Kerusakan Lingkungan adalah Dehumanisasi

GUSDURian Gorontalo bekerja sama dengan InHIDES (Institute for Humanities and Developments), kembali mengadakan diskusi tentang isu agraria. Diskusi ini merupakan diskusi kedua setelah yang dilakukan sebelumnya, pada Senin (11/7/2022). Diskusi kedua ini mengambil tema “Memahami Kepingan Puzzle Isu Agraria di Indonesia”, dengan pemateri Dianto Bachriadi dari Agrarian Resource Center (ARC), sekaligus staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.

Diskusi kedua ini mengambil tempat di Huntu Art Distrik (Hartdisk), Kecamatan Huntu Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (14/7/2022). Sejumlah peserta dari berbagai komunitas turut andil dalam diskusi tersebut.

Salah satu penjelasan Dianto, atau yang lebih akrab disapa Kang Gepeng tersebut, yaitu tentang konflik agraria dan lingkungan yang akan berujung pada dehumanisasi. Sebab, konflik agraria beririsan langsung dengan isu kerusakan lingkungan yang, pada akhirnya, akan menyebabkan dehumanisasi.

“Dalam dehumanisasi ini, kita tidak bisa menikmati nilai kemanusiaan kita. Kita dipaksa untuk menghirup racun, debu, polusi, dan lainnya. Di dalamnya terjadi proses penghancuran tubuh kita,” paparnya.

Seperti pada tayangan dokumenter produksi Watchdoc yang berjudul Sesak. Sejumlah masyarakat terdampak berbagai penyakit dari keberadaan infrastruktur industri maupun korporasi ekstraksi alam. Seperti penyakit sesak napas yang terjadi pada masyarakat di Jeneponto, Sulawesi Selatan.

PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang berada di sebelah pemukiman masyarakat, dampaknya langsung terasa. Saharia adalah salah satu masyarakat Jeneponto yang terdampak. Pada video, Saharia nampak menyapu debu terbang hasil PLTU atau disebut fly ash. Ia sering mengeluhkan dadanya sesak napas. Anaknya, Adira juga mengalami gejala sesak napas yang berlebihan.

“Seharian anak saya tidur. Pas bangun langsung muntah darah,” sebut Saharia pada dokumenter itu.

Jika merunut persoalan yang dialami masyarakat Jeneponto tadi, merupakan salah satu dari ribuan PLTU yang ada di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia telah mencatat jumlah Kapasitas Terpasang PLN menurut Jenis Pembangkit Listrik (MW) 2018-2020. Hasilnya adalah jumlah pembangkit bertenaga uap sebagai berikut: 2018 berjumlah 32.026, 2019 berjumlah 33.095, kemudian tahun 2020 berjumlah 32.920.

Persoalan konflik agraria adalah kepentingan investor atau korporasi, lanjut Kang Gepeng. Negara mengatur dengan jelas mengenai sistem zonasi (sektoralisme), namun sering kali mereka sendiri yang mengubah tanpa adanya studi.

“Mereka tidak peduli dengan dampak ekologisnya, selama itu ada keuntungan di dalamnya,” pungkasnya.

Terlebih lagi, sambung Kang Gepeng, dengan adanya Undang-undang Pengadaan Tanah bagi Pengembangan Kepentingan Umum, perampasan tanah akan rentan terjadi. Sebab di dalam aturan tersebut, pemerintah memiliki kuasa untuk mengambil alih tanah dan hak masyarakat jika ingin membangun bangunan yang memiliki manfaat untuk umum.

Tepatnya peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pengembangan Kepentingan Umum. Dalam aturan itu menyebut tentang pembangunan umum di antaranya: jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, waduk, bendungan, irigasi, pelabuhan, bandar udara, infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, jaringan telekomunikasi, cagar alam dan cagar budaya, dan masih banyak lagi.

“Namun, perlu kita cek kembali. Apakah benar pembangunan itu untuk kepentingan umum?” tegas dia.

Kang Gepeng kembali menjelaskan, sering kali di dalam pembangunan umum yang dimaksudkan pemerintah ada kepentingan melancar-muluskan korporasi atau investor. Apalagi dengan terciptanya undang-undang Cilaka (Cipta Lapangan Kerja/Omnibus law), sebut dia, semakin lancar jalannya.

