Suatu hari Gus Dur didatangi serombongan nelayan tradisional dari Bengkalis, Riau, didampingi Reza Damanik, seorang aktivis gerakan lingkungan. Ketika bertemu Gus Dur, Reza menyampaikan persoalan yang dihadapi para nelayan tradisional tersebut. Mereka menolak penggunaan alat tangkap jaring apung, karena selain mengancam mata pencaharian nelayan tradisional juga merusak lingkungan.
Menurut Reza, perjuangan para nelayan tradisional ini sudah cukup lama, hampir 20 tahun. Mereka telah mengadukan persoalan ini ke berbagai pihak, termasuk pihak pemerintah daerah. Para aktivis lingkungan telah melakukan advokasi dan pendampingan untuk mencari penyelesaian masalah ini.
Berbagai cara sudah ditempuh, mulai diskusi, negosiasi dengan pihak terkait, sampai demonstrasi. Namun aduan mereka tidak mendapat respons yang memadai dari para pemegang kebijakan yang ada di daerah. Para nelayan sudah kehabisan cara untuk mencari penyelesaian atas kasus yang mereka hadapi.
Di tengah suasana yang hampir putus asa, karena panjangnya proses perjuangan yang tidak membuahkan hasil, tiba-tiba ada ide dari Reza dan kawan-kawan aktivis untuk mengadukan masalah ini kepada Gus Dur. Mereka berharap Gus Dur dapat memberikan jalan keluar atas masalah yang sudah berjalan puluhan tahun tersebut.
Akhirnya mereka mengirim beberapa utusan menghadap Gus Dur yang dipimpin oleh Reza Damanik. Ketika bertemu Gus Dur, Reza menyampaikan masalah yang dihadapi oleh nelayan tradisional yang terancam mata pencaharian dan lingkungannya karena ulah para pengusaha kapal tangkap ikan yang menggunakan jaring apung.
Gus Dur menyimak dengan seksama penjelasan yang disampaikan Reza, tanpa memberikan pertanyaan atau komentar. Setelah mendapat penjelasan, Gus Dur langsung berkata, “Ya sudah, nanti biar saya sampaikan ke Presiden SBY.”
Mendengar jawaban ini, Reza ragu. Apa mungkin masalah ini bisa langsung diadukan ke presiden? Jangan-jangan Gus Dur hanya basa-basi. Demikian kata Reza dalam hati. Di tengah keraguan yang berkecamuk, Reza dikejutkan oleh suara Gus Dur, “Sampean bikin surat aja untuk SBY.” Pernyataan ini justru membuat Reza ragu. Untuk meyakinkan diri, Reza bilang, “Gus, sudah sering kirim surat tetapi tidak ada perubahan karena tidak direspons.”
Mendengar pernyataan Reza, Gus Dur langsung menyela, “Itu kan surat Anda, bukan surat saya. SBY takut dengan saya,” demikian kata Gus Dur sambil berkelakar. Jawaban Gus Dur ini semakin membuat ragu.
Untuk membuang keraguan, Reza langsung keluar dari ruangan Gus Dur, mencari kertas untuk mengkonsep surat sesuai perintah Gus Dur. Setelah konsep surat jadi dan dibacakan di hadapan Gus Dur, beliau langsung tanda tangan, tanpa ada perubahan redaksi.
Setelah ditandatangani, kemudian Gus Dur bilang, “Mana suratnya? Biar saya yang sampaikan langsung kepada SBY.” Kembali Reza ragu. Apa benar Gus Dur serius mau menyampaikan sendiri surat tersebut langsung ke presiden? Jangan-jangan ini juga sekedar menghibur para nelayan yang sudah datang jauh-jauh dari Bengkalis. Tapi Reza tidak ingin su’udhan.
Menurut Reza, apa yang dilakukan Gus Dur, sudah lebih dari cukup. Sikap Gus Dur menerima kehadiran para nelayan, mau mendengarkan keluhan mereka dan bersedia menandatangani surat aduan, telah menumbuhkan harapan baru bagi para nelayan yang sudah hampir pupus. Hal ini terlihat dari wajah para nelayan yang berbinar puas saat pamit pulang dan bersalaman satu per satu dengan Gus Dur.
