Beberapa tahun lalu, anak saya dan tim sesekolahnya menang lomba debat dalam bahasa Inggris antar-SMA se-DIY. Menariknya, lomba debat itu justru membuatnya merasa tidak nyaman dan kapok. Menurutnya, esensi debat adalah mempertahankan pengetahuan dan argumen sambil memperkaya pandangan dari lawan debat. Lomba debat yang ”memaksa” peserta mengundi posisi pro dan kontra baginya membuat debat berubah menjadi upaya saling menundukkan. Tersesat.
Berbeda dengan Gus Dur. Ia sering berkisah tentang pengalamannya menyaksikan debat hebat antara KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Hasbullah di kediaman Kiai Bisri, kakek Gus Dur. Peristiwa ini membentuk Gus Dur menjadi orang yang membedakan antara perilaku dan perbedaan pandangan dengan sosok yang berseberangan.
Walhasil, terhadap Presiden Soeharto yang ditentangnya karena opresi militer kepada rakyat kecil, Gus Dur tetap menghormati sosoknya. Demikian pula Gus Dur juga tak segan mengunjungi Presiden Megawati setelah Mbak Mega kalah dalam Pilpres 2004. Padahal, saat itu masih banyak pendukung Gus Dur yang marah selepas kekalahan politik Gus Dur sehingga keluar dari Istana pada tahun 2001.
Saat azan shalat zuhur, Kiai Bisri bergegas ke sumur. Ia mulai menimba dan melayani wudhu Kiai Wahab. Alih-alih memusuhi Kiai Wahab yang berseberangan pandangan, ia pun mempersilakan Kiai Wahab menjadi imam shalat.
Debat Kiai Bisri dan Kiai Wahab terjadi dalam forum pembahasan masalah pendidikan untuk perempuan. Pendekatan kedua ulama ini memang berbeda: Kiai Bisri menyikapi fikih (hukum) dengan ketat, Kiai Wahab menyikapinya dengan longgar karena lebih berorientasi pada prinsip dasar hukum (ushul fikih). Ulama-ulama lain pun terdiam karena dua ulama ini berdebat sengit.
Saat azan shalat zuhur, Kiai Bisri bergegas ke sumur. Ia mulai menimba dan melayani wudhu Kiai Wahab. Alih-alih memusuhi Kiai Wahab yang berseberangan pandangan, ia pun mempersilakan Kiai Wahab menjadi imam shalat. Perdebatan tidak melunturkan persaudaraan dan penghormatan di antara mereka, dan inilah yang diteladani Gus Dur.
Debat memang tidak sama dengan bermusuhan atau saling mencela (walaupun saat ini, dengan dominasi media sosial, debat kusir penuh penghinaan dan makian makin mudah dijumpai dan berujung permusuhan). Pada dasarnya, di dalam debat justru terbuka ruang untuk saling melengkapi wawasan dalam menyikapi hal yang diperdebatkan.
Dalam model pemerintahan yang demokratis, misalnya, debat kebijakan menjadi fase penting karena sudut pandang ideologis banyak pihak akan memperkaya dan menyelaraskan konsep awal sebuah kebijakan, juga untuk memastikan adanya proses checks and balances terhadapnya. Debat parlemen Inggris adalah contoh klasik tentang hal ini.
Di Amerika Serikat, debat politik calon presiden menjadi salah satu momen yang menentukan bagi publik. Debat capres pertama terjadi pada tahun 1858 antara capres Abraham Lincoln dan SA Douglas dalam tujuh putaran. Tahun 1960, debat capres antara Richard Nixon dan John F Kennedy di televisi menggeser dukungan publik ke JFK karena penampilannya yang meyakinkan.
Sejak debat Nixon vs JFK, debat capres AS terbukti berulang kali efektif untuk menggeser dukungan publik. Kemenangan Jimmy Carter, Ronald Reagan, dan George Bush tidak lepas dari kemenangan mereka atau kelemahan lawan mereka di atas panggung debat.
Ini sesuai dengan teori Aristoteles bahwa dalam retorika, ada tiga hal persuasif yang akan berpengaruh, yaitu logos (daya tarik logika), ethos (daya tarik personal), dan pathos (daya tarik emosional).
Di sisi lain, agak sulit dihindarkan bahwa substansi debat sering terdistraksi oleh penampilan atau serangan personal antarkandidat. Debat tanpa saling menyanggah yang diusulkan TKN Prabowo-Gibran akan sulit untuk dilakukan dalam debat pasangan calon Pilpres 2024, sebab tanpa saling menyanggah, yang terjadi adalah lomba pidato.
Ini sesuai dengan teori Aristoteles bahwa dalam retorika, ada tiga hal persuasif yang akan berpengaruh, yaitu logos (daya tarik logika), ethos (daya tarik personal), dan pathos (daya tarik emosional). Ia menyebutnya sebagai tiga pilar retorika. Misalnya, walau sulit untuk dibayangkan Prabowo akan berjoget gemoy di panggung debat, mungkin saja strategi ini dipilih oleh konsultan politiknya sebagai daya tarik emosional.
Dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden, debat menjadi penting agar publik dapat menilai kualitas kepemimpinan dari para calon pemimpin. Brian Tracy dalam buku-bukunya menyebutkan ada beberapa kualitas kepemimpinan yang baik: visi, keberanian, integritas, kerendahan hati, fokus, kerja sama, komunikasi, kejujuran, empati, dan delegasi.
Guru saya, Profesor Otto Scharmer, menyebutkan, kualitas kepemimpinan abad ini akan dipengaruhi oleh kualitas intensi (tekad) dan kualitas atensi (fokus). Debat pasangan calon Pilpres 2024 akan mampu memperlihatkan kepada kita tekad dan niatan para kandidatnya. Debat juga akan menunjukkan fokus perhatian para kandidat bagi perjalanan bangsa, apakah terhadap pendidikan, pertahanan, ekonomi, dan seterusnya.
Dan, debat pasangan calon Pilpres 2024 juga penting untuk melihat bagaimana para kandidat bekerja dalam tekanan waktu dan sorotan. Para kandidat akan diuji pada aspek respons cepat, yang tentunya juga dipengaruhi oleh daya dan kecepatan pemahaman kandidat akan persoalan. Bagaimanapun, presiden dan wakil presiden nantinya akan berhadapan dengan situasi-situasi urgent important (genting penting), harus mahir bernegosiasi dengan berbagai pihak seperti dunia usaha termasuk investor asing, masyarakat dunia, kerja sama antarnegara, dan lain-lain.
Karena itu, penting agar debat pasangan calon diikuti baik oleh capres maupun cawapres, dan idealnya terpisah agar publik bisa murni mengukur performa kandidat. Untunglah protes keras publik dan tim pemenangan pasangan calon dapat membatalkan keputusan bahwa baik capres maupun cawapres boleh bersama-sama menjawab dalam setiap debat, walaupun ada prioritas kepada salah satunya. Mari kita menunggu, apakah para capres dan cawapres mampu menyajikan gagasan yang terbaik, menampilkan kualitas kepemimpinan dan sosok personal para kandidat. Atau, akankah debat capres menjadi ajang lomba joget?
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 10 Desember 2023