“Pengetahuan akan memberimu kekuatan, tetapi karakter memberimu kehormatan.”
Bruce Lee
Oppenheimer adalah seorang manusia yang dititipkan api oleh Prometheus itu sendiri. Mungkin saya harus mengawali tulisan ini dengan kata itu. Sebab saya telah membaca beberapa review tentang film besutan Christopher Nolan yang terlalu mengglorifikasi dirinya, bahkan karakter di filmnya. Namun, hal yang ingin saya bahas adalah idealisme dan moralitas dari seorang intelektual yang dijaganya bahkan hingga dirinya mati.
Menilik karakter Bapak Bom Atom ini tidak hanya bisa kita dapatkan dari film Christopher Nolan. Salah satunya pada film dokumenter berjudul To End All War: Oppenheimer and the Atomic Bomb. Film yang juga rilis di tahun 2023 ini menilik secara mendalam karakter seorang J. Robert Oppenheimer.
Oppie, itulah panggilan dari Doktor Oppenheimer ketika di Amerika yang pada awal film dokumenter ini, dirinya ditanyai apakah bisa membuat sebuah bom atom yang mampu membunuh 40 juta warga Amerika dalam satu malam. Dengan wajah datar, dirinya menjawab ‘iya’.
Narasi yang muncul di kedua film ini sama-sama menunjukan bahwa karakter Oppenheimer sangat kontradiktif dengan hasil ciptaannya. Di satu sisi senjata ciptaannya adalah penghancur kemanusiaan, di sisi lain moralnya berkata bahwa, kemanusiaan sangat penting. Dirinya memilih jalan damai pada setiap persoalan.
Pada film dokumenter itu dirinya bahkan tidak memedulikan saat diperlakukan semena-mena oleh teman masa kecilnya. Kala itu dirinya dikurung di sebuah gudang penyimpan es dengan keadaan bugil dan badan dipenuhi cat hijau.
Oppie kecil hanya bisa menerimanya dengan ikhlas. Tanpa ada perlawanan seperti yang biasanya dilakukan oleh anak-anak biasanya. Karakter yang sangat menjunjung jalan damai sejak kecil.
Menurut Immanuel Kant, moralitas didasarkan pada kewajiban moral yang objektif, yang disebutnya sebagai “Imperatif Kategoris”. Menurutnya, tindakan dianggap baik jika kita bertindak berdasarkan prinsip moral yang dapat diterapkan secara universal dan rasional, terlepas dari konsekuensinya.
Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf abad pertengahan berpandangan bahwa manusia memiliki naluri moral yang berasal dari Tuhan, dan manusia dapat mencapai kebenaran moral melalui akal dan wahyu.
Seperti yang terjadi pada Oppenheimer. Dirinya tenggelam pada permenungan kisah Mahabharata, melalui kitab Bhagavad-Gita tentang kematian. Dia menganggap dirinya adalah pembawa kematian, setelah tes peledakan bom atom pada 16 Juli 1945 di Los Alamos, New Mexico.
Pasca uji coba yang dilakukan dini hari yang digambarkan oleh Christoper Nolan pada filmnya kondisi psikologi Oppenheimer (Cillian Murphy), di mana air mukanya menggambarkan ketegangan dan kesadaran mendalam betapa destruktifnya senjata tersebut.
Dalam film dokumenter To End All War: Oppenheimer and the Atomic Bomb, Oppenheimer bahkan menyebut umat manusia bisa musnah. Saya meyakini bahwa yang dimaksud dengan musnah adalah moral kemanusiaan yang musnah sekaligus dengan manusia itu sendiri.
Namun perlu kita sadari bahwa cita-cita ideal dari Oppenheimer untuk menghentikan seluruh perang bahkan yang belum terjadi adalah sebab dirinya terlibat pada proyek Manhattan selama Perang Dunia II itu. Meskipun latarbelakang yang sesungguhnya adalah harapan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mengungguli para ilmuwan Nazi di bawah komando Hitler yang berjalan menuju penciptaan bom yang dahsyat.
Dalam dokumenter tersebut, sebelum fajar pada 16 Juli 1945 saat pengujian bom, Oppenheimer berada di satu bunker. Dia menguatkan dirinya dengan mengucapkan, “Tuhan, urusan ini berat di hati”. Dia berkata agar harus tetap sadar pada tes peledakan itu.
Melansir historia.id, penyesalan Oppenheimer itu ibarat deja vu seperti momen ketika kimiawan Aldred Nobel mengembangkan dan mematenkan dinamit pada 1867 yang belakangan disesalinya. Penyesalan yang sama muncul juga dari Oppenheimer.
Christopher Nolan, yang menjadi salah satu narasumber pada film dokumenter berkata, “Tidak pernah ada momen seperti itu dalam sejarah dunia. Pandangan dunia, pandangan tentang materi apa, kita terbuat dari apa, memang berubah secara gamblang. Ini adalah pelepasan dari kekuatan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dan tidak pernah bisa diabaikan sejak saat ini”.
Oppenheimer pada dokumenter tersebut berkata pasca pelepasan bom bahwa, “Kita tahu dunia tidak akan sama. Beberapa orang tertawa, beberapa menangis, kebanyakan diam. Aku ingat baris dari kitab Hindu Bhagavad-Gita. Wisnu mencoba untuk meyakinkan sang pangeran bahwa dia harus melakukan tugasnya, dan untuk membuatnya terkesan, mengambil wujudnya yang memiliki banyak senjata dan berkata, ‘Aku sekarang aku menjadi kematian, kehancuran dunia. Aku kira semua kita berpikir begitu, dengan satu atau lain cara’”.
Setelah melihat cuplikan dari kondisi warga Jepang yang terdampak bom yang diledakan di Nagasaki dan Hiroshima, rasa penyesalan Oppenheimer bertambah. Dirinya merasa bersalah kepada seluruh kemanusiaan yang bahkan membuatnya membantah Presiden Harry S. Truman dan menyebutnya pada film Nolan bahwa, senjata itu harus benar-benar dipertimbangkan saat ingin digunakan karena dampak genosidanya.
“Hiroshima jauh lebih mahal dalam hidup dan penderitaan dan tidak manusiawi daripada yang seharusnya,” sebut Oppenheimer pada film dokumenter itu. Bahkan Nolan bilang pada dokumenter itu, setelah peledakan itu sikap yang dikeluarkan oleh Oppenheimer adalah perasaan bersalah. Yang pada saat bertemu Presiden Truman dirinya mengatakan dirinya dihantui rasa bersalah dan tangannya berlumuran darah.
Sebuah idealisme dan moralitas bangkit dari penyesalan Oppenheimer setelah uji ledak bom tersebut. Dirinya menyadari bahwa manusia satu dengan yang lain akan terus berperang dan dirinya telah menciptakan senjata yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia.
Senjata ini dalam dokumenter itu disebutkan, tidak hanya mencegah adanya peperangan di masa depan. Bahkan lebih jauh lagi, senjata ini mengubah pola hidup dan bahkan spiritual umat manusia.
Terlepas dari pengetahuan luas Oppenheimer tentang ilmu fisika dan ketenarannya sebagai Bapak Bom Atom, yang menjadi poin menarik dari sosoknya adalah karakternya yang menjunjung tinggi moral dan sisi humanistik.