Dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional, Komunitas GUSDURian Mojokerto mengadakan Forum 17-an di SMAN 2 Kota Mojokerto. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16 November 2023. Acara dihadiri oleh sekitar 70 peserta dari SMAN 2 Kota Mojokerto dan mendatangkan beberapa pemantik, yakni perwakilan dari SMAN 2 Mojokerto, Koordinator MAFINDO Mojokerto, dan Khodimat Ponpes Al-Azhar Mojokerto. Kegiatan berjalan dari pukul 09.00 dan berakhir pukul 12.30 WIB.
Berbeda dari Forum 17-an selama ini, kali ini GUSDURian Mojokerto berusaha memperkenalkan 9 Nilai Gus Dur kepada siswa-siswi sekolah menengah atas. Dengan konsep acara menonton bareng (nobar) film berjudul Tiga Agama Tetap Bersama, kemudian disambung pantikan materi dari ketiga pemantik, diharapkan siswa-siswi SMAN 2 Mojokerto dapat memaknai bahwa keberagaman adalah keindahan lain yang disuguhkan oleh Tuhan untuk kita rawat bersama.
Sebagai pemantik, GUSDURian Mojokerto menggandeng tiga tokoh yakni Ibu Cahya Suryani selaku Koordinator Masyarakat Anti Fitnah & Hoax (MAFINDO) Mojokerto, Ning Uswah Syauqie selaku Khodimat Pondok Pesantren Al Azhar, dan Bapak Jonanes Lobo selaku pegiat moderasi beragama yang juga merupakan Guru SMAN 2 Kota Mojokerto.
Dalam sesi pertama, Ning Uswah menyampaikan bahwa sikap toleransi tidak hanya sekadar menghargai tapi memperlakukan orang lain secara bermartabat. Dalam penjelasannya, Ning Uswah menyampaikan bahwa tidak ada ajaran agama yang memaksakan untuk memeluk agamanya. Jika ternyata kita menemui bahwa ada orang-orang yang memaksakan kehendak agar orang lain masuk di agamanya, maka itu adalah murni dari orang lain itu bukan dari agamanya. Ning Uswah mengistilahkan hal ini sebagai oknum dari agama tersebut.
Sementara di sesi kedua, Ibu Cahya Suryani atau yang akrab dipanggil dengan Ibu Caca menyampaikan bagaimana bahaya ancaman hoax terhadap toleransi. Di Indonesia, hoaks terkait agama (dalam hal ini SARA) menduduki posisi kedua sebagai hoaks paling banyak tersebar setelah politik di tingkat pertama. Ibu Caca turut mengutip perkataan dari Ning Alissa Wahid bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan fenomena hoax keagamaan ini terjadi. Pertama, berkembangnya paham keagamaan yang agak jauh dengan kecintaan terhadap Indonesia, kedua adanya efek desentralisasi, dan ketiga adanya kepentingan politik yang dibungkus dalam bingkai agama.
Di sesi ketiga, Bapak John mengajak kita untuk mengubah mindset. Yang mayoritas mengubah mindset bahwa ia adalah mayoritas, yang minoritas mengubah mindset bahwa ia adalah minoritas. “Dengan begitu kita semua adalah sama. Kita adalah saudara. Jika kita bukan saudara seiman, maka kita adalah saudara kemanusiaan. Hal tersebutlah yang dapat memposisikan diri kita agar tidak semena-mena dan dapat memahami posisi orang lain. Jika kesadaran untuk meleburkan diri pada yang lain itu ada, maka persoalan-persoalan perihal intoleransi dapat ter-counter dengan baik,” ujar Pak John.
Kegiatan ditutup dengan doa bersama lintas agama. Berdoa secara Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik. Dan istimewanya, dalam sesi doa ini dipimpin oleh siswa-siswi dari SMAN 2 Kota Mojokerto mewakili agama mereka masing-masing. Dalam hal ini tentu mengajarkan pada siswa bahwa kita adalah pemimpin. Tuhan akan mendengarkan doa dari semua kalangan, tanpa memandang usia, suku maupun agama.