Bekerja sama dengan Toko Buku Manifesto dan Lingkar Belajar LESEHAN, Komunitas GUSDURian Majene menggelar Forum 17-an dengan tema “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gus Dur”. Kegiatan yang menjadi bagian dari Gerakan 17-an Jaringan GUSDURian ini berlangsung pada Senin (22/5/2023) di Toko Buku Manifesto, Majene, Sulawesi Barat.
Diskusi ini dihadiri sebanyak 15 peserta: 11 laki-laki dan 4 perempuan. Mutmainnah Syam, dosen Universitas Sulawesi Barat (UNSULBAR) sekaligus menjadi pembina GUSDURian Majene berperan menjadi pemantik dalam diskusi ini. Sesi diskusi sendiri dimoderatori oleh Koordinator GUSDURian Majene. Setelah pemantik memberikan pengantar diskusi, para peserta kemudian memberikan umpan balik sehingga forum diskusi menjadi hidup.
Pada pengantar diskusi yang disampaikan, pemantik menceritakan bahwa awalnya ia pernah mencemooh Gus Dur karena Gus Dur menjadi presiden dengan kondisi fisik tidak normal, tidak seperti manusia yang lainnya.
“Kenapa orang-orang Indonesia memilih orang buta menjadi pemimpin Indonesia di antara banyak sekali tokoh, dari banyak sekali pemikir. Dari banyak sekali politikus, kenapa harus Gus Dur? Orang yang punya keterbatasan fisik,” ujar Mutmainnah. Hal tersebut diakui olehnya karena belum mengenal pemikiran Gus Dur saat itu, melainkan hanya memandang fisiknya saja.
Pemantik kemudian menjelaskan lebih jauh bahwa Gus Dur tidak sekedar mempelajari teori, tetapi juga mengimplementasikan apa yang sudah dipelajarinya.
“Ketika melihat Gus Dur sebagai pemikir kiri dan pemikir kanan, lalu kemudian punya pemikiran yang moderat. Ternyata pemikiran itu tidak hanya dikandung dalam otaknya, tapi lebih dari pada itu, ia jadikan sebagai sebuah gerakan saat menjadi pemimpin,” ujarnya.
“Gus Dur melihat kelemahan dari perempuan atau gerakan perempuan bukan karena perempuan itu sendiri. Tapi karena ada struktur sosial, ada struktrur negara yang melemahkan perempuan,” lanjutnya.
Mutamainnah juga menerangkan bahwa saat menjabat presiden Gus Dur langsung membuat kebijakan tentang pengarusutamaan gender, kebijakan yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan negara.
“Ketika menjadi presiden, Gus Dur sangat berani mengeluarkan inpres pengarusutamaan gender. Saat menjabat presiden selama satu setengah tahun, dia rombak nama kementerian. Bukan lagi kementerian urusan wanita, tapi dijadikan sebagai pemberdayaan perempuan,” pungkasnya.