Jika ada seorang senior di PMII yang saya anggap melakukan bunuh diri kelas, maka dialah kakak yang saya kenal bernama ‘Aswan Acsha’. Di saat para aktivis (yang kita anggap sebagai kelas menengah) berebut jalan naik kelas, ia memilih melipir ke pinggir membersamai anak-anak muda, generasi baru yang ia kader untuk menjadi pendamping orang-orang kecil.
Saat seangkatannya bahkan kader-kadernya telah berada di jajaran elite politik, pejabat, dan sebagiannya, lagi jadi pemodal, ia justru turun ke bawah. Balik ke kampung, membuat lembaga untuk menggerakkan anak muda pendamping kaum marginal.
Apakah tak ada jalan bagi Kak Aswan untuk turut serta melakukan mobilisasi vertikal? Meraih posisi istimewa yang diperlombakan mantan-mantan aktivis? Tentu saja jalan terbuka luas bagi dirinya. Dia kenal dan dikenal oleh banyak aktivis nasional yang saat ini telah menjadi orang penting. Mudah saja baginya jika ingin menjadi bagian penting elite politik di negeri ini, sekurang-kurangnya di daerahnya sendiri.
Tetapi sejak semula Kak Aswan memang telah menyiapkan dirinya untuk bunuh diri. Ya…. bunuh diri kelas ala Aswan Acsha. Bunuh diri kelas ini saya tak perlu perumit dengan Teori Amircal Cabral, Marxian dari Guinea Bissau. Sebutlah ini bunuh diri kelas khas Aswan saja.
Sejak semula mengenalnya, saya sudah mengaguminya. Sebagai mahasiswa baru yang ikut-ikutan ingin menjadi aktivis, deretan kosakatanya, tentang: ‘melawan penindasan’, pembebasan, orang pinggiran, advokasi dan seterusnya, telah membius saya. Corat-coretnya di kertas plano atau di papan tulis di sebuah sekretariat sederhana di Rappocini kala melakukan analisis sosial membuat saya terperangah.
Tetapi yang paling mengesankan adalah sikapnya dan cara ia memberi ruang kepada para adik-adiknya. Terasa sekali Kak Aswan selalu berupaya mendorong kadernya untuk melampaui dirinya. Itulah yang terus dilakukannya baik ketika menjadi Ketua Cabang PMII Makassar, Direktur LAPAR hingga mendirikan LIAR di Polman.
Semakin lama saya semakin mengerti, Kak Aswan seakan ingin berkata pada para kadernya: ”Kalian harus melaju, bergeraklah ke tempat yang tinggi, jadilah lebih pintar, biar saya tetap di sini, bergerak dalam sunyi bersama para generasi baru”.
Hari ini, ketika subuh menjelang, saat gelap baru akan berganti terang, orang yang telah melakukan bunuh diri kelas itu demi adik-adiknya, untuk generasi muda NU, dan demi orang-orang pinggiran, telah pulang. Ia kembali ke negeri abadi. Ia sungguh-sungguh telah bergerak naik. Ia naik menemui Tuhan Yang Pengasih. Tuhan orang-orang lemah.
Selamat jalan kakakku Aswan Acsha….. Innalillahi wa Innailaihi rajiun.