Gus Dur dan Pencerahan Kaum Muda: Sebuah Kesaksian

Dalam perjalanan hidup saya, ada tiga orang yang meninggalnya membuat saya luruh menangis: meninggal Ibu saya, karena ia adalah tiang dalam keluarga kami, fisik maupun psikis; Nenek saya yang mengenalkan saya pada keislaman dan keimanan dengan konsepnya yang sederhana, tapi ia praktekkan dalam hidup nyata sehari-hari; dan Gus Dur yang mengenalkan kepada saya tentang keislaman dan keimanan dengan maknanya yang sangat luas, seluas alam semesta ini. Mengapa Gus Dur demikian penting dalam penjelajahan hidup saya? Ini adalah fragmen kecil dari kesaksian tersebut.

Pertautan saya dengan Gus Dur sesungguhnya lebih banyak pertautan ide ketimbang fisik. Pertautan itu dimulai ketika saya kuliah di IAIN Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, antara tahun 1987-1990an. Entah birahi dari mana, minat saya terhadap “Islam yang lain” yang tidak mainstream sudah muncul sejak saya sekolah menengah pertama dan atas di pesantren (1981-1987). Meskipun saya hidup dalam lingkungan pesantren tradisional, tetapi pemikiran saya seperti mendua. Satu sisi saya mengaji kitab-kitab kuning klasik yang dipelajari setiap hari dan malam, dan hal tersebut sangat berpengaruh pada perilaku dan tradisi yang dipraktekkan dalam komunitas pesantren tradisional, sisi lain saya melahap buku-buku dari pemuka pembaru Muslim seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Nurcholish Madjid, dan pemuka-pemuka pembaru lain sejauh yang bisa saya akses bukunya, karena pada saat itu, untuk ukuran saya yang hidup di daerah tak mudah mengakses buku-buku tersebut, selain majalah Panjimas yang hampir setiap edisi saya lahap yang menjadi langganan paman saya.

Dengan tekad memuaskan minat saya dalam gagasan pembaruan pemikiran Islam, saya melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta. Tidak yang lain. Pada masa saya, pemikiran-pemikiran pembaruan Islam tersebut terintegrasi di dalam kurikulum. Jadi, setiap belajar mata kuliah tentang wacana keislaman, isinya adalah gagasan-gagasan pembaruan Islam yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Harun Nasution yang ia tulis dalam buku-buku daras-nya. Seiring dengan itu, setiap aktivitas saya di kampus, baik dalam kelompok studi maupun organisasi ekstra selalu berkaitan dengan gagasan pembaruan pemikiran Islam, meskipun alat yang dipakai adalah ilmu-ilmu sosial dan filsafat. 

Seiring dengan aktivitas saya yang begitu bergairah terhadap gagasan pembaruan pemikiran Islam, saya berkenalan dengan gagasan Gus Dur yang dikerangkakan dengan gagasan Pribumisasi Islam. Gagasan Pribumisasi Islam itu kira-kira maknanya begini: Bagaimana Islam yang lahir dari Negeri Arab dan mungkin dipahami dalam kerangka Timur Tengah bisa meng-Indonesia; men-Jawa, Men-Sunda dan landing dengan komunitas-komunitas lokal lainnya. Gagasan ini bagi saya begitu mencerahkan. Pencerahan pertama, karena saya hidup dalam lingkungan yang sangat memelihara tradisi, tapi juga tidak ingin tradisi tersebut mengungkung dan mengangkangi kemerdekaan kita sebagai manusia. Pencerahan kedua, saya ingin menyongsong sebuah peradaban maju tanpa menanggalkan tradisi positif yang sebenarnya sudah kita punya, tetapi ia tertutupi oleh tradisi yang justru menghambat kita pada sebuah peradaban yang kurang manusiawi dan bisa bergerak lebih maju. Dalam kaitan ini, Gus Dur menawarkan dua hal tersebut tanpa menanggalkan akar-akar kultural dari mana ia berasal. 

Untuk bisa selalu mengikuti pemikiran Gus Dur ini, saya selalu membaca tentang pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisannya yang dimuat di media massa; koran dan majalah, baik yang baru maupun yang sudah usang yang biasa saya beli di buku-buku loakan. Bukan hanya pemikiran-pemikirannya yang berat, tetapi juga yang ringan-ringan. Mulai dari “Perbedaan antara Bajaj dengan Taksi”, “Warung Makan Padang bermusik Jawa”, hingga tulisan “Pesantren sebagai Sub Kultur Indonesia”. Selain mengikuti tulisannya, saya pun berusaha mendatangi pelbagai seminar di Jakarta jika Gus Dur sebagai pembicara. 

Pada saat yang bersamaan, sekitar semester kelima mahasiswa (tahun 90-an), saya menawarkan diri untuk bekerja di Warta NU, sebuah tabloid PBNU yang saat itu penanggung jawab-nya Gus Dur, pemimpin redaksinya Arifin Junaidi dan sekretaris redaksinya saya sendiri, dengan anggota redaksi di antaranya Ulil Abshar Abdalla dan Saifullah Yusuf. Pada saat saya mengelola majalah inilah interaksi saya dengan Gus Dur sering terjadi di kantor PBNU yang pada saat itu gedung ini masih kumuh. Apalagi ruangan lembaga penerbitannya. Tetapi karena pesona Gus Dur yang luar biasa, kantor PBNU yang kumuh itu selalu ramai didatangi orang dari berbagai kalangan, luar dan dalam negeri yang juga mengantarkan saya untuk mengenal banyak orang dari beragam latar belakang pula. 