Tanpa diduga, beberapa hari setelah peristiwa itu, Reza ditelpon langsung oleh Freddy Numberi, Menteri Kelautan pada saat itu. Pak Menteri menanyakan soal kasus yang dihadapi nelayan tradisional di Bengkalis. Setelah itu, muncul Peraturan Gubernur (Pergub) yang melarang penggunaan alat tangkap jaring apung yang merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian para nelayan tradisional. Ternyata Gus Dur serius dan tidak basa-basi
Ketika peraturan itu terbit, para nelayan kaget bercampur suka cita, karena tidak mengira persoalan mereka akan terselesaikan secepat itu. Persoalan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, selesai hanya dalam minggu setelah Gus Dur turun tangan.
Demikianlah Gus Dur, membela kepentingan masyarakat kecil tanpa perhitungan. Dalam kasus ini terlihat, Gus Dur telah menggunakan seluruh kapital dan kekuatan yang dimiliki untuk membela kaum yang lemah dan rentan. Suatu teladan yang patut ditiru oleh para pemimpin umat yang memiliki kekuatan kapital.
Sebagaimana kita ketahui, Gus Dur adalah sosok pemimpin umat yang memiliki modal besar. Meski menduduki posisi sebagai pemimpin (informal leader), tetapi Gus Dur mampu mengakumulasikan dan menguasai modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. Hanya modal ekonomi yang tidak dimiliki oleh Gus Dur.
Dengan ketiga modal tersebut sebenarnya Gus Dur dapat mengakumulasi kapital ekonomi, karena ketiga modal ini dapat dikonversi menjadi modal ekonomi. Akumulasi ketiga modal itu memiliki nilai tukar yang sangat tinggi di hadapan modal ekonomi.
Artinya kalau Gus Dur mengkonversikan ketiga kapital tersebut, beliau akan mendapatkan banyak keuntungan secara ekonomi. Tapi hal itu tidak dilakukan, karena ketika ketiga modal itu dikonversi menjadi modal ekonomi, maka Gus Dur akan kehilangan kekuatan moral. Kalau hal itu dilakukan, Gus Dur tidak akan memiliki kekuatan untuk membela kaum lemah.
Inilah Gus Dur. Beliau menjaga ketiga kapital tersebut secara hati-hati dan membelanjakannya secara tepat untuk kepentingan umat, terutama mereka yang lemah dan rentan. Ini berbeda dengan para pemimpin yang sering mengatasnamakan umat dan agama untuk melakukan lobi dan negosiasi demi kepentingan pribadi. Menggunakan jaringan dengan para elite untuk membesarkan diri sendiri. Menukar modal sosial, kultural, dan simbolik yang dimiliki dengan modal ekonomi dan posisi politik/jabatan dengan harga yang murah demi kepentingan pribadi.
Di tengah konstelasi politik dengan kompetisi yang makin ketat, apa yang dilakukan Gus Dur merupakan teladan dan inspirasi yang penting bagi para pemimpin umat. Karena dalam suasana politik yang seperti ini akan banyak kesempatan untuk melakukan konversi kapital. Para pemimpin umat yang memiliki modal sosial, kultural, dan simbolik akan didekati para politisi dan broker. Mereka menawarkan modal ekonomi untuk ditukar dengan modal non-ekonomi yang dimiliki para pemimpin umat.
Dalam suasana seperti ini, apa yang dilakukan Gus Dur, menjadi sumbangan penting dan vital bagi bangsa Indonesia. Dengan menggunakan kapital sosial, kultural, dan simbolik sebagai kekuatan membela kaum lemah dan rentan, politik menjadi sehat, keadilan dapat terwujud, dan martabat kemanusiaan dapat ditegakkan.
Gus Dur telah memberikan contoh nyata menggunakan modal yang ada untuk kemaslahatan umat. Saatnya kita mengikuti dan meneruskannya. Selamat merayakan Hari Lahir (Harlah) Gus Dur, semoga kita dapat meneladani dan meneruskan perjuangannya!