GUSDURian Bukan Generasi Islam Instan

Sebagai generasi yang melestarikan nilai-nilai kemanusian dalam kehidupan yang tidak hanya sebatas wacana, GUSDURian hadir untuk memberi muatan gagasan, ide, dan berpartisipasi aktif menggerakkan kaum muda untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam bingkai keragaman dan kebhinekaan sebagaimana yang telah dicontohkan Gus Dur.

GUSDURian sendiri adalah sebutan bagi individu yang mengagumi sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara para GUSDURian ini sebagian tergabung dalam Jaringan GUSDURian. Sebuah jejaring kerja yang berisi individu, lembaga, dan komunitas yang ingin meneruskan nilai, pemikiran, dan keteladanan (NPK) Gus Dur.

Penting untuk diketahui, dengan gerakan Jaringan GUSDURian yang tersebar sampai ke pelosok negeri, para pegiat/penggerak GUSDURian senantiasa mengagungkan ilmu dan menghormati sosok gurunya, dalam hal ini adalah Gus Dur. Dengan terus merawat NPK Gus Dur itulah para penggerak GUSDURian telah memulihkan pengetahuan bagi gerakan itu sendiri, juga di kalangan masyarakat umum melalui gerakan kepedulian di berbagai bidang, baik program sosial-kemanusiaan atau diskusi-diskusi.

Melalui laman resminya, gusdurian.net, Jaringan GUSDURian mengunggah sejumlah artikel mengenai berbagai persoalan kemanusiaan dan fokus gerakan ini pada isu-isu tertentu. Isu-isu tersebut berangkat dari 9 nilai utama Gus Dur, yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi.

Dari mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur Online Batch-6 secara berkala itu, saya menemukan pembelajaran begini: Sesungguhnya jaringan komunitas dan individu pengagum pemikiran Gus Dur ini merupakan kelompok yang netral dan tidak mau terlibat politik praktis. Begitu kira-kira yang saya dapatkan dan temukan dalam penyajian power point yang dipaparkan oleh salah satu perwakilan dari Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian selama mengikuti kelas tersebut. Ada komitmen yang sangat kuat di dalam setiap diri penggerak GUSDURian, yaitu menjadikan gerakan ini sebagai gerakan non-politik.

Sebagai pengangguran yang senang mengklaim diri sebagai penulis, dengan pemberian bermacam materi di Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Batch-6 yang baru pertama saya ikuti, saya juga menemukan teman-teman yang memiliki pandangan keislaman yang adem dan mengerti arti dakwah yang ramah. Saya pun mengistilahkannya, bahwa teman-teman penggerak GUSDURian ini memang bukan generasi muda Islam yang instan.

Sebenarnya, menjadi GUSDURian sendiri tidak harus seorang muslim. Pun dengan Jaringan GUSDURian yang sampai hari ini memiliki penggerak dari berbagai agama, kepercayaan, dan latar belakang identitas. Semuanya disatukan oleh semangat yang sama. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa banyak penggerak muslim di dalamnya. Ditambah lagi, Jaringan GUSDURian juga menjadikan ‘Islam Ramah, Bukan Islam Marah’ sebagai salah satu kampanyenya, sebagaimana yang diperjuangkan Gus Dur di Indonesia selama ini.

Kemajemukan bangsa kita adalah kenyataan yang wajib kita terima bersama, dijaga, dan dirawat sebagai modal berbangsa dan bernegara. Hal-hal ini yang belum tentu saya temukan di komunitas lainnya. Komunitas GUSDURian ini kerap menamakan diri sebagai murid Gus Dur, pecinta Gus Dur, pengagum, dan penerus pemikiran dan serta perjuangan Gus Dur. Jaringan GUSDURian tidak terikat tempat, dikarenakan para GUSDURian juga merupakan ‘anak-anak’ ideologis Gus Dur yang telah tersebar di berbagai penjuru Indonesia, bahkan sampai mancanegara.

Kiprah dan visi perjuangan Gus Dur itu kerap disuarakan sampai hari ini, baik oleh Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, komunitas GUSDURian, dan para penggerak GUSDURian yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Maka dari itu tidak terlalu berlebihan kalau saya mengatakan komunitas ini terus-menerus bersuara dan bekerja untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan dan penggerak GUSDURian bukanlah generasi muda Islam yang instan.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan melanjutkan mondoknya di Pesantren Al-Qur'an Syihabudin Bin Ma'mun, Caringin Banten. Penulis juga lulusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di kampus STAI Indonesia, Jakarta.