Nahdlatul Ulama. Ia nahkoda dari kapal besar bernama bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa besar sekali ombak yang menerpa bangsa ini. Namun, NU selalu tangkas dan cekatan dalam melewati terpaan dan menjadi kompas penunjuk arah dalam menentukan sikap dan menyelesaikan problema lintas samudera zaman.
Tentunya, seorang nahkoda memiliki beberapa pembantu yang dapat menentukan arah-gerak agar sampai tujuan (goal) yang diinginkan atau yang sudah menjadi komitmen jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kita mengenal pembantu itu adalah Gus Dur. Santri Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang yang saat ngaji malah membaca buku-buku filsafat Barat itu, menjadi Ketua Umum PBNU Masa Khidmat 1984-1999.
Gus Dur Mencari “Kitab Suci”
Jalan yang ditempuh Gus Dur menuju pucuk pimpinan NU tidaklah mulus. Sebelum menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur melakukan pengembaraan yang sangat menantang dan barang siapa yang mau memahaminya, maka kita akan mengambil ibrah dari perjalanan Gus Dur dari Jombang ke Mesir lalu dari Mesir ke Baghdad.
Kita mendengarkan ceramah dari KH. Mustofa Bisri. Gus Mus memberikan kisahnya yang mana ia menjadi pelaku sejarah mengenai Gus Dur. Cerita itu beliau sampaikan pada Haul Gus Dur Ke-13 pada 17 Desember 2022 di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Gus Mus berkisah seraya membenarkan anggapan masyarakat bahwa Gus Dur itu di dropout dari Universitas Al-Azhar. Bahwa, Gus Dur lebih dulu datang ke Kairo ketimbang Gus Mus. Setelah Gus Dur kenal dengan Gus Mus, mulai akrablah mereka. Gus Mus heran, baru saja kenal dan Gus Dur langsung akrab dengannya serta anehnya lagi, Gus Dur mengikuti jurusan kuliah Gus Mus.
Namun, setelah Gus Dur mengecek mata kuliah jurusan kuliahnya Gus Mus, Gus Dur menggerutu kepada Gus Mus: “Lah, ini pelajaran-pelajaran yang ada di pesantren-pesantren itu! Wah, buang-buang umur ini!”
Lebih lanjut, kita perlu melacaknya lewat buku gubahan Greg Barton yang berjudul Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid) terbitan IRCISoD 2020. Buku yang—seharusnya sudah dikatakan oleh GUSDURian—menceritakan Gus Dur dari lahir sampai ia tumbang dari Istana Negara, juga tak lupa menceritakan bagaimana kisah-kenyelenehan Gus Dur semasa di Kairo yang itu terjadi pada tahun 1960-an.
Gus Dur Kecewa
Universitas Al-Azhar menjadi episentrum khazanah pendidikan Islam termasyhur di dunia. Namun, buat Gus Dur kemasyhuran itu biasa saja. Sistem pendidikan di Al-Azhar, bagi Gus Dur, sama saja dengan di pesantren. Bahkan, Gus Dur pun disuruh untuk mengikuti kelas bahasa Arab dasar yang bagi Gus Dur ia sudah menguasainya, juga terkait pelajaran-pelajarannya, Gus Dur sudah sangat familiar. Sehingga, seperti yang diungkap Gus Mus di atas, adalah “membuang-buang umur”.
Oleh karenanya, ketimbang kuliah, Gus Dur lebih memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang ia anggap sebagai hal yang sama sekali baru dan belum pernah ia dapatkan di Tanah Air khususnya di pondok pesantren. Hal-hal baru itu ialah menonton bioskop, nonton film-film Prancis, Amerika, Inggris. Tak lupa ia rutin mengunjungi perpustakaan Universitas Amerika, perpustakaan Universitas Kairo, Universitas Prancis.
Selain itu, Gus Dur sering ngopi. Baginya Gus Dur tidaklah seperti kegiatan pemuda/mudi sekarang yang kiranya kontraproduktif. Melainkan dalam rangka mendiskusikan buku-buku bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan yang terdapat di Kairo. Buat Gus Dur, Kairo adalah kota yang penuh dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan, dan ide-ide baru.
