Bertempat di Kafe Lincak Kopi, Kartosuro, Sukoharjo, GUSDURian Sukoharjo menghelat rutinan Forum 17-an dengan tajuk “Menjelajahi Pemikiran Gus Dur”. Acara kali ini difokuskan untuk membincang buku karya Gus Dur berjudul Prisma Pemikiran Gus Dur yang diterbitkan LKiS. Bincang buku yang dihelat pada pukul 19:00 WIB itu menghadirkan Raha Bistara, M.Ag, dosen Islamic Studies di UIN Raden Mas Said Surakarta dan dimoderatori Fahrul Anam, penggerak GUSDURian Sukoharjo.
Mula-mula, diskusi dibuka oleh moderator yang menghantarkan para hadirin mengenal buku ini. Bunga rampai Gus Dur yang memuat tulisan-tulisannya di Majalah Prisma. Buku ini dibuka dengan pengantar Hairus Salim dan Greg Barton yang mengantarkan para pembaca untuk mengenal pemikiran, pola tingkah, dan watak politik Gus Dur.
Dilanjut dengan acara inti, yaitu pemaparan materi mengenai isi buku Prisma Pemikiran Gus Dur. Raha Bistara menyampaikan, bahwa buku ini menjadikan Gus Dur sebagai penulis di Majalah Prisma yang mempunyai latar belakang cukup lain dengan penulis lainnya. Para penulis lain di Prisma notabenenya adalah kalangan aristokrat yang cenderung meneruskan apa yang menjadi gagasan Orde Baru saat itu.
“Nah, di sini, Gus Dur menjadi orang berbeda daripada penulis lainnya yang berlatar belakang dari universitas maupun lembaga terkemuka di Indonesia. Begitupun tulisan-tulisannya yang menyuguhkan berbagai horizon keilmuan Abdurrahman Wahid,” ungkap pria yang akrab disapa Mas Raha tersebut.
“Yang saya ingat, buku itu terakhir saya baca waktu menempuh S1. Salah satu yang masih melekat adalah esai Gus Dur berjudul “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”. Dari tulisan itu, kita diajak merefleksikan bahwa watak umat Islam saat ini adalah terkungkung dengan militerisme. Dalam artian, kita masih terperangkap dengan aturan-aturan yang memaksa. Misalnya, syarat menjadi seorang pemimpin harus melampaui syarat legal-formal, bukan syarat yang sufistik-ritualistik yang meneguhkan keimanan kita—misalnya rajin shalat, zikir, dan ibadah lainnya,” tambahnya.
Selain itu, menurut alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tersebut, adalah Gus Dur mewariskan kepada kita—terutama generasi muda—untuk mempunyai sikap bermanfaat bagi sesama. Atau khoirunnasi anfauhum linnas, yang mana paling gampang bagi kita untuk meneladani Gus Dur adalah bermanfaat bagi sesama manusia, tinggal sub-sub yang ada pada Gus Dur dapat kita amalkan.
Melalui ungkapan tersebut, forum pun menjadi interaktif. Para hadirin ramai membicarakan Gus Dur dari berbagai aspeknya dan menyatakan “kebingungannya” akan Gus Dur. Saling melontar argumen terjadi dengan meriah yang membuat suasana diskusi meriah dan sukses.
Pada akhirnya, diskusi diakhiri dengan pernyataan Moh. Hamzah Sidik, koordinator GUSDURian Sukoharjo yang menyatakan bahwa sepulang dari forum ini, kita dapat merefleksikan pemikiran Gus Dur, utamanya dari buku Prisma Pemikiran Gus Dur.
“Semoga, sepulang dari forum ini, kita dapat merefleksikan apa yang diwariskan Gus Dur kepada kita. Refleksi di sini, bukan hanya soal mengingat-ingat pemikirannya. Namun, lebih dari itu, kita harus membaca buku karya Gus Dur maupun buku yang membahas tentang dirinya. Demikian,” tandas Hamzah.