Menjumpai pendidikan Hindu kuno di Indonesia seperti perjalanan time travel mencari sejarah yang hilang. Pasca runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa, konsep pendidikan Hindu tak banyak dan nyaris tidak dijalankan oleh komunitas Hindu di Indonesia.
Mengenakan pakaian adat Bali, Wayan menerima penulis sembari memperhatikan anak-anak beraktivitas sore hari. Di antara anak-anak itu, ada yang sedang merapikan kelas, ada yang mempersiapkan ruangan, dan ada pula yang menyisir blarak satu per satu untuk dijadikan sapu.
Begitulah pemandangan sore hari di Pasraman Gurukula, Bangli, sebuah lembaga pendidikan asrama yang bernafaskan Hindu di Bali. Menempati lahan seluas 2000 m2 di Jalan Puncak Hyang Ukir, Bangli, Bali, asrama ini dibangun dengan harapan pendidikan gaya Hindu Kuna dapat dihidupkan kembali.
I Wayan Arsada adalah sesepuh pasraman. Dia mukim di asrama bersama ‘santri-santrinya’. Sedikitnya 15 tahun, ia telah tinggal di pasraman, menjadi ayah bagi murid-muridnya yang datang dan pergi silih berganti setiap tahunnya.
Wayan bercerita bahwa mayoritas penghuni pasraman ini adalah anak-anak kurang mampu, beberapa ada juga yang bekas narapinada. Tak banyak guru yang menetap di sini. Malahan, banyak dari mereka yang membantu di sini adalah relawan yang punya kebaikan hati berbagi.
Mengaku mengadopsi konsep pendidikan Hindu Kuna, Wayan bercerita tentang kemiripan pasraman Hindu dengan konsep pesantren di Islam.
“Baik di asrama Hindu maupun Islam, murid/santri bersama-sama tinggal di satu tempat yang sama, kemudian ada yang menunggu. Kalau di Islam ada kiainya, kalau di Hindu ada gurunya,” ujar Wayan sambil tetap memperhatikan gerak gerik ‘santri’nya.
“Terus apa yang dipelajari di sini?” tanya saya.
“Selain sekolah formal di pagi hari, anak-anak yang sekolah di sini diasramakan kemudian diberikan kegiatan tambahan di luar jam sekolahnya. Mulai dari keterampilan hidup seperti membereskan barang dan lingkungan sekitarnya, hingga belajar keterampilan khusus seperti kelistrikan hingga menjahit. Utamanya tercapai kemandirian. Sembari tetap hidup dalam nuansa kental ritual Hindu di keseharian. Mungkin ini berbeda dengan pesantren ya, jika di pesantren pengajiannya ketat. Kalau kami intinya proses memanusiakan manusia: disiplin, jujur, mandiri.”
I Made Titib dalam bukunya berjudul Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (2003) menerangkan bahwa Gurukula sendiri sebenarnya adalah nama sebuah konsep: konsep pendidikan yang mengharuskan seorang siswa hidup dan tinggal bersama gurunya disebut pendidikan Gurukula.
Kata guru berarti “pendidik, pengajar”, sedangkan kula berarti ”tempat tinggal”, dapat pula diartikan sebagai “keluarga”. Adapula yang menyebutnya sebagai Ashram (Titib, 2003). Selain sebagai pendidik di asrama, idealnya seorang guru juga menjadi pemimpin umat sekitarnya. Mirip pula dengan peran dan tugas kiai: memimpin pesantren dan masyarakat sekitarnya.
“Sebenarnya Gurukul itu harus ada sapi lho,” seloroh Pak Wayan memecah kebengongan saya karena lupa akan bertanya apa.
“Loh iya to, kenapa?”
“Biar susunya bisa diminum para penghuni asrama. Karena Gurukul di India, orang-orangnya harus vegetarian, makan sayur tanpa mengkonsumsi daging. Dulu anak-anak di sini vegetarian, tapi semenjak sapinya tidak ada, tidak ada asupan susu sehingga gizi tidak seimbang.”
“Memangnya sapinya kemana?”
“Dijual pemerintah. Mungkin karena biaya pakannya tinggi.”
Saya angguk-angguk saja. Mafhum.
“Saya hidup satu tahun di India, mempelajari konsep Gurukul di sana,” tutur Wayan.
“Apa yang menarik di Gurukul India?”
“Gurukul di sana kaya akan donatur. Orang-orang berbondong untuk memberikan bantuan. Bahkan mas, orang Gurukul kalo masuk ke fasilitas pemerintah atau publik itu free. Para guru juga tidak perlu dibayar, banyak guru-guru senior yang dulunya profesor yang sudah pensiun ikut mengajar di sana. Beberapa juga orang biasa yang punya keinginan kuat untuk mengabdi. Ketika ada donasi tanah, itu siswa sendiri yang mengelola menjadi bangunan atau lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Lebih mandiri lah di sana,” terangnya.
Ketika ditanya apa yang unik di Pasraman Gurukul Bangli ini, Wayan menjawab, “Di sini sangat multikultural dan multi-religi.”
“Maksudnya?”
“Dulu ada lima anak muslim di sini, sekarang ada satu Kristen. Mereka berasal dari Jawa, Sulawesi, hingga Papua.”
“Lantas bagaimana ketika doa bersama?”
“Ya mereka berdoa masing-masing. Anak-anak muslim dan kristen di sini tidak ‘dihindukan’, yang penting mereka belajar bagaimana cara hidup. Hal ini selaras dengan motto kami: Vasudhaiva Kutumbhaka yang berarti dunia adalah sebuah keluarga.”
“Dunia adalah sebuah Keluarga?”
“Ya, dunia, bukan cuma berisi klaim “Hindu adalah sebuah keluarga.””
Rupanya, tidak saja belajar keragaman di dalam asrama, mereka juga belajar di luar asrama.
“Sesekali anak-anak kami berikan tugas belajar di panti asuhan Kristen atau Islam di luar Bali, bisa di Jogja, bisa di Jakarta. Intinya mereka belajar di lingkungan yang berbeda.”
Saya mangut-mangut, membayangkan bagaimana jika beberapa santri (yang paling jorok saja) di pesantren saya dulu dimagangkan di seminari atau di pasraman macam ini. Mungkin virus per-gudik-an agak terkendali karena mereka bersih sekali mengelola lingkungan sekitar.
Bisa dibilang pesantren Islam dan pesantren Hindu adalah bersaudara. Pada awal perkembangan agama Hindu di Indonesia, Pigeaud (1939) dan Koentjaraningrat (1985) secara spesifik menyebutkan zaman Majapahit.
Lebih dari itu, model pendidikan ashram pernah menjadi model pendidikan agama Hindu dengan menggunakan nama Mandala. Mandala diselenggarkan oleh kerajaan untuk rakyat umum di masanya. Setelah Islam masuk, secara perlahan Mandala diadopsi menjadi pesantren: lembaga pendidikan keagamaan Islam yang berkembang pesat hingga saat ini.
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebut bahwa banyak peneliti yang menulis bahwa para penyebar ajaran dari Islam mengadopsi sistem Mandala menjadi pesantren: lembaga pendidikan keagamaan Islam yang unik dan asli dari Indonesia. Sepertinya sejak awal para penyebar ajaran Islam sudah mempraktikkan laku Pribumisasi Islam, dimana jargon “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yakni “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” memang jitu untuk dijadikan strategi kebudayaan. Apa yang baik dari kebudayaan lama, tidak perlu dibuang, tapi dipertahankan dan disesuaikan dengan ajaran yang baru.
_______________
Artikel ini pertama kali dimuat di islami.co