Ke Baghdad, Ke Eropa
Setelah Gus Dur merasa kecewa di Kairo, ia mendapat kesempatan buat melanjutkan studinya ke Irak, tepatnya di Universitas Baghdad. Terbukti, bahwa Universitas Baghdad menjadi lingkungan bagus untuk Gus Dur sebagai cendekiawan. Namun, Gus Dur tidak merasakan ke-loss-an seperti di Kairo. Ia merasa terkekang dengan aturan bahwa, jika Gus Dur tidak teratur mengikuti perkuliahan, ia akan gagal mendapatkan beasiswa.
Bagaimanapun, Gus Dur tetap menonton bioskop dan film-film Prancis. Ia juga tetap membaca buku sampai menjelang pagi. Hal itu selalu Gus Dur lakukan hingga ia sering bangun pagi dalam keadaan mengantuk. Di sore harinya, Gus Dur sibuk membaca di perpustakaan universitas, mengingat ia harus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Kemudian di malam hari, Gus Dur ngopi di tepian Sungai Tigris yang membuatnya berkesempatan untuk terlibat diskusi-diskusi intelektual sebagaimana di Kairo. (Greg Barton, 2020: 105)
Setelah Gus Dur menamatkan studinya di Baghdad, ia melancong ke Negeri Kincir Angin. Gus Dur berharap bisa melanjutkan belajarnya di pascasarjana Universitas Leiden. Namun, ia kecewa lagi. Bahwa, ijazahnya dari Universitas Baghdad tidak diakui oleh Universitas Leiden. Disamping itu, Gus Dur menyuruh Gus Mus untuk menyusulnya ke Belanda karena sudah dicarikan pekerjaan. Konon, pekerjaan itu gajinya besar, yakni mengepel kapal induk.
Pembaharu NU
Setelah melanglang buana, Gus Dur kembali ke Tanah Air. Kita tahu, NU menjadi bagian dari PPP. Namun, buat Gus Dur, NU harus di-upgrade dengan memisahkan diri dari PPP. Gus Dur punya agenda mengapa perlu NU keluar dari PPP. Masing-masing adalah NU diperlakukan tidak adil oleh Orde Baru melalui PPP, sehingga menurut Gus Dur, NU lebih baik fokus pada kegiatan civil society. Lalu, hubungan langsung antara agama dengan politik adalah hubungan yang tidak sehat. Karena, hal ini akan membatasi kebebasan beragama aktor politik dan pada gilirannya akan melahirkan sektarianisme dalam politik.
Puncaknya, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum dan NU, kembali ke Khittah dan menyatakan dirinya keluar dari PPP dan menjadi organisasi sosial-keagamaan. Selain itu, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Semenjak itu lah Gus Dur lebih sibuk. Ia berkeliling ke penjuru Nusantara buat mensosialisasi bahwa NU menerima Pancasila sebagai sistem bernegara dan beragama.
Kemudian, Gus Dur terpilih lagi menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU di Krapyak 1989. Di situ, Gus Dur banyak dilontari kritik. Sebut saja perkara bahwa Gus Dur bersimpati dengan kaum Syiah. Ia akrab dengan seorang Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) yang pada 1980-an dianggap tokoh sentral Syiah. Terlebih, Gus Dur memberikan izin kepada kelompok Syiah untuk menggelar acara di masjidnya di Ciganjur.
Hal di atas dilakukan Gus Dur atas berdasar kepada bahwa ia tidak suka manakala kelompok minoritas tertindas, pertama. Kedua, kalau kita membenci Syiah maka kita menggerogoti kemerdekaan keagamaan. Ketiga, pemahaman Syiah sangat kaya, mengingat ijtihadnya yang terbuka kepada metafisika merupakan kekayaan dalam horizon intelektualisme Islam. Keempat, laku-laku sufistik dalam NU tidak lepas dari ajaran-ajaran sufi di Persia, karenanya warga NU harus mempelajari Syiah. (Greg Barton, 2020: 210)
Selanjutnya, Gus Dur kembali lagi menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar Cipasung 1995. Dalam Muktamar itu, NU dan Gus Dur mendapat ancaman dari Orde Baru yang menginginkannya tidak lagi berada di puncak pimpinan NU. Waktu itu muncul jargon yang dicetuskan oleh rezim, yakni ABG (Asal Bukan Gus Dur). Pada Muktamar ini, terdapat empat calon. Yakni, Gus Dur, Fahmi Saifuddin, Chalid Mawardi, dan Abu Hasan. Yang terakhir ini, adalah calon yang dipasang Orde Baru dalam rangka untuk menguasai NU. Dan bilamana, Abu Hasan menang, maka NU dapat dikendalikan rezim Orde Baru.
Pada putaran pertama pemungutan suara, Gus Dur mengumpulkan 157 suara, Fahmi Saifuddin 17 suara, Chalid Mawardi 6 suara, dan Abu Hasan 136 suara. 6 suara Chalid Mawardi menuju Abu Hasan dan yang akan menentukan adalah 17 suara anggota delegasi yang mendukung Fahmi Saifuddin. Pendukung Gus Dur mulai cemas. Yang muda sibuk mondar-mandir dan para kiai senior terus berdoa kepada Allah agar Gus Dur menang agar NU tetap selamat.
Situasi semakin menegangkan, para tantara (ABRI) dengan kendaraan pansernya bersebar di berbagai sudut berlangsungnya Muktamar. Pada akhirnya, Abu Hasan memperoleh 142 suara dan Gus Dur mendapat 174 suara. Sehingga, Gus Dur tetap stay menjadi Ketua Umum PBNU sampai pada Muktamar 1999 ia digantikan KH. Hasyim Muzadi.
Warisan Pembaharuan Gus Dur
NU, di era kepemimpinan Gus Yahya ini, memang sangat mendunia. Dengan berbagai program-program kerjanya, NU berniat membangung jagat dan merawat peradaban dengan spirit satu abadnya. Agenda ini tentunya tidak hanya berada di pundak PBNU saja, melainkan menjadi agenda kolektif warga NU yang berada di struktural maupun yang mendaku diri sebagai warga NU kultural.
Tentunya mempribumisasi pemikiran dan gagasan pembaharuan Gus Dur yang telah ia semai di NU harus dirawat dan diruwat. Lebih-lebih di tahun politik ini, NU harus berada di tengah-tengah (wasathiyah) dalam keberpihakannya. Memang, NU juga berpolitik. Tetapi politik NU adalah politik kemanusiaan. Bukankah kalau kata Gus Dur: “yang terpenting dari politik itu adalah kemanusiaan”?
Slogan tadi tidak cukup buat quote ataupun sekedar menempel di kaos-kaos GUSDURian saja. Harusnya juga dibarengi dengan usaha-usaha tanpa pamrih (khidmat) kepada NU agar apa yang dicita-citakan Gus Dur menjadi nyata dan bukan sekedar mimpi (dream comes true).
Karenanya, kita membaca Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 2000) yang menyajikan kumpulan esai Gus Dur yang dimuat di Majalah Prisma medio 1970 sampai 1980-an. Di situ, kita membaca esai berjudul NU dan Islam di Indonesia Dewasa ini. Dalam esainya ini, Gus Dur menyoroti secara sepintas tentang kondisi NU dalam ranah politik maupun ilmu keagamaan, proses pengambilan keputusan hukum, dan kondisi sosio-kultural warga NU.
Juga, Gus Dur mencanangkan NU hadir sebagai air segar yang harus memadamkan disintegrasi nasional. Kekacauan itu, menurut Gus Dur terjadi karena gempuran kelompok Islam garis keras dan watak sektarianisme politik. Oleh sebabnya, hadirnya NU dalam rangka mewujudkan integrasi nasional perlu direnungkan dalam diri kita.
Sehingga, NU harus diarahkan pada penciptaan “konsensus nasional” yang baru tentang tempat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu, dimulai dengan penerimaan internal umat Islam di Indonesia tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa secara tuntas. Yang pada akhirnya, membawa jargon “perjuangan Islam” menjadi “perjuangan bangsa”.
Begitulah. Sudah seharusnya, dalam menghadapi dinamika zaman, juga menatap dua abad NU sumbangsih pemikiran Gus Dur harus selalu bersemayam dalam lubuk hati NU. Agar, NU sebagai organisasi sosial-keagamaan Islam terbesar sejagat ini bisa “hijrah” (menjadi lebih baik) dalam rangka mencetak kader-kader NU muda yang berwatak pembaharu pewaris pemikiran Gus Dur dan beradaptasi dengan perkembangan zaman—digitalisasi—tanpa meninggalkan budaya-budaya organisasi NU dan kebudayaan lokal Indonesia.