Islam, Agama Kedamaian: Katanya atau Nyatanya?

Sebagai seorang muslim, harus saya akui bahwa saya bangga menjadi bagian di dalamnya. Atas segala ajaran penuh makna yang diajarkan oleh Islam membuatku sadar bahwa Islam telah memiliki acuan yang sangat hebat apabila ditafsirkan dengan sesuai.

Namun sayangnya, banyak sekali oknum yang justru membawa Islam mendapatkan citra negatifnya seperti agama yang superior, agama yang kaku, kuno, dan mungkin masih banyak lagi julukan negatif untuk Islam di luar sana. Padahal jika ditilik dari artinya, Islam memiliki arti damai, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan.

Banyak sekali dalil yang menunjukan bahwa tujuan dari penyebaran Islam adalah menjadi rahmatan lil alamin, atau rahmat bagi seluruh alam yang salah satunya tercermin dalam Q.S al Anbiya ayat 107, yang artinya:

“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Atas masifnya penyebaran oleh ulama terdahulu terutama di Indonesia, salah satunya oleh Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa, membuat agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini kemudian menjadi agama dengan penganut paling banyak di negara ini.

Pendekatan yang dilakukan oleh ulama terdahulu juga terbilang cukup baik, yakni dengan pendekatan damai yang tidak mengusik kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, bisa dilihat dari bagaimana Sunan Kudus menghormati masyarakat Kudus yang saat itu beragama Hindu dengan melarang untuk memotong sapi saat Hari Raya Kurban. 

Dakwah ciamik ulama dulu sukses membuat muslim menjadi kaum mayoritas di Indonesia. Namun sayangnya, privilege yang dimiliki tersebut banyak membuat muslim merasa superior. Mereka akhirnya membentengi diri, bersifat eksklusif, dan bertingkah seenaknya. Mereka lupa kalau Indonesia bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan berasas Pancasila.

Jika dilihat lagi banyak sekali peraturan serta kebijakan dan konstruksi masyarakat yang hanya menguntungkan umat Islam, setidaknya dalam penerapannya banyak yang justru menyulitkan agama lain.

Salah satunya yaitu tentang alotnya pembangunan Gereja Tlogosari yang padahal sudah memiliki izin sejak 1998 dan tetap mendapatkan diskriminasi dari masyarakat intoleran berupa penolakan pembangunan. Namun dalam proses mediasi untuk memperoleh izin tersebut, ternyata masih ada keterwakilan dari masyarakat muslim untuk turut membela hak umat GBI Tlogosari. Hal tersebut sebenarnya adalah angin segar sebagai bukti bahwa masih banyak muslim yang memiliki rasa toleransi. 

Walaupun sejak kecil kita sudah diajarkan untuk mengenal dan mempraktikan Pancasila atau dikenalkan bahwa manusia diciptakan dengan beragam oleh Allah lewat surah al Hujurat ayat 13, namun rupanya masih banyak masyarakat yang enggan unruk menerima perbedaan. Bahkan beberapa orang ada yang justru menanamkan sifat intoleran ke keluarganya sejak dini. “Kamu jangan berteman dengan si A, karena dia Kristen.” atau sebagainya. Akhirnya, anak kecil sebagai peniru yang handal kemudian membawa sifat tersebut sampai dewasa.

Tapi itu hanya sebagian kisah.

Nyatanya, masih banyak muslim yang berupaya menyebarkan kedamaian dengan berupaya untuk menjadi manusia toleran. Menjadi manusia yang sebaik-baiknya dengan berusaha memberi manfaat kepada manusia lainnya.

Di Semarang misalnya, saya pernah menemui suatu kedamaian dalam balutan keberagaman. Momen ketika para relawan yang berasal dari beragam agama dengan identitasnya masing-masing berdiri bersama di pinggir jalan. Harus saya akui bahwa suasana tersebut sungguh sangat haru dan membuat saya terkesan. Akibat terlalu sering mendengar berita intoleran, peristiwa tersebut benar-benar menjadi oase yang menyejukan. Tantangannya adalah bagaimana kita terus menjaga dan menyebarkan wacana toleransi keberagaman kepada khalayak.  

Sebagai Negara Bhinneka yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, harusnya masyarakat Indonesia sudah terbiasa dan tidak kagetan lagi. Tapi sayang, banyak dari kita yang cenderung mengutamakan persaudaraan dengan latar belakang yang sama. Hal tersebut memang menguntungkan, tapi hanya bagi agama mayoritas. Agamamu Islam, maka kamu aman. 

Arti dari Islam seharusnya bisa menjadi refleksi kaum muslim dalam bertingkah laku. Maka sudah sepatutnya kita memberikan ketenangan, keamanan, dan kedamaian bagi saudara kita, baik dari yang segolongan atau tidak.

Yang kemudian perlu kita tanamkan adalah fakta bahwa kita adalah muslim Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya kita mengamalkan nilai Islam tanpa mengesampingkan adat dan norma yang berlaku di Indonesia. Jangan justru membuat keributan yang membuat citra Islam sebagai agama damai justru hilang. Sudah hilang citra kita sebagai agama yang cinta kebersihan, apakah kemudian kita akan membuat citra Islam sebagai agama penuh kedamaian ikut luntur?

Untuk penutup, ada salah satu quote Gus Dur selaku mantan Presiden Indonesia sekaligus bapak pluralisme di Indonesia yang selalu terngiang di pikiran saya, yaitu : Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. bukan untuk mengubah “aku” menjadi “ana“, “sampeyan” menjadi “antum“, “sedulur” menjadi “akhi“. Kita pertahankan milik kita, kita serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya.

PR kita selanjutnya adalah harus bisa menjadi representasi dari Islam yang damai. Menciptakan nuansa Islam yang ramah, bukan yang marah. Kita memang beragam, tapi bukankan hal tersebut sengaja dibuat agar kita saling mengenal? Maka ingatlah bahwa kita satu. Bhinneka Tunggal Ika. 

Alumnus Creator Academy 2022 Jaringan GUSDURian.