tidak punya contoh. Kami tidak tahu apa-apa. Tapi yang kami gariskan, kami tidak berpolitik praktis. Politik Jaringan GUSDURian adalah politik kebangsaan. Keberpihakan kita kepada rakyat bukan untuk golongan politik.
Di Jaringan GUSDURian yang kita rawat adalah nilai-nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur di ruang-ruang pemberdayaan rakyat. Siapa yang menyangka dalam waktu sekian tahun telah ada 106 kota yang memiliki komunitas GUSDURian. Semuanya disokong oleh kemandirian masing-masing komunitas. Jaringan GUSDURian tidak punya sumber daya materi. SekNas tidak pernah menjadi donatur. Saya ingat sekali dalam sebuah acara di Malang, ada poster tulisannya begini: ini sudah ada tanggalnya, tanggal 10-12 Agustus, ayo kita nabung, atau mulai kau pikirkan barang apa yang mau kita gadaikan.
Saya ingin menyampaikan apresiasi yang dalam kepada teman-teman. Jaringan GUSDURian ada karena teman-teman. Saya ingin menyampaikan penghormatan kepada teman-teman dari berbagai tempat yang gigih, tetap bertahan, tetap bekerja dalam setiap keadaan demi sebuah idealisme.
Saya tahu teman-teman, bahwa suatu ketika di sebuah kota ada deklarasi yang ketua panitianya sampai menggadaikan motornya, dan saya dicegah oleh teman-teman SekNas untuk membantu. Enggak apa-apa mbak, lebih penting untuk membangun karakter mandiri daripada disuapi. Itu kebanggaan kita sebagai bagian dari GUSDURian.
Jadi jaringan ini, betul-betul jaringan yang organik. Tapi bukan organisasi tanpa bentuk. Jaringan GUSDURian tidak punya banyak sumber daya. Jaringan GUSDURian teguh untuk tidak terbeli oleh kresek-kresek.
Para GUSDURian bukan yang kaya akan materi, tapi tidak pernah kekurangan semangat. GUSDURian tidak pernah kekurangan energi kebaikan. Tidak pernah kekurangan idealisme dan tidak pernah kekurangan cinta. Para GUSDURian terikat oleh panggilan sejarah. Kita mewarisi tradisi Gus Dur.
Di tahun 2018 sampai 2019 ini negara kita akan memasuki tahun penuh tantangan. Beberapa tahun terakhir kita mencatat banyak persoalan. Setiap zaman pasti punya tantangannya sendiri. Zaman Gus Dur tantangannya ketidakadilan, penindsasan. Sekarang pun demikian. Penindasnya yang berbeda tetapi korbannya sama, tetap rakyat kecil. Penindasnya aktor-aktor yang berbeda tapi sama intinya. Maka tugas Jaringan GUSDURian dan para GUSDURian adalah menggerakkan misi Gus Dur dan meneguhkan Indonesia.
Ketika ada yang dilemahkan. Ketika ada seorang kiai di Kendal sana yang ditangkap, dipenjarakan karena beliau menolak menandatangani BAP untuk tukar guling tanah. Di situlah GUSDURian harus muncul. Ketika ada kelompok minoritas ekstrim agama yang dipersekusi, yang diambil hak-haknya di situlah GUSDURian tampil. Bukan untuk merebut panggung. Ketika politik menjadi alat permainan untuk memperebutkan kekuasaan dan akses terhadap sumber daya negara yang seharusnya di-tasaruf-kan untuk umat, di situlah GUSDURian harus tampil berteriak.
Ketika agama dijadikan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat, untuk memisah-misahkan kelompok yang ada, di situlah GUSDURian harus menegakkan, menggerakkan tradisi Gus Dur yang menjadikan agama sebagai alat pemersatu dan persaudaraan antarwarga Indonesia. Ketika banyak para pemuka agama tergiur dengan kekuasaan dan hal-hal duniawi, di situlah Jaringan GUSDURian harus tegas mengingatkan.
Semua itu tentu tidak mudah. Tantangan di depan tidak mudah, tetapi Gus Dur sendiri telah mengajarkan kepada kita. Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan, kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Kita yang bukan tokoh mitos, punya suami anak istri dan keluarga mengenal rasa takut, meskipun takut kita jalan terus, berani mati, mungkin di situ harga kita ditetapkan. Demikian Gus Dur mengajarkan kepada kita.
Jadi GUSDURian jangan takut, teman-teman di lapangan, di kota mungkin merasa kecil, tapi teman-teman adalah bagian dari gerakan yang lebih besar. Teman-teman GUSDURian mungkin merasa, ya GUSDURian kan masih segini-gini aja, tapi kawan kita banyak, di sekitar kita masih banyak organisasi, masyarakat sipil, maupun organisasi negara, tokoh-tokoh yang semuanya menginginkan kebaikan untuk Indonesia.