Negara harusnya melindungi hak warga negara, bukan malah mengambilnya. Namun, saat ini menurut dia, negara telah diatur oleh segelintir orang yang berkepentingan: para pemilik modal.

Seperti pada paparan dokumenter Karpet Merah Oligarki oleh Watchdoc. Yang terlibat dalam terciptanya UU Ciptakerja (Omnibus Law), sebut dokumenter tersebut, merupakan hasil dari oligarki. Oligarki adalah sistem pemerintahan yang politiknya berada di tangan segelintir elit.

Di dalam dokumenter lain Watchdoc berjudul Kinipan, Omnibus Law diputuskan oleh 575 anggota parlemen, di mana 55 persen adalah pebisnis atau pemilik perusahaan. 

Pada paparan infografis dokumenter itu, sejumlah 23% anggota parlemen merupakan komisaris perusahaan, 26% pemilik perusahaan, 8% manajer perusahaan, dan 43% direksi perusahaan.

Lanjut infografis Latar Belakang Bisnis Anggota DPR, dipaparkan bisnis-bisnis yang digeluti para anggota parlemen sebagai berikut: 12% developer dan kontraktor; 7% hotel, hiburan, pariwisata; 15% manufaktur, industri dan ritel; 15% energi, minyak dan gas; 7% otomotif, transportasi; 10% perkebunan, perikanan dan peternakan; 10% pendidikan dan pelatihan; 6% keuangan dan perbankan; dan 7% IT dan media.

“Padahal cita-cita para pendahulu kita ini sangat tulus untuk kepentingan rakyat. Itu tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila,” ungkap Dianto.

Tetapi ada titik balik sejarah yang mengubah haluan negara yang, sebutnya, titik balik itu mulai memihak kepada pemilik modal. Seperti dengan diterbitkannya undang-undang penanaman modal, maka dimulailah perusakan kekayaan alam dan eksploitasi yang berlebihan.

Mengutip WALHI, sejak kepemimpinan Orde Baru, kebijakan di bidang pertambangan lebih dominan ditujukan untuk investor asing. Hal tersebut dapat dilihat melalui disahkannya Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.

“Masuknya investor asing yang menguasai sektor industri pertambangan sekaligus menjadi cikal bakal awal kerusakan lingkungan hidup di Indonesia,” tulis WALHI.

Berbagai hal dibahas oleh Kang Gepeng, termasuk tentang Membedah “Konflik Agraria” & “Konflik Lingkungan” versi “aktivis”. Menurutnya, konflik selama ini yang dikerjakan oleh aktivis belum menyentuh akar permasalahannya.

Ia memaparkan konflik agrarian dan bagaimana para aktivis cum akademisi meresponsnya lewat analogi lapisan-lapisan bawang. Sering kali, sebut Dianto, para aktivis berputar pada permasalahan lapisan luar permasalahan agraria. Lapisan luar ini yakni: alih fungsi lahan, perebutan mengambil manfaat lingkungan dan/atau eksploitasi kekayaan alam, penggusuran, protes dan perlawanan, kekerasan, kriminalisasi, dan pelanggaran HAM.

“Jika hanya lapisan luar yang kita fokuskan, berarti kita hanya memberi solusi sementara. Masalah akan selesai secara sementara, solusinya juga sementara. Setelah itu mereda, kemudian akan berlanjut lagi,” jelas Dianto.

Pada lapisan tengah permasalahan Dianto merinci sebagai berikut: hal-hal yang terkait dengan aspek pengaturan termasuk aturan hukum & peraturan, kebijakan publik, manipulasi kekuasaan dan maladministrasi.

“Sering juga aktivis sampai pada tahapan ini. Namun tidak banyak,” sambung Dianto.

Lapisan terdalam: hal-hal yang terkait dengan orientasi “pembangunan”, kepentingan ekonomis & politik pengusaha-pengusaha, dan perkembangan kapitalisme global.

“Lapisan ini yang jarang disentuh, sehingga permasalahannya selalu terjadi, sebab solusi tidak sampai pada akar permasalahan,” pungkasnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.