30 Desember 2009 menjadi tanggal penting bagi bangsa Indonesia, khususnya para sahabat, santri, pengagum, dan pecinta KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak terkecuali dengan penulis ini. Tepat di tanggal itu, penulis masih menginjak bangku Sekolah Dasar, berkisar umur 10 tahun. Saat itu penulis menyaksikan beberapa stasiun televisi ramai menampilkan berita ribuan umat manusia berkumpul, kian bertumpah ruah menyaksikan dan menjadi saksi kebaikan hidup beliau. Seakan-akan mereka memberikan penghargaan terbaik yang bisa mereka lakukan atas kepulangan Gus Dur.
Hal tersebut sekaligus memberikan gambaran betapa terpukulnya bangsa Indonesia karena kehilangan sosok Guru Bangsa, kehilangan sosok kiai, sosok Presiden Indonesia, sosok Bapak Pluralisme, sosok Bapak Tionghoa, dan sosok-sosok lainnya yang melekat tanpa pernah beliau ingin sandangkan atas apa yang telah beliau lakukan semasa hidupnya.
Gus Dur telah wafat lebih dari 10 tahun lalu, meninggalkan kehidupan dunia, tapi tidak dengan jejak pemikiran dan keteladanannnya. Justru kedua hal tersebut menjadi kekayaan warisan yang dititipkan kepada orang-orang yang mengenal dan mencintainya. Seolah-olah memberikan sebuah tanggung jawab kepada orang-orang yang masih di dunia untuk menggembala kebaikan-kebaikan.
Walaupun sebenarnya Gus Dur sendiri, tidak pernah sekalipun meminta seseorang untuk meneruskan perjuangannya. Akan tetapi, bekerja pada garis perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, adalah sebuah bentuk penghargaan seorang kawan Gus Dur yang pernah bersama-sama berjuang, adalah bentuk bakti anak-anak kepada bapaknya, atau juga adalah bentuk ta’dim santri kepada gurunya. Tanpa disuruh atau diminta semua orang bisa tahu bahwa keteladanan itu tidak hanya berasal dari ucapan saja.
Mengambil filosofi demikian, penulis memaknai peran dan tanggung jawab bagi mereka yang saat ini sebagai santri atau penerus beliau adalah sebagai seorang penggembala: penggembala kebaikan dan keadilan. Dalam hal ini apabila dikaitkan dengan realita pekerjaan, mungkin akan muncul sebuah pandangan sebagai penggembala hewan ternak pada umumnya, seseorang yang tanpa membutuhkan keahlian khusus dan memiliki pendapatan yang sedikit, sering kali mendapatkan stereotipe sebagai kalangan orang bawah atau rendahan. Seakan-akan banyak penggambaran negatif yang disematkan ketika terlintas di benak orang-orang tentang seorang penggembala. Bahkan sering kali konotasi miskin, bodoh, dan julukan yang kurang pantas lainnya dilemparkan kepada mereka.
Namun, sebenarnya penggembala menjadi pekerjaan yang sudah familiar bagi kalangan umat muslim. Bagaimana tidak, Nabi Muhammad SAW semasa kecil saat berusia sekitar delapan tahun adalah seorang penggembala, beliau menggembala hewan ternak milik pamannya saat dalam asuhan Abu Thalib. Banyak pelajaran dan pengalaman yang bisa didalami Nabi saat itu ketika berusaha untuk belajar hidup dalam kemandirian dan kesederhanaan.
Selain hal tersebut menggembala adalah sebuah bentuk contoh seseorang yang berusaha menjaga amanah dengan baik dari orang lain yang diberikan kepadanya. Alkisah, seorang sultan di suatu negeri menemui seorang anak kecil penggembala hewan ternak yang sangat terkenal akan kejujurannya di padang pasir, ia bermaksud untuk membuktikan kebenarannya. Saat bertemu dengan si anak kecil penggembala tersebut, sang sultan bermaksud untuk membeli hewan ternak yang sedang dalam gembala anak kecil tersebut. Namun, tawaran dari sang sultan langsung ditolak oleh si anak kecil itu, karena dia bukan pemiliknya, sehingga dia merasa tidak ada hak baginya untuk memutuskan, apakah dijual atau tidak, selain hanya menggembalanya saja.
Maka seketika mendengar jawaban penolakan dari anak tersebut begitu juga dengan penjelasan yang disampaikan, sang sultan mencoba membujuknya, bahwa tuannya tidak akan tahu apa pun mengenai peristiwa ini, walaupun jika tuannya tahu, si anak bisa memberikan alasan jika hewan ternaknya dimakan serigala, selain itu dengan jumlah hewan ternak yang sebanyak itu pasti tuannya tidak akan peduli jika hanya berkurang satu. Namun, lagi-lagi argumen sang sultan yang diajarkan kepada anak gembala itu ditolak dengan jawaban telak bahwa betul memang tuannya tidak akan tahu, tetapi Dzat yang Maha Kuasa, tidak akan pernah luput dari semua ini, karena Ia pasti Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dari kisah singkat tersebut, terdapat sebuah hikmah yang dapat dijadikan buah teladan. Mungkin hanya sebatas menjadi seorang penggembala di padang pasir, seorang anak kecil pun harus mampu menjaga amanahnya dalam merawat hewan ternak yang dititipkan kepadanya. Anak kecil yang masih minim pengalaman hidup dan memiliki cap sosial rendah saja masih memiliki kejujuran yang tidak bisa dibeli dengan harta. Dia betul-betul memiliki keteguhan prinsip dan keimanan yang menjadi pegangannya. Walaupun dia digoda dengan tawaran yang memberikan keuntungan pada dirinya, tetapi dia tetap tidak mau berbuat sesuatu hal yang dapat membatalkan prinsip dan amanah yang diberikan kepadanya.
Itulah kisah yang singkat namun memiliki pesan moral yang begitu tinggi dan mendalam. Kisah ini sebenarnya juga memiliki keterkaitan dengan penyelesaian persoalan bangsa Indonesia saat ini. Kita benar-benar belum bisa mewujudkan sila kelima dari Pancasila: “Keadilan bagi seluruh rakyat indonesia”.
Penulis sempat berdiskusi dan mendengar langsung dari Mbak Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur sekaligus Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian) tentang betapa pentingnya keadilan itu harus diwujudkan. Bahkan beliau menyampaikan betapa pentingnya keadilan itu sampai kata “adil” dalam Pancasila disebutkan sebanyak dua kali. Belum lagi dengan fakta sosial di mana kita hidup di negara yang mengidam-idamkan keabadian patriarki dan kelenggangan kekuasaaan golongan, maka keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia nyatanya memang haruslah diwujudkan dengan perjuangan dan keberanian.
Semenjak Indonesia merdeka dan memiliki Pancasila, keadilan masih hanya bersifat abu-abu dan tidak benar-benar jelas nasib dan perwujudannya. Begitu banyak rakyat yang belum merasakan kemerdekaan di tanah kelahiran mereka sendiri. Persoalan tanah harus diribetkan dengan mafia dan harga sewanya, airnya pun juga masih harus beli. Begitu pula seabrek permasalahan pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, budaya, dan lain sebagainya yang belum merangkum sebuah keadilan. Maka dengan realitas persoalan yang sedemikian banyak, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di Negara Indonesia memang haruslah dijemput.
Akar persoalan sebenarnya adalah bagaimana setiap orang mampu untuk menjaga amanah. Tanpa melihat apa pun jabatan yang disandang, baik sebagai presiden, wakil rakyat, kepala desa, ketua RT, bahkan walaupun hanya seorang juru parkir, semua harus mampu menempatkan prinsip kejujuran dan amanah di atas posisi yang dimilikinya. Seperti penggembala yang menempatkan semua yang sedang dimiliki sebagai titipan yang harus dijaga dan dirawat sesuai dengan amanahnya.
Meneruskan keteladanan Gus Dur secara nyata bagi penulis seperti hal tersebut, mencoba untuk menjadi penggembala yang baik dan amanah, juga membalutnya dengan kesabaran. Terkadang hewan ternak kotor, apek, bau, dan tidak gampang bisa mengikuti keinginan si penggembala meskipun sampai menggunakan tali atau dipukul dengan keras. Namun, kita tetap harus telaten dan istiqomah untuk berusaha.
Begitulah Gus Dur dalam kerangka pikir khidmat penulis, tanpa minta pembenaran atau pengakuan atas pandangan penulis ini, tentunya mungkin sekali adanya ketidaksepahaman dengan orang-orang lainnya, maka sudi kiranya bisa memberikan nasihat untuk memberikan pencerahan demi meneruskan jejak pemikiran, nilai. dan keteladanan beliau.
“Gus Dur Telah Meneladankan Saatnya Kita Melanjutkan.”