Nelson Mandela dikenang sebagai pemimpin perlawanan rakyat Afrika Selatan dari praktik apartheid rezim National Party yang otoriter. Setelah apartheid dihapuskan oleh Presiden FW de Klerk, Nelson Mandela terpilih menjadi Presiden.
Mandela berobsesi untuk membangun demokrasi sejati di Afrika Selatan. Baginya, Afrika Selatan yang demokratis memberi ruang hidup yang adil dan manusiawi bagi setiap warganya, walaupun mendapat tentangan dari kelompok kulit hitam yang masih menyimpan rasa sakit hati kolektif dan ingin membalas kesewenang-wenangan kelompok Afrikaner kulit putih. Di akhir kepemimpinannya, ia pun meninggalkan legacy (warisan) besar, yaitu rekonsiliasi nasional kelompok kulit putih dan kulit hitam, dan proses demokratisasi Afrika Selatan yang cukup kokoh sampai saat ini.
Tidak mudah menjadi pemimpin yang meninggalkan legacy luar biasa dan konkret seperti Nelson Mandela. Pada generasi sebelumnya, Mahatma Gandhi mewariskan prinsip ahimsa dan satyagraha untuk membebaskan India dari kolonialisme, Gandhi kemudian menginspirasi Martin Luther King, Jr dalam perjuangan persamaan hak di AS.
Di Indonesia, kita mengenal Bung Karno yang mewariskan gagasan Pancasila sebagai panduan hidup berbangsa. Gus Dur mewariskan pengakuan Negara atas Konghucu dan Imlek, serta mengembalikan jati diri rakyat Papua.
Di ranah keagamaan, kita mengenang KH Hasyim Asy’ari yang mewariskan Nahdlatul Ulama kepada para ulama dan umat Islam di Indonesia. Mgr Soegijapranata meninggalkan pandangan inklusif 100% Katolik 100% Indonesia yang menjadi prinsip dasar warga Katolik di Indonesia. KH Achmad Siddiq memperkenalkan trilogi ukhuwah bagi umat Islam: persaudaraan umat seagama, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaran sesama manusia.
Semua tokoh di atas meninggalkan warisan yang terus hidup dan menghidupi masyarakat, melampaui waktu hidup mereka. Bahkan, setiap warisan terus berkembang mengikuti zaman, karena sifatnya yang mendasar dan universal. Setiap tokoh menunjukkan dengan jelas visi yang ingin diwujudkan dan nilai luhur yang menjadi panduan.
Mereka juga menunjukkan karakteristik principle-centered leaders, pemimpin yang menjadikan nilai dan prinsip luhur sebagai poros hidupnya. Prinsip-prinsip luhur ini menjadi cara pandang memandang segala persoalan. Ini membuat mereka konsisten dan kongruen dalam berbagai hal, karena tidak terjebak oleh kepentingan sesaat yang bisa berubah-ubah. Dalam bahasa John Maxwell: kokoh dalam prinsip, lentur dalam cara.
Para pemimpin besar memiliki visi yang besar, tetapi tidak melepaskannya dari prinsip luhur. Mereka meyakini bahwa hasil yang baik hanya didapatkan dari strategi dan taktik yang berintegritas dan tidak melanggar hukum dasar kehidupan.
Karena itu, mereka tidak terjebak pandangan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan target yang mereka kejar. Banyak pemimpin negara atau monarki melanggar prinsip luhur dan konstitusinya demi melestarikan kekuasaan atau demi agenda pribadi. Sebagaimana ucapan Louis XIV: l’etat c’est moi – negara adalah saya, kita masih melihat banyak penguasa menganggap hukum dan kebijakan dapat dibengkokkan atas kehendaknya.
Dalam tulisan bertajuk Nelson Mandela: Embodiment of Servant Leadership Qualities (2024), Aaron W menyebut Mandela sebagai contoh konkret Servant Leadership (kepemimpinan yang melayani). Para pemimpin besar selalu menempatkan kepentingan bersama sebagai dedikasi mereka. Untuk itu, mereka sadar bahwa memperkuat keadilan sosial menjadi fondasi untuk membangun kemaslahatan berkesinambungan bagi setiap warganya.
Dari dunia pesantren, Gus Dur memegang erat prinsip kepemimpinan yang melayani: tasharuf al-imam ala al-ra’iyah bi al-maslahah (kebijakan pemimpin haruslah didasarkan pada kemaslahatan rakyatnya). Dalil ini merupakan implementasi dari ajaran Nabi Muhammad SAW bahwa setiap pemimpin adalah pelayan umatnya.
Para pemimpin besar tidak menggunakan jalan pintas untuk agenda pribadi karena akan melanggar prinsip pelayanan umat tersebut. Mereka juga tidak menggadaikan kepentingan bangsa atau umat untuk kepentingan keluarga atau kroninya. Nelson Mandela bahkan tercatat mengorbankan hubungan dengan anak-anaknya demi perjuangan.
Di lingkungan umat Islam, terkenal kisah Khalifah Umar bin Khattab yang melarang anaknya dicalonkan sebagai penerus. Umar meyakini predikat sebagai anak khalifah akan memberikan privilese kepada sang putra dan menutup peluang calon lainnya.
Singkatnya, setiap pemimpin besar menunjukkan kesetiaan pada paradigma prinsip dasar perjuangan untuk kemaslahatan rakyat, memiliki visi akbar transformasi yang jelas berlandaskan paradigma tersebut, dan bekerja dengan kerangka kepemimpinan strategis. Untuk itu, mereka mengambil peran sebagai pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang menguasai dan menuntut dilayani.
Dampaknya adalah transformasi sosial yang tidak berhenti saat mereka tidak lagi memegang jabatan publik tersebut. Karena kepercayaan publik atas visi akbar sekaligus integritasnya, para pemimpin besar tidak pernah cemas akan hilangnya otoritas selepas tak lagi memiliki jabatan. Pemimpin tanpa jabatan, demikian istilah Philip Morrison dan Hankuri Gaya dalam bukunya, Influence: Leading Without Position (2020).
Hari ini kita berada di masa transisi kepemimpinan bangsa Indonesia. Presiden Jokowi akan segera mengakhiri kepemimpinannya, digantikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kira-kira legacy apa yang ingin dan akan ditinggalkan oleh Presiden Jokowi selain pembangunan fisik di negara ini, sebagaimana para pemimpin besar meninggalkan transformasi sosial?
Beberapa waktu lalu sebagian besar masyarakat meyakini Presiden Jokowi akan mendarat dengan halus karena berbagai prestasinya. Saat ini, tidak bisa dimungkiri Presiden Jokowi sedang menghadapi kritik dari kelompok cendekia, masyarakat sipil, serta lapisan anak muda akibat sepak terjang Pemilu 2024. Lalu, bagaimana akhir cerita masa kepemimpinan beliau?
Sayup terdengar bait lagu “Fatwa Pujangga”:
…. tapi sayang, sayang, sayang, seribu kali sayang …..
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 24 Maret 2024