Lestarikan Budaya, Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap Gelar Wayang Potehi

Pembatasan berbagai hal yang berkaitan dengan Tionghoa tertuang melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina di masa Orde Baru, di bawah Pemerintahan Presiden Suharto. Pelarangan juga termasuk tata cara beribadah serta perayaan pesta agama dan adat istiadatnya. Sekalipun dirayakan maka hanya sebatas lingkup keluarga saja.

Titik terang dimulai ketika era Reformasi, ketika Gus Dur menjabat presiden, Inpres yang mendiskriminasi kalangan Tionghoa itu dicabut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, pada 17 Januari 2000. Warga Tionghoa tak perlu lagi bersembunyi untuk merayakan hari raya, bahkan Hari Raya Imlek skala nasional dirayakan secara terbuka. 

Semula, kelompok Tionghoa banyak yang dipaksa untuk memilih satu dari lima agama resmi pemerintah. Namun semenjak era Gus Dur, mereka bisa kembali menganut kepercayaannya. Konghucu kemudian ditetapkan menjadi agama resmi keenam di Indonesia.

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, membuka berbagai kesenian Tionghoa untuk tampil di publik, salah satunya yaitu Wayang Potehi. 

Klenteng Lam Tjeng Kiong dan Wayang Potehi

Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kong Co Xuan Tian Shangdi yang menjadi Dewa Utama Klenteng, Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap menggelar pertunjukan Wayang Potehi mulai tanggal 20 April sampai dengan 10 Mei 2023, dengan lakon yang menceritakan kisah perjalanan Kong Co tersebut. 

Adalah Bapak Widodo, beliau sebagai dalang sekaligus pemimpin rombongan Wayang Potehi dari Klenteng Gudo Jombang, menceritakan sejatinya Wayang Potehi adalah pentas pertunjukan yang digelar di panggung terbuka memakai tenda khusus di mana dalang serta pemain musik ada di dalam tenda tersebut.

Karena mobilitas pementasan dari tempat satu ke tempat lainnya dengan membawa serta bongkar pasang tenda membuat keribetan tersendiri, kreativitas kemudian muncul dengan kendaraan mobil yang di-setting khusus untuk pementasan. 

1 Oktober 2020 merupakan tanggal launching pertama kali Go Pot (Go Potehi) Wayang Potehi keliling. Kemasannya adalah model panggung terbuka dengan musik live supaya penonton bisa melihat aktivitas pemain di dalam mobil.

Potehi sendiri berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan ke dalam kain tersebut dan memainkannya. Pertunjukan dalam satu lakon cerita biasanya berdurasi waktu sekitar dua jam. Adapun orang-orang yang ada dalam rombongan terdiri dari satu dalang, satu pembantu dalang, dan tiga pemain musik. Kurang lebih ada 10 alat musik. Oleh karena itu satu pemain musik bisa memainkan dua sampai empat alat. 

Sejatinya Wayang Potehi dibawakan dengan perantara bahasa Hokkian, namun dalam perkembangannya sekarang dibawakan dengan bahasa Indonesia, atau bisa juga dengan bahasa daerah. Cerita-cerita dalam Wayang Potehi sejak era Reformasi mengalami beberapa akulturasi, yaitu bisa dikolaborasi dan elaborasikan dengan kesenian khas Indonesia lainnya, salah satunya Seni Ketoprak atau Wayang Orang, dengan lakon cerita yang sudah digubah tanpa mengurangi cerita aslinya. 

Dengan jumlah lima orang dan sepuluh alat musik, mobil Go Pot Wayang Potehi berkeliling ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan bagian lain Indonesia. 

Penggerak Komunitas GUSDURian Adipala, Cilacap.