Pada periode Gus Dur pula, kantor PBNU yang kumuh itu dikelilingi anak-anak muda seangkatan saya yang berlatar belakang santri, yang agaknya kelompok yang lahap dan sekaligus memperoleh pencerahan dari gagasan-gagasan penyegaran Gus Dur ini. Dari kelompok Jogja: Ada mas Fajrul Falakh; mas Imam Aziz, mas Suaedy, Jadul Maula, Hairus Salim, Elyasa KH Darwis, Muhaimin Iskandar, dan lain-lain. Dari Jakarta: Saya (Neng Dara Affiah), Ulil Abshar Abdalla, Saifullah Yusuf, Khatibul Umam Wiranu, dan yang lainnya. Kelompok muda ini di kemudian hari mengembangkan minatnya masing-masing; ada yang tetap dalam jalur ilmu dan pemikiran seperti yang dikembangkan teman-teman LKiS, ada yang ke politik praktis seperti Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan Khotibul Umam Wiranu. 

Melalui tokoh Gus Dur ini, agaknya kami memperoleh figur yang saat itu berani melakukan perlawanan terhadap rezim: yakni rezim Soeharto. Gus Dur adalah tokoh yang memiliki keberanian yang luar biasa menentang rezim di saat orang lain tiarap dan mencari aman. Pendirian Forum Demokrasi adalah bagian dari perlawanan itu. Selain itu, ia pun menentang kesewenang-wenangan pemberedelan pers yang saat itu dilakukan terhadap tabloid Monitor. Ia berdiri tegak tanpa ketakutan di saat hampir semua orang mendukung pemberedelan ini dengan alasan menghina Nabi Muhammad. Tak pelak, kekaguman saya pun menjadi-jadi, karena nyalinya yang luar biasa untuk mewujudkan gagasannya dalam tindakan nyata. Tekanan yang spektakuler dari rezim adalah saat Muktamar NU Cipasung di mana pemerintahan Soeharto mengganjal Gus Dur dengan menyalonkan Abu Hasan melalui politik uang, dan kami kelompok muda yang disebut di atas serta sejumlah intelektual Muslim berada dalam barisan Gus Dur yang selalu mengelilinginya. 

Begitulah sepak terjang Gus Dur hingga ia menjadi presiden. Saat ia menjadi presiden, kebahagian dan keraguan berkumpul menjadi satu. Kebahagiaan tersebut adalah adanya secercah harapan bahwa ia bisa mewujudkan gagasan-gagasannya menuju Indonesia baru dengan jaman baru dimana kekuasaan ada dalam genggamannya. Tetapi kebahagian tersebut tidak terwujud, karena gagasan Gus Dur sulit ditangkap oleh mesin birokrasi yang ada di bawahnya. Keraguannya adalah ia berlatar belakang santri yang tidak akrab dengan dunia birokrasi dan protokoler yang biasa dilakukan para raja dalam bentuknya yang modern yang bisa menjauhkan dirinya dari rakyat biasa seperti Pak Somad, pegawai setia PBNU yang setia melayaninya. Pertanyaan kecil yang saat itu muncul, “Bisakah ia menjadi inspektur upacara dan menghormat dengan tangan di kepala saat upacara-upacara kenegaraan? Bisakah ia memakai sepatu formal, padahal sepanjang saya mengenalnya ia selalu memakai sepatu sandal? Ah… Gus Dur ini kok sudah menjadi Nabi, malah ingin menjadi presiden,” begitu gumam saya saat itu. Tapi alam memang berkehendak lain, barangkali orang seperti Gus Dur-lah orang yang pantas menjadi presiden untuk semakin mematangkan bangsa Indonesia melalui ke-gonjang-ganjingannya dan pelbagai kontroversinya. 

Saat Gus Dur tidak lagi menjadi presiden, saya kembali merapat kepadanya untuk pelbagai isu diskriminatif yang dulu menyatukan kami. Isu perempuan Ahmadiyah, isu penolakan terhadap UU Pornografi, isu Perda-Perda diskriminatif yang berupaya menolak konsep negara-bangsa yang cenderung meliankan kelompok minoritas, dan isu pesantren yang menjadi sorotan sebagai sarang teroris. Beberapa kali dalam tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, saya berkesempatan untuk sama-sama menjadi pembicara dalam pelbagai tema. Dalam pelbagai pembicaraan tersebut, kami lebih sering sepakat dalam banyak hal, ibarat guru dengan santri, dan ia akan memperkayanya dengan narasi dongeng dan cerita-cerita lucu yang mengajarkan pada kearifan hidup. Seusai acara, kami akan terlibat dalam cerita-cerita lucu yang membuat kami senang dan terkekeh-kekeh yang bisa mengeluarkan kami dari pelbagai urusan. Pemilik tawa itu kini sudah pergi untuk selamanya. Jejak positifnya harus saya ikuti!

Pamulang, 1 Januari 2010

Sosiolog, peneliti, dan pendidik. Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.