Menjelang Vesak Festival, Young Buddhist Association bersama Jaringan GUSDURian Gelorakan Semangat Kemanusiaan di Atas Segalanya

SURABAYA – Young Buddhist Association bersama Jaringan GUSDURian menggelar kajian lintas agama bertema “Humanity is Above All” dalam perspektif Agama Islam dan Buddha, Minggu (14/05/2023) sore. Kajian yang dilakukan di Voza Coworking Space itu menghadirkan dua narasumber atau dua tokoh dari dua agama, yaitu Bhante Nyanasuryanadi Mahathera yang merupakan Pimpinan Dewan Pengawas (Mahanayaka) Sangha Agung Indonesia serta Dewan Pelindung Vesak Festival dari Agama Buddha, dan Alissa Wahid yang merupakan Direktur Jaringan GUSDURian serta putri sulung dari Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid dari Agama Islam.

Acara itu dipandu langsung oleh Deputi Yayasan Pendidikan Metta Surabaya serta Motivator Buddhis, Aryavamsa Frengky. Acara yang membahas tentang “Kemanusiaan di Atas Segalanya” itu merupakan konsep moderasi beragama yang digagas oleh Young Buddhist Association Indonesia untuk menyambut Hari Trisuci Waisak dan bersama Jaringan GUSDURian yang sama-sama memiliki semangat kebaikan dan sosial kepada sesama tanpa memandang identitas. Acara ini diikuti oleh lebih dari 150 peserta baik dari Agama Buddha maupun non-Buddha.

Pada kesempatan ini, Bhante Nyanasuryanadi Mahathera menjelaskan bahwa perlunya hidup sebagai manusia yang utuh berperikemanusiaannya. “Sangat sulit terlahir jadi manusia. Jadi bagaimana kita hidup sebagai manusia utuh, yang memanusiakan manusia,” kata Bhante.

Menurutnya, hal itu perlu dimulai dari diri sendiri untuk melatih diri dengan penuh kesadaran (mindfulness) pada kehidupan sehari-hari. Hal yang sesederhana ini sebenarnya bisa dilakukan tetapi banyak orang tidak pernah sadar seutuhnya hidup pada momen saat ini.

“Sadari napas keluar masuk dan ketika kita berjalan setapak demi setapak. Hal yang mudah dan sederhana saja dimana semua orang sebenarnya bisa melalukan namun tidak pernah sadar dengan hadir seutuhnya di saat ini. Kesadaran inilah yang membuat perubahan tidak selalu menjadi hal buruk berkat adanya hukum perubahan maka kita menjadi yang sekarang ini,” ujarnya.

Di Agama Buddha, kebersamaan antar manusia yang sama tinggi bukan melihat status sosial maupun gender. Sebagai umat Buddha sudah seharusnya menempatkan diri dan memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan. Mengembangkan kerangka berpikir positif, menjalin interaksi, maupun dialog yang dekat sehingga dapat memahami, bukan hanya label saja harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Jadi tingkatkan kepekaan empati pada orang lain sehingga bisa memiliki cara pandang dan memiliki pola pikir dan berperilaku yang inklusif,” imbuhnya.

Oleh karena itu, melalui pertemuan lintas agama ini Bhante berharap dapat menyadarkan semua elemen masyarakat untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam menyongsong perayaan Hari Trisuci Waisak. “Tiga peristiwa Waisak adalah sebuah perjalanan Guru Agung kita, Sang Buddha. Peristiwa ini menjadi teladan yang mengingatkan kita bahwa hidup kita ini sangat berharga, namun memiliki batasan waktu dimana kita nantinya akan meninggal. Untuk itu kita perlu meningkatkan kapasitas kita dan mengoptimalkan hidup kita. Kita bisa lakukan apapun, kalau kita mau,” tegasnya.

Sementara itu, Alissa Wahid juga menjelaskan misi GUSDURian dalam tindakan kebaikan kepada semua termasuk bidang kemanusiaan adalah berasal dari filosofi Gus Dur, di mana manusia hidup itu perlu menekankan pada ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan; bukan pada hal matrealistis. Bahkan, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kemanusiaan.

