Perjumpaan dengan Pian, Muslim yang Mengabdi di Vihara Gorontalo

Saya masih mengingat perjumpaan saya waktu itu dengan Pak Pian Husain. Orang-orang memanggilnya Pian. Sore itu, Juli 2023, ia baru selesai membersihkan vihara: aktivitasnya sebelum beristirahat bersama keluarga.

Pian menyambut dengan hangat dan mempersilakan saya masuk ke dalam vihara. Saya sendiri seorang Muslim. Memasuki vihara, rumah ibadah umat Buddha itu membuat saya agak ragu. Saya khawatir bilamana masyarakat menganggap saya yang tidak-tidak.

Tapi berbeda dengan Pian, seorang ayah dari tiga anak ini. Ia telah mengabdi di Vihara Buddha Dharma Gorontalo selama tujuh tahun lamanya. Segala prasangka negatif telah sirna di hadapannya. Bahkan, ia mendaku telah tinggal di area belakang rumah ibadah itu. Sebutnya, ia diberikan ijin tinggal di situ.

Pria berkaos putih itu duduk. Seorang bocah laki-laki tengah bermain di dekat tempat kami duduk. Dari tempat kami duduk, terlihat patung Buddha yang duduk di tengah sebuah aula yang membuatnya menjadi pusat perhatian bagi pengunjung saat memasuki vihara.

Prasangka negatif Pian yang ada saat ini adalah buah dari dorongan keluarganya. Ia bercerita ketika pertama kali bekerja di vihara sebagai pekerja pembangunan Vihara Buddha Dharma Gorontalo di tahun 2008. Kala itu masa-masa yang dilematis baginya. Sebagai kepala rumah tangga ia harus menghidupi keluarganya, namun di sisi lain sebagai umat Muslim ia ragu untuk bekerja membantu pembangunan rumah ibadah umat Buddha.

“Saya melakukan musyawarah dengan keluarga, terutama ayah dan ibu. Setelah bermusyawarah akhirnya mereka mengijinkan untuk bekerja di sini,” tuturnya.

Sepenuturannya, pendirian Vihara Buddha Dharma Gorontalo itu memakan waktu empat tahun, terhitung sejak 2008 hingga 2012. Setelah pembangunan selesai, ia kembali ke kampung halamannya. Namun, setelah beberapa tahun berlalu ia mendapat panggilan untuk bekerja di rumah ibadah itu. Kali ini bukan sebagai buruh bangunan, tapi untuk mengabdi sebagai penjaga dan pengelola kebersihan rumah ibadah itu.

Pian mematangkan tekadnya. Bersama istri ia mengabdi bekerja membersihkan dan menjaga Vihara Buddha Dharma Gorontalo. Ia juga menuturkan bahwa, pengelola rumah ibadah mengijinkannya untuk tinggal di area belakang vihara dengan tempat yang telah disediakan.

***

Pian telah mengabdikan diri selama tujuh tahun di Vihara. Ada berbagai pengalaman yang ingin saya ketahui tentang itu. Ia bercerita tentang bantuan yang diterimanya oleh pengurus rumah ibadah.

“Waktu itu saya sakit cukup parah hingga harus dirawat di rumah sakit. Setelah mengetahui keadaan saya, pihak pengelola vihara setahu saya saat itu saling membantu kemudian mengumpulkan bantuan yang saya terima saat itu sebesar empat belas juta rupiah (Rp14.000.000),” pungkasnya.

Ayah tiga anak itu bercerita dengan semangat kala itu. Membuat saya semakin bersemangat mendengarnya. Sebab saya juga pernah merasakan bantuan dari teman yang non-Muslim. Sehingga, prasangka negatif saat awal memasuki vihara telah hilang.

Lebih semangat lagi Pian saat menceritakan tentang kebaikan salah satu jemaah vihara. Jemaah itu sebutnya menjamin pendidikan anak-anak Pian. “Salah satu jemaah bahkan menjamin pendidikan anak saya sampai kelar kuliah.”

