Belajar Mencintai Alam dari Nenek Moyang Kita

Pandemi adalah refleksi. Kesadaran menyambut lembaran baru di tahun 2021. Ratusan ribu orang di dunia meninggal karena Covid-19, para ulama (kiai dan habaib) juga pergi meninggalkan bingar-bingar keduniaan. Kembali kita diberikan waktu untuk merenung dan menyadari segala dosa-dosa kita.

Manusia modern selalu berpikir tentang dirinya, tentang hidupnya. Mereka melalaikan kehidupan sosial, sikap empati, peduli lingkungan, dan menghargai sesama. Bagi manusia modern, orientasinya adalah untuk bertahan hidup dan memenuhi segala hal yang menjadi keinginannya. Mengelabuhi dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tanpa disadari telah merusak norma sosial dan lingkungan.

Allah menyediakan anugerah luar biasa atas penciptaan bumi yang dihuni manusia-manusia serakah. Menebang hutan, mencemari lingkungan, membuang sampah sembarangan, membuang limbah, hingga menuruti gaya hidup yang dalam jangka panjang bisa menghancurkan ekosistem di bumi. Acuh tak acuh ketika sungai sudah kotor dengan limbah dan sampah, udara yang penuh dengan asap pabrik dan kendaraan, lapisan ozon yang semakin malas melindungi makhluk di bumi dari paparan sinar matahari.

Kita enggan belajar dari nenek moyang dan menganggapnya sebagai pengetahuan kuno yang wajib ditinggalkan. Padahal dari sana sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang sikap menghargai keberadaan sesuatu di luar diri kita. Memanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk obat-obatan, tidak mencemari lingkungan karena merasa bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya.

Politeisme Nenek Moyang

Sebelum datangnya agama samawi/langit (Yahudi-Nasrani-Islam), manusia zaman dulu lebih mengenal agama ardhi/ bumi. Merasakan adanya kekuatan supranatural dari luar dirinya yang mereka agungkan dan sembah. Kalau dalam masyarakat Jawa Kuno ada istilah “Tu” yang baik (Tuhan), dan “Tu” yang buruk (Hantu). Demikian yang membuat masyarakat begitu mengeramatkan segala sesuatu yang memuat unsur “tu” di dalamnya, seperti watu (batu), tugu, tumpeng, dan lain sebagainya.

Anggapan bahwa Tuhannya adalah maha penghukum jika manusia melakukan perilaku yang tidak mencerminkan kebaikan. Maka banyak penghayat kepercayaan begitu hati-hati dalam melakukan sesuatu. Mereka takut mendapat karma, azab, dan hukuman dari Tuhan.

Berbeda dengan manusia modern. Ketika agama dihadirkan untuk menata perilaku manusia, mereka malah merusak alam dan menciptakan peperangan. Saling mencaci, menghujat, dan bertikai memperdebatkan kebenaran kelompoknya. Mereka tidak pernah sadar tentang segala perkataan dan perilaku yang mungkin membuat murka Tuhan, karena mereka selalu menganggap bahwa Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Pemaaf.

Tidak ada lagi pesan khalifah penjaga bumi, manusia bagiakan monster yang berkehendak bebas merusak segala hal yang membuatnya bahagia. Menuruti egonya agar segala keingiannya terpenuhi. Tuhan yang baik selalu dijadikan alasan untuk berbuat kesalahan semaksimal mungkin yang harapannya kelak dimaafkan ketika sudah memutuskan untuk bertobat.

Konsep pola pikir manusia zaman dulu dan sekarang tentu sangat berbeda. Kemajuan teknologi begitu masif tersebar ke berbagai penjuru daerah. Penggunaan teknologi tidak diikuti dengan kesadaran beretika dan berpikir. Ketika nenek moyang lebih banyak bersyukur atas limpahan nikmat alam semesta, manusia zaman sekarang kebanyakan tidak bersyukur dan selalu berusaha menjadi penguasa dalam setiap kesempatannya.

Bagi nenek moyang, pandemi Covid-19 mungkin adalah hukuman dari Tuhan karena banyak manusia yang telah melanggar aturan-aturan alam. Sedangkan bagi manusia modern, pandemi Covid-19 adalah peluang bagi para Cukong untuk mengeksploitasi alam ketika pemberlakuan PSBB (dilarang berkerumun) di banyak daerah di berlakukan. Tidak ada perlawanan untuk merusak lingkungan dan mengeruk keuntungan pribadi. Selainnya hanya pasrah dan merenung bahwa alam semesta sedang tidak baik-baik saja.

Penggerak Komunitas GUSDURian Klaten. Penggagas Komunitas Seniman NU.