GUSDURian tidak sendiri. Gus Dur tidak pernah merasa menjadi satu-satunya yang memperjuangkan Indonesia. Gus Dur menyadari bahwa memperjuangkan Indonesia itu harus bersama-sama, itulah tradisi Gus Dur. Itulah nanti tradisi yang akan kita jaga. Teman-teman semua ke sini membangun hubungan dengan organisasi-organisasi yang ada di sekitar teman-teman. Karena bangsa ini butuh dijahit. Karena bangsa ini butuh memadukan kekuatan kita masing-masing untuk kekuatan yang lebih besar. Dan itulah tugas sejarah kita. Panggilan sejarah kita. Karena itu tradisi Gus Dur. Membangun persaudaraan dengan berbagai kelompok.
Dan tahun ini adalah tahun yang paling membutuhkan GUSDURian. Tantangan kita besar. Masa depan bangsa. Gus Dur tidak pernah menyerah. Jadi kalau GUSDURian merasa menjadi murid Gus Dur, juga tidak pernah menyerah.
Beberapa waktu yang lalu saya ditanya oleh anak saya di depan para kawan aktivis di Jogja. “Bu, ibu kan tahu kalau ibu bakal kalah? Ibu melawan raksasa lho ini, emang bisa kita menyelamatkan rakyat? Kalau ibu tahu bakal kalah kenapa ibu susah payah seperti ini?” Dan itu pendapat yang keluar dari seorang Azza ketika dia berumur 14 tahun, setelah dia datang ke Rembang bersama saya menyaksikan ibu-ibu di Rembang yang sedang memperjuangkan nasibnya, yang memperjuangkan tanah kehidupannya dari industri. Anak saya patah arang pulang dan marah melihat ketidakadilan yang ada di Indonesia. Dia merasa sulit sekali untuk menang melawan ketidakadilan. Itu perasaan anak kecil usia 14 tahun. “Aku tuh melihat ibu seperti melakukan hal-hal yang sia-sia.”
Saya waktu itu berpikir keras untuk menjawab. Lalu saya akhirnya menjawab begini, “Mas Azza, kita bisa duduk di sini, mengobrol segala hal, bukan sesuatu yang taken for granted. Dua puluh tahun yang lalu kita tidak bisa melakukan ini. Dua puluh tahun yang lalu para tani membuat serikat tani saja sudah langsung tamat. Buruh dulu tidak punya hak apa-apa. Kita bisa duduk berbincang di sini karena ada yang membayar harganya. Yang menikmati ibu dan kamu, tapi yang memperjuangkan para petani di Kedung Ombo sana, atau para buruh yang mati memperjuangkan hak-haknya, mereka tidak menikmati, bahkan Eyang Kakung pun tidak menikmati, tapi mereka yang memperjuangkan. Jadi kalau ibu berjuang sama seperti Eyang Kakung berjuang barangkali bukan ibu yang akan menikmati perjungan hari ini, barangkali bahkan bukan kamu. Tapi mungkin cucumu yang akan menikmati perjungan ini. Seperti Eyang Kakung dan teman-temannya berjuang untukmu sekarang.”
Jadi sudah siap untuk berjuang? Sudah siap untuk memulai dengan memperjuangkan pertumbuhan diri sendiri? Sebab menjadi GUSDURian itu tidak mudah. Ini panggilan sejarah. Tapi saya tahu teman-teman di sini, yang sudah menghibahkan waktu 3-5 hari di sini untuk bermusyawarah untuk memikirkan GUSDURian, memikirkan masa depan bangsa ini, menyusun langkah, teman-teman sudah mengambil keputusan untuk menjadi pejuang rakyat.
Kita menggerakkan tradisi Gus Dur. Memuliakan manusia. Membangun keadilan. Membangun kesetaraaan dan persaudaraan. Memperjuangkan kehidupan yang jauh dari penindasan, yang fokus dan teguh dalam kesederhanaan dan berani menjadi kesatria memperjuangkan rakyat, berakar pada kearifan tradisi bangsa. Itulah tradisi Gus Dur.
Jadi mari tegakkan tradisi Gus Dur untuk meneguhkan Indonesia. Semoga Allah Ta’ala meridai setiap langkah kita. Semoga apa yang kita lakukan dapat betul-betul terwujud untuk kemaslahatan umat. Semoga langkah kecil kita menjadi berkontribusi untuk mewujudkan Indonesia yang adil, berdaulat, makmur, yang demokratis dan besar. Selamat berjuang kawan-kawan GUSDURian!
Mari kita mantapkan langkah kita, kuatkan tekad kita, kita lihat ke depan tantangan bangsa Indonesia besar. Kita berhadapan dengan orang-orang yang ingin mencuri sumber daya Indonesia demi kepentingan kelompok mereka. Dan kita yang akan berjuang untuk rakyat kita.
Gus Dur telah meneladankan saatnya kita yang meneruskan.
Wallahul muwaffiq illa aqwamithoriiq.
Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alissa Wahid
Koordinator Jaringan GUSDURian