Akhir-akhir ini kita disuguhi parade dinamis di atas panggung elit kehidupan berbangsa.
Kepulangan Rizieq Shihab dari Saudi Arabia, kerumunan-kerumunan yang terjadi di tengah pandemi COVID-19, mutasi Kepala Kepolisian Daerah terkait kerumunan-kerumunan tersebut, perlawanan Nikita Mirzani, serta pro-kontra pidato Rizieq Shihab yang dipandang kurang elok untuk acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Publik juga menyaksikan kepala-kepala daerah menunjukkan posisi politiknya kepada Rizieq Shihab. Demikian juga, pernyataan sikap TNI terhadap ancaman persatuan bangsa, pencopotan baliho-baliho Rizieq Shihab di berbagai tempat, juga penolakan terbuka kepada Rizieq Shihab oleh beberapa kelompok masyarakat di beberapa tempat seperti Bali.
Sampai saat ini, kita tidak bisa membaca, situasi ini akan berkembang ke arah mana dan akan berakhir bagaimana. Sebabnya, yang tampak jelas dari kehebohan akhir-akhir ini adalah ketidakjelasan itu sendiri, terutama dalam hal reaksi Pemerintah.
Tidak ada pola aksi-reaksi yang jelas, semisal menyikapi kerumunan, menyikapi ujaran-ujaran kebencian di beberapa acara tersebut. Misalnya pilihan BNPB untuk mendukung acara kerumunan dengan mengirimkan perangkat cegah COVID-19, alih-alih mengirimkan penolakan acara kepada penyelenggara kegiatan dan peringatan sejak awal kepada perangkat Negara terkait, seperti Pemprov DKI Jakarta. Ujungnya, Kepala BNPB harus meminta maaf kepada masyarakat.
Publik juga menangkap tidak jelasnya prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam sebagian besar aksi-reaksi ini.
Sebagai contoh sederhana, muncul pertanyaan mengapa kerumunan-kerumunan besar ini dibiarkan sementara pesta perkawinan warga yang tentu berskala jauh lebih kecil justru dihentikan oleh polisi setempat. Di sisi lain, muncul pertanyaan mengapa kerumunan-kerumunan terkait Rizieq Shihab dilarang, sementara kerumunan kampanye pilkada diizinkan.
Bila dicermati, sebagian besar rantai aksi-reaksi yang dimunculkan Pemerintah bersifat politis dan taktis. Setiap peristiwa diikuti reaksi secara cepat untuk menjawab satu kondisi tertentu, misalnya aksi penurunan baliho-baliho Rizieq Shihab setelah sekian lama dibiarkan bertebaran.
Reaksi yang bersifat taktis adalah hal yang jamak dalam manajemen strategis, terutama dalam konteks situasi yang kompleks dan dinamis. Dalam dunia berciri VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity), dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang adaptif dan lincah (agile), layaknya peselancar yang berjuang untuk tetap berdiri di atas gelombang ombak tinggi dan berubah-ubah.
Para pengambil keputusan dalam sebuah sistem besar mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi yang menuntut reaksi taktis, agar sistem yang dipimpinnya dapat beradaptasi secara cepat. Dalam sebuah sistem kebangsaan, jamak pula ditemui reaksi yang bersifat politis. Misalnya keputusan politis di masa lampau untuk memberikan hak istimewa formalisasi Syariat Islam kepada rakyat Aceh, atau mengembalikan nama Papua kepada warga negara Indonesia di pulau Papua.
Menariknya, dalam sebuah organisasi, keputusan taktis dan politis justru dapat menimbulkan persoalan turunan yang ruwet bila tidak dilandasi kerangka pikir berbasis prinsip dan nilai dasar organisasi. Dampaknya sangat jelas: lumpuhnya daya gerak organisasi, karena harus bertumpu pada keputusan per keputusan pemimpin.
Sebagai contoh, bila organisasi sebesar NU melupakan nilai dasar organisasinya, lalu dalam hal hubungan dengan masyarakat non-muslim menggunakan strategi taktis politis, maka sudah pasti warga NU akan gamang. Kadang diminta bersinergi, kadang diminta menjauhi; tergantung cuaca politik. Dampaknya bagi kehidupan masyarakat tentu besar.
Apalagi dalam konteks bernegara berbangsa. Panduan nilai dan prinsip kehidupan berbangsa sejatinya sudah cukup jelas terlihat dalam konstitusi dan perangkat turunannya. Hanya perlu dilengkapi dengan kepemimpinan yang berlandaskan prinsip-prinsip luhur (Principle-Based Leadership) untuk mendapatkan kepastian strategi dan kepastian perjalanan hidup berbangsa bernegara. Di sinilah beda pendekatan reaktif dan responsif.
Sikap reaktif taktis politis adalah laksana reaksi spontan lutut yang dipukul. Melulu soal survival, terpusat, dan abai konteks.
Ketika setiap peristiwa signifikan diberi reaksi secara taktis politis oleh para pemimpin bangsa, dilepaskan dari panduan nilai dan prinsip kehidupan berbangsa, yang terjadi adalah rentetan peristiwa yang masing-masing menyumbang keruwetan tersendiri.
Dimulai dari ketidakpastian penindakan protokol kesehatan, dan berujung pada situasi penolakan kepada Kapolda Jatim yang baru, dan situasi lainnya yang masih serba tidak jelas.
Adapun sikap responsif, mengadaptasi dari konsep Stephen Covey, ditandai dengan proses sistematis menelaah visi dan tujuan jangka panjang, nilai/prinsip luhur serta panduan hidup berbangsa, sehingga didapatkan respons yang paling tepat walaupun tidak mudah.
Menyikapi kepulangan Rizieq Shihab yang jelas memiliki pengaruh politik yang luas, semestinya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, dengan pijakan konstitusi dan regulasi Negara sehingga menjadi kebijakan strategis taktis yang dapat menjadi pegangan setiap pemimpin di lapangan. Begitupun konteks kehidupan lainnya, di luar kasus akhir-akhir ini.
Saat ini, kita kehilangan responsivitas sejati dalam kehidupan berbangsa. Kita membutuhkan para pemimpin yang adaptif, yang lincah merespons tantangan kita bersama.
Akan tetapi, di atas itu semua, kita membutuhkan para pemimpin bangsa yang menjunjung tinggi nilai keindonesiaan. Bukan melulu kepentingan politik, apalagi politik kekuasaan. Para pemimpin yang negarawan.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 29 November 2020)
Sumber: kompas.id