“Batas kemanusiaan itu bisa dilampaui oleh tiga hal, yaitu: cinta, kebebasan, dan Tuhan. Tapi kadang umat ini sering lupa bahwa Tuhan ini maha segalanya, jadi sudah tidak perlu dibela lagi. Untuk itu sentimen agama yang muncul perlu diperlakukan dengan hati-hati dan dihindari. Jadi kalau ada apa pun yang terjadi, bahkan yang terburuk pun terjadi kita tidak lagi bimbang, luwes, dan tahu apa yang perlu dilakukan. Kebenaran tidak bisa ditawar,” tegasnya.

Menurutnya, kaum muda adalah kaum peka hak dan berani untuk membela apa yang diyakini. Di sisi lain kaum muda memiliki kebebasan informasi dan transportasi. Hal ini menyebabkan kaum muda bisa salah arah dan menjadi egoistis dan menjadi sociocentric society. “Padahal kalau kita menerapkan nilai-nilai kemanusian kita akan sadar apa yang benar-benar penting dan memprioritaskan kepentingan bersama demi terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan hidup,” katanya.

Meski begitu, kembali pada esensi agama, di mana memiliki cara pandang, sikap, dan aktualisasi yang meningkatkan martabat dan kebaikan bersama. Apabila melakukan tindakan kebalikan seperti penistaan dan menindas, maka harus berani menolak. Dari situ maka harmoni akan terwujud. “Kadang solidaritas sesama pemeluk agama ini melebihi apa pun. Bukan hanya sociocentric society, yang urus kepentingan kelompok sendiri. Tapi ikut memberdayakan komunitas dan ruang hidup bersama. Bukan perbedaan yang dilarang agama, tapi perpecahan,” katanya.

Perbedaan justru dapat memperkuat komunitas sehingga bisa sama-sama merawat harmoni dalam hidup berbangsa. “Pepatah mengatakan waktu yang tepat untuk menanam pohon itu adalah tiga puluh tahun lalu dan sekarang. Begitu juga waktu yang tepat untuk memelihara kerukunan adalah tiga puluh tahun lalu dan sekarang,” kata Ketua PBNU itu.

Wakil Ketua Young Buddhist Association Limanyono Tanto, Wakil Ketua YBA mengatakan pertemuan dan silaturahmi lintas tokoh agama ini sangat perlu dihadirkan agar muda-mudi Buddhis Indonesia dapat saling mengenal antar ajaran. Selain itu, acara ini juga untuk menyambut perayaan Trisuci Waisak, sehingga bisa menaikkan wawasan dan pengetahuan hidup berbangsa dan bernegara, bukan terpaku pada perayaan ritual agama saja. Tujuan akhirnya agar tercipta moderasi dan tenggang rasa antarumat beragama serta menjadi nilai lebih umat Buddha di mata umat beragama lain melalui sikap dan sifatnya.

“Nah, dari situlah kami berharap agar muda-mudi Buddhis di Indonesia menjadi pioner toleransi dan belajar kebaikan dari tokoh agama lain seperti Mbak Alissa yang so inspiring kami semua meskipun kami minoritas dalam jumlah, tetapi harus memiliki jiwa tanggung jawab yang besar untuk merawat tali toleransi,” katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa menyambut Waisak, YBAI akan mengadakan perayaan Vesak Festival di Atrium Mall Tunjungan Plaza 3 pada tanggal 31 Mei hingga 4 Juni dengan tema Harmony in The Middle Way. Oleh karena itu, ia mengaku bahwa YBAI akan mempersembahkan hari besar Agama Buddha nanti untuk memperkokoh moderasi beragama dari sudut pandang ajaran dan sejarah Agama Buddha.

“Kami juga muda-mudi buddhis akan perayaan Waisak di mall, di mana harapannya kami tidak ingin membuat muda-mudi Buddhis hanya merayakan romantisme Hari Waisak tetapi juga memberikan sumbangsih ajaran moral dan pesan edukatif kepada masyarakat melalui diorama dan pertunjukkan seni yang mengangkat ajaran Agama Buddha, khususnya untuk moderasi beragama. Apalagi ini menjelang tahun politik 2024 ada baiknya kita memberikan hal yang sejuk di mana semangat ini sudah turun-temurun sejak zaman nenek moyang kita yaitu Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya di mana perdamaian dan hidup berdampingan antarumat beragama sudah tercipta,” pungkasnya.