***

Sebagai umat Muslim, saya penasaran dengan pelaksanaan ibadah-ibadah dari Pian. Seperti saat shalat tarawih atau saat Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Apakah ia diberikan kesempatan untuk beribadah saat itu? Pian menjawab tanpa ragu bahwa, pengelola vihara memberikannya kebebasan untuk beribadah.

Hal itu, lanjutnya, merupakan perjanjian awal dengan pengelola vihara saat pertama bekerja sejak 2016 silam. “Saat bulan Ramadan tiba, memasuki waktu berbuka puasa saya diharuskan untuk menutup vihara kemudian diijinkan untuk shalat tarawih dan juga beribadah di malam bulan Ramadan.”

Pian menuturkan pernah satu waktu ia ditanyai tentang keimanan. Saat itu teman-temannya di kampung halaman menanyakan ia telah bekerja di mana, dan dijawabnya sebagai penjaga dan pengelola kebersihan di Vihara Gorontalo.

“Dengan nada bercanda mereka bilang ke saya jangan sampai masuk agama mereka. Tapi saya bilang ke mereka bahwa saya tetap teguh dengan agama saya. Mereka (umat Buddha) juga tidak pernah menghasut saya untuk masuk agama mereka.”

***

Perjumpaan sore itu dipisahkan saat fana merah jambu menyingsing. Pian mengantarkan saya ke pintu gerbang vihara. Saya kemudian berbalik dan kembali ke rumah. Setelah beberapa waktu, saya penasaran dengan tanggapan pihak pengelola Vihara Buddha Dharma Gorontalo tentang Pian.

Saya menjumpai Sekretaris Yayasan Buddha Dharma, Waluyo Dwi Asmoro. Sebagai pengelola rumah ibadah, Waluyo mendaku merasa senang dengan keberadaan Pian yang telah lama mengabdi di Vihara.

Waluyo mengatakan bahwa, meski beragama Islam Pian berlaku sangat baik. “Dia tahu tentang kebersihan. Tanpa disuruh dia sadar dengan keadaan yang ada. Ini membuat kami senang dengannya.”

Dirinya berharap agar Pian betah mengabdi di vihara dan bisa menjaga kebersihan rumah ibadah umat Buddha itu. “Semoga dirinya selalu diberi kesehatan beserta keluarganya.”

Bentuk Moderasi Beragama

Saya kemudian menemui Tuan Qadhi Kota Gorontalo, KH. Rasyid Kamaru yang juga Kiai Sepuh golongan Nahdliyin Gorontalo. Beliau mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh Pian tidak bertentangan selama tidak mengganggu akidah.

Kiai Rasyid merujuk kepada pembelajaran moderasi beragama pada masa Rasulullah Saw. membentuk Piagam Madinah. Di kala itu banyak non-Muslim yang turut terlibat.

“Piagam Madinah ini membuat orang Muslim maupun non-Muslim bekerja sama melawan orang yang ingin menjajah Madinah. Termasuk juga sebagai kerja sama dalam menopang perekonomian. Saat itu nyata sekali persamaan yang ada,” terang beliau.

Moderasi beragama sebut beliau, bukanlah memoderasi agamanya. Tapi yang dimoderasi adalah pemahaman dalam keberagamaan yang dimoderasi.

“Moderasi agama ini adalah sikap di mana kita berpikir untuk akidah kita sekaligus menghargai akidah orang lain,” pungkas Kiai Rasyid yang juga Ketua FKUB Provinsi Gorontalo.

Kiai Rasyid menekankan, ketika berada di masjid kita adalah 100 persen umat Muslim, ketika di gereja kita 100 persen umat Kristiani, begitupun dengan agama lainnya. Tapi setelah keluar dari rumah ibadah masing-masing perlu diingat tanggung jawab sebagai anak bangsa.

“Sebagai anak bangsa yang tugasnya menjaga keutuhan bangsa ini,” tukas beliau.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.

2 Comments

  1. tempmail
    March 16, 2024

    Hello i think that i saw you visited my weblog so i came to Return the favore Im trying to find things to improve my web siteI suppose its ok to use some of your ideas

  2. reviews of fitspresso
    March 17, 2024

    Your blog posts never fail to entertain and educate me. I especially enjoyed the recent one about [insert topic]. Keep up the great work!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *