Janji Gus Dur pada Alissa

Suatu ketika, Gus Dur mengunjungi salah satu dusun di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta. Namun sayang, ia tidak sempat berjumpa dengan putrinya, Alissa Wahid yang sedang melaksanakan praktik Kuliah Kerja Nyata (KKN) di lokasi tersebut. Meski pihak tuan rumah telah menawarkan diri untuk mencarinya dengan alasan putri sulungnya itu berada tak jauh dari lokasi Gus Dur bertamu, tetapi dengan sikap ramah, Gus Dur menolak tawaran tersebut dan memilih pamit meninggalkan lokasi.

Melihat sikap Gus Dur tersebut, sopir yang sedari tadi mengantarnya heran. Karenanya ia pun memberanikan diri bertanya dengan setengah sungkan. “Pak, kenapa Bapak tidak menunggu saja?” Pertanyaan sopir itu tentu sangat beralasan, mengingat jalan menuju lokasi KKN tidak mudah. Bahkan Hairus Salim (HS) yang juga ikut serta mendampingi kunjungan Gus Dur, harus bertanya berkali-kali agar bisa sampai ke lokasi tersebut.

Lantas apa jawaban Gus Dur? Ia bilang, “Saya memang berjanji pada Alissa untuk datang ke sini, tapi tidak berjanji menemuinya,” jawab Gus Dur ringan sambil melanjutkan tidurnya. Jawaban tersebut tentu saja membuat sopir tidak berkutik, sebab berjanji mengunjungi lokasi KKN, tentu saja maknanya berbeda dengan janji untuk bertemu Alissa di lokasi.

Kisah yang dipaparkan oleh HS dalam bukunya berjudul “Wajah Cemas Abu Nuwas” ini mengisyaratkan cara pandang Gus Dur dalam merespons persoalan. Hal-hal yang biasanya dianggap penting oleh sebagian orang, boleh jadi baginya adalah hal yang biasa dan tak perlu dipersoalkan, “Gitu aja kok repot”.

Gus Dur dan Alissa dalam cerita HS di atas tentu saja bukan sekadar cerita tentang janji, tetapi juga kesempatan. Tidak semua orang mampu menunaikan janjinya karena terkendala kesempatan. Mereka yang mampu memanfaatkan kesempatan untuk menunaikan janjinya adalah manusia yang sadar diri, sebab dengan berjanji, ia tidak hanya mengumbar harapan bagi orang lain, tetapi juga sedang mempertaruhkan kehormatan, kepercayaan, dan integritas dirinya.

Meski setiap orang menyadari akan hal ini, namun kesempatan kadang luput dari perhatian, bahkan tidak jarang dianggap remeh. Padahal pengingkaran terhadap janji tentu tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga martabat diri. Gus Dur dalam cerita di atas telah menunaikan janjinya, namun karena kesempatan, ia tidak sempat berjumpa dengan putrinya.

Komitmen Gus Dur untuk menunaikan janjinya sekaligus menjadi gambaran kepribadiannya sebagai manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Sebab bagaimana mungkin seseorang mampu menunaikan janjinya pada orang lain, jika ia sendiri tidak bisa menyelesaikan janji untuk dirinya (berkomitmen).  

Dalam konteks kearifan lokal Bugis-Makassar, sikap seperti ini disebut sebagai taro ada’ taro gau (kesesuaian antara perbuatan dan perkataan) yang tidak hanya bermakna penyampaian informasi sesuai dengan kenyataan, tetapi juga realisasi janji yang telah diucapkan. Realisasi janji adalah wujud dari kedo male’bi (perilaku baik) yang menjadi penopang utama integritas dan kepedulian seseorang.

Presidium Jaringan GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua). Tinggal di Makassar. Aktif menulis di media cetak maupun daring.