Mengingat Gus Dur: Memaknai Perbedaan dan Esensi Hari Raya Idul Fitri

Memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadan 1444 H, salah satu topik pembicaraan yang mencuat yakni kapan Hari Raya Idul Fitri tiba? PP Muhammadiyah telah menetapkan terlebih dahulu Hari Raya Idul Fitri 1444 H yang akan jatuh di tanggal 21 April 2023. Metode yang digunakan adalah Hisab Hakiki Wujudul Hilal, di mana matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan meski hanya berjarak satu menit atau kurang. Pakar Falak Muhammadiyah, Wardan Diponingrat mengambil kesimpulan tersebut dari Q.S. Yasin ayat 39-40, lalu menggabungkan metodenya dengan perangkat lain seperti hadis dan konsep fikih lain serta bantuan para ahli ilmu astronomi.

Sementara itu PBNU belum menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1444 H dan Pemerintah menunggu hasil Sidang Isbat yang akan diadakan tanggal 20 April 2023 mendatang. Seperti yang kita ketahui, PBNU dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri menggunakan metode Rukyatul Hilal bil fi’li. Metode tersebut dengan cara melihat bulan secara langsung, apakah hilal sudah terbit dengan melihat ufuk secara langsung atau tidak. Jika masih di bawah 3 derajat dari ufuk maka hilal tidak terlihat, hal ini menjadi dasar bahwa belum memenuhi syarat. Di tanggal 20 April 2023 (29 Ramadan 1444 H) besok pelaksanaan kegiatan ruyatul hilal akan dilaksanakan.

Diprediksikan di hari tersebut menurut perhitungan ilmu astronomi, posisi hilal berada pada ketinggian 1 hingga 2 derajat atau masih di bawah 3 derajat. Dengan demikian, menurut kriteria baru imkan/visibilitas rukyah menurut Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) penentuan Hari Raya Idul Fitri 1444H akan terdapat potensi perbedaan.

Perbedaan tersebut mengingatkan kembali pada Guyonan Gus Dur saat itu, di mana beliau mengatakan bahwa Muhammadiyah memiliki metode penetapan Hari Raya Idul Fitri sendiri, demikian pula dengan NU.

“Lha kemarin itu Idul Fitri yang hari Kamis ikut Imam Daruqutni.”

“Lho, Imam Daruqutni itu siapa, apakah seorang ahli hadis?”

“Bukan, itu lho ketua Pemuda Muhammadiyah. Nah kalau ikut hari Jum’at ikut Imam Syafi’i. Diwakilkan teman saya di kantor namanya Imam Mudzakkir.”

 “Nah kalau yang Sabtu hari rayanya?”

“Ikut Imam Samudera, sudah tidak ada hari raya, masih aja hari raya. Mau Aboge (Alif-Rebo-Wage) tah maunya,” kata Gus Dur, yang dikutip dari Jas Hijau.

Dalam salah satu khutbah Gus Dur pada tanggal 7 Januari 2000 ketika menjadi presiden dalam momentum Hari Idul Fitri, beliau mengatakan, “Ajakan kepada kita semua untuk memperhatikan nasib kaum yang lemah, memajukan ekonomi rakyat, menegakkan demokrasi yang berarti menegakkan kedaulatan hukum, menerima perbedaan pendapat, karena ini bagian dari ajaran agama. Kalau ini sampai dilupakan berarti kita hanyalah mementingkan agama dalam arti seremonial saja.”

Gus Dur berkesimpulan dalam memaknai Hari Raya Idul Fitri bahwa surga dipenuhi oleh para pendosa yang mau bertaubat dan meminta maaf, sementara neraka dipenuhi oleh para alim yang munafik dan besar kepala. Memaknai ibadah dalam konteks sosial-masyarakat tak semata ibadah horizontal semata menjadi penting untuk menjadi bahan renungan bersama.     

Perbedaan di Indonesia sudah menjadi wajah keseharian dan lazim, beda tempat maka beda pula cara menyikapi terhadap sesuatu, termasuk Hari Raya Idul Fitri. Berbeda itu hal yang biasa, mengimani salah satunya maka silakan saja, karena pada dasarnya tiap metode/cara tersebut sama baiknya. Yang lebih utama adalah pemaknaan terhadap esensi Hari Raya Idul Fitri, kembali ke fitrah dalam artian yang sesungguhnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarnegara, Jawa Tengah.