Hari-hari ini, perhatian publik tersita oleh dua peristiwa, yaitu kasus lontaran sikap rasis oleh seorang politisi terhadap Natalius Pigai dan kasus jilbab di SMKN 2 Padang. Dua peristiwa yang selayaknya tidak terjadi di bumi Indonesia, dan kita akui tidak lagi bersifat kasuistik, karena terjadi berulang kali. Kedua kasus ini pun sudah bukan lagi persoalan personal karena berdampak cukup besar.
Walaupun pernyataan-pernyataan Pigai sudah berulang kali memicu perdebatan, lontaran sikap rasis terhadapnya adalah kesalahan fatal dilihat dari banyak sisi, terutama soal martabat kemanusiaan. Kasus serupa beberapa tahun lalu menyulut demo di berbagai tempat di Indonesia, dan di Papua berkembang menjadi kerusuhan. Barangkali karena potensi kericuhan itu, politisi pelakunya langsung diproses hukum.
Kasus jilbab di SMKN 2 Padang dimulai dari sebuah unggahan di media sosial berisi perdebatan yang terjadi antara manajemen sekolah tersebut dengan orangtua seorang murid non-Islam tentang aturan wajib menggunakan jilbab bagi semua murid perempuan, apa pun agama siswi yang bersangkutan. Sang orangtua berkeberatan dengan aturan ini dan meminta sekolah milik negara ini menghormati hak keberagamaan pribadi.
Kontan, unggahan ini memicu keramaian tentang hak siswa-siswi sekolah negeri untuk berpakaian sebagaimana keyakinannya, baik muslim atau agama lainnya, baik berjilbab maupun tidak. Beberapa tahun lalu, kasus serupa terjadi di Banyuwangi.
Penelitian Andreas Harsono bahkan menunjukkan kasus pewajiban jilbab terjadi di berbagai tempat di Indonesia, tidak hanya di institusi pendidikan. Di sisi lain, kasus pelarangan jilbab juga ditemui di sekolah negeri dengan mayoritas agama selain Islam, serta di beberapa institusi bisnis.
Fenomena penghakiman (judgement) cukup kental terasa dalam dua kasus yang tidak berhubungan ini. Komentar rasis yang dilontarkan kepada Natalius Pigai, tidak lepas dari labeling Papua yang melekat padanya, sebagaimana kasus-kasus lain serupa beberapa waktu lalu. Penghakiman ini mencederai martabat kemanusiaan, karena itu respons terhadapnya pun cukup keras.
Demikian juga alasan pewajiban (atau himbauan yang dilengkapi dengan intimidasi psikologis) jilbab. Dengan mengesampingkan alasan mencegah digigit nyamuk yang cukup absurd di kasus Padang, pewajiban ini tidak lepas dari pandangan tentang kesalehan yang melekat pada pemakaian jilbab, bahwa orang yang berjilbab adalah lebih saleh daripada orang tak berjilbab.
Di ujung ekstrem lain, sikap menghakimi bahkan sekarang berkembang menjadi “cancel culture“, di mana penerimaan terhadap seseorang atau sebuah entitas (merek maupun institusi) “dibatalkan” publik karena terungkapnya informasi tertentu.
Sebagai contoh, dukungan terhadap KPK melorot drastis setelah publik menghakimi berkembangnya kelompok ultra-konservatif di dalam institusinya. Bahkan “cancel culture” yang awalnya menjadi kosa kata media sosial telah menyeruak dalam pidato anggota Kongres Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Guru transformasi sosial dari MIT pendiri Presencing Institute, Profesor Otto Scharmer, berteori bahwa masyarakat dan individu masa kini seringkali terperangkap dalam 3 hambatan saat mencerna situasi di sekitarnya: voice of judgement (suara menghakimi), voice of cynicism (suara sinis), dan voice of fear (suara rasa takut). Ketiga suara ini menghambat kita untuk menyerap dan mengelola situasi dengan utuh dan objektif.
Voice of judgement membuat kita terjebak dalam wawasan yang sempit, memaksakan sudut pandang kita sendiri, lalu terjebak dalam sikap menilai, bahkan merendahkan orang lain. Banyak orang mengira mereka sedang bersikap kritis, tetapi sejatinya mereka sedang bersikap judgemental. Pandangan tentang jilbab dan kesalehan menjadi salah satu contoh konkretnya.
Voice of cynism membuat kita terjebak dalam sentimen negatif terhadap pilihan dan pandangan kelompok atau orang yang berbeda. Kita merasa kita yang paling benar, dan kesulitan untuk berempati pada posisi orang lain yang membuat mereka membuat pilihan berbeda. Mayoritarianisme adalah contoh konkretnya, ketika kelompok mayoritas menuntut agar kelompok minoritas tunduk kepada aturan yang dibuat untuk kepentingan kelompok mayoritas.
Voice of fear memerangkap kita untuk membangun hubungan dan berinteraksi secara terbuka kepada orang atau kelompok lain. Xenophobia, alias fobia kepada orang dari bangsa yang berbeda, yang makin marak secara global adalah contoh ekstrem dari voice of fear ini.
Scharmer memberikan resep jitu untuk setiap perangkap ini. Sikap menghakimi perlu dilawan dengan sikap membuka pikiran (open mind). Dengan begitu, kita bisa mendapatkan wawasan lebih luas dan dapat menyelaraskan pandangan kita.
Sikap sinis perlu dilawan dengan sikap membuka hati (open heart), agar kita dapat memahami mengapa dan bagaimana kelompok dan orang bisa berbeda dengan kita.
Sikap takut dapat kita minimalkan dengan memperbesar tekad (open will) untuk membuka diri dan membangun ruang-ruang hidup bersama.
Ketiga suara bermasalah tadi tampak sebagai sesuatu yang sifatnya privat. Tetapi bila sudah menjadi kesadaran kolektif, ia berujung pada intoleransi dan diskriminasi, bahkan peperangan. Karena itu, kita tidak dapat meremehkannya.
Agaknya, kasus SMKN 2 Padang dan kasus Pigai sedang memaksa kita untuk belajar membuka pikiran, membuka hati, dan membuka tekad sebagai bangsa agar tidak menjadi bangsa yang jumud.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 31 Januari 2021)
Sumber: kompas.id