Kita lebih perlu takut kepada orang-orang bahlul daripada kepada orang-orang jahat, demikian teori Bonhoeffer yang dihukum gantung pada 1945 oleh Hitler. Dietrich Bonhoeffer adalah seorang pendeta Lutheran dari Jerman yang melawan Nazi sejak awal Hitler berkuasa.
Ia mempertanyakan mengapa negara Jerman yang dahulu memiliki kelompok cendekia yang cukup maju kala itu berubah menjadi negara yang menurutnya dipenuhi pengecut dan orang-orang bebal yang membiarkan kelaliman Hitler. Akhirnya ia berkesimpulan bahwa kekuasaan yang berlebihan cenderung membuat sebagian besar masyarakatnya terinfeksi penyakit bebal.
Baginya, bebal tidak sama dengan intelegensia yang rendah atau kapasitas kognitif yang tidak memenuhi standar normalitas. Bonhoeffer mengategorikan orang bebal sebagai orang yang tidak memiliki kesadaran atas kehidupan dan karenanya tidak memahami kontribusinya dalam lingkungan di mana ia berada. Dengan kata lain: ignoramus.
Kaum cendekia dan kelas masyarakat arif biasanya menganggap enteng kaum ignoramus ini. Karena bukan orang jahat, kaum ignoramus dianggap tidak berpotensi memengaruhi kehidupan sosial politik.
Padahal, justru tersebab kenaifan ini, kaum ignoramus kerap kali menjadi senjata bagi para dalang perebutan kekuasaan politik ataupun bagi mereka yang memiliki agenda tertentu. Kaum ignoramus yang sejatinya tidak punya watak jahat dimanipulasi, diarahkan, dan disetir bagaikan kawanan ternak yang tidak mampu memilih jalannya sendiri.
Karena watak inilah, orang bebal menjadi lebih berbahaya daripada orang jahat, terutama jika mereka memegang kekuasaan karena posisi dan jumlah yang mayoritas. Menurut Bonhoeffer, saat menghadapi orang culas atau seorang penguasa lalim, kita tahu posisi kita dan bagaimana berjuang memerangi si lalim. Namun, kita akan mengalami kesulitan berhadapan dengan kaum ignoramus karena mereka tidak bertindak secara rasional.
Para ignoramus biasanya sangat keras kepala dan egosentris. Mereka tidak mampu melihat dari sudut pandang orang lain. Mereka pun tampak sangat berani dan percaya diri, tidak menyadari kekurangan dan kelemahan pandangan mereka. Ketika dihadapkan pada fakta, mereka cenderung memutarbalikkannya untuk menjustifikasi keyakinan mereka.
Kecenderungan watak ini mengakibatkan mereka mudah terpengaruh propaganda melalui narasi canggih dan penanaman nilai yang terstruktur, sistematis, dan masif. Walhasil, kelompok tersebut kemudian terjangkiti collective stupidity atau kebebalan kolektif, di mana mereka bertindak di luar nalar kritis dan bahkan di luar batas kemanusiaan.
Ini yang menurut Bonhoeffer menjelaskan mengapa banyak warga Jerman tidak mempermasalahkan kesewenang-wenangan Hitler. Demikian juga ratusan juta rakyat yang memuja Stalin yang dianggap pahlawan kemajuan Uni Soviet, sementara jutaan warga justru mati di Siberia karena kritis terhadap Stalin.
Sedikit banyak, Indonesia pernah mengalaminya di masa pandemi, di mana banyak warga masyarakat tidak meyakini adanya pandemi dan berakibat jatuhnya korban jiwa yang terlalu banyak. Demikian juga tawuran antar- kelompok pendukung klub sepak bola atau kekerasan berulang di lingkungan lembaga pendidikan. Semua kejadian yang bisa menimbulkan korban jiwa ini tidak masuk di akal kita, tetapi nyatanya sampai sekarang terus dilakukan dan belum dapat kita berantas.
Dan kini agaknya kecenderungan yang sama berkontribusi terhadap kasus-kasus intoleransi antarumat beragama yang masih terus berulang terjadi sebagaimana terjadi di Tangerang Selatan beberapa hari lalu, di mana warga negara dari kelompok agama minoritas yang sedang beribadah mengalami kekerasan mental dan fisik yang dilakukan oleh warga atas nama kelompok mayoritas setempat.
Walaupun kita melihat ada penurunan jumlah kasus secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, pembentukan nilai dan pandangan keberagamaan yang eksklusif sejatinya masih terus berlangsung di masyarakat. Pandangan ini meyakini bahwa kewajiban para pemeluk agama adalah membangun sistem kehidupan yang sepenuhnya sesuai dengan ajaran agamanya dan sebisa mungkin menjaga sistem ini dari pengaruh luar (agama).
Ini pun masih ditambah dengan otonomi daerah yang menyebabkan banyak kepala daerah memilih untuk memanjakan kelompok agama mayoritas dan cenderung mengabaikan kelompok minoritas yang tentunya tidak dapat memberikan keuntungan politik.
Walhasil, sikap mental ”mayoritas mengayomi, minoritas tahu diri” semakin mudah kita temukan di kalangan masyarakat. Yang mayoritas merasa lebih berhak, yang minoritas merasa berkecil hati untuk mendapatkan hak asasinya.
Di sisi lain, ada kecenderungan aparat keamanan dan penegak hukum yang menafsirkan ketertiban umum dan harmoni sosial dengan mencegah terjadinya konflik sosial, yang sayangnya melupakan mandat utama penyelenggara negara untuk memenuhi hak dasar beragama dan berkeyakinan serta beribadah.
Jika kita cermati, kasus intoleransi atas nama agama dengan kekerasan mental ataupun fisik tidak pernah dilakukan sendiri oleh para pemuka agama. Adalah para pengikut pandangan keberagamaan eksklusif tersebut yang bertindak tanpa mampu mengendalikan dirinya.
Dalam berbagai kasus yang saya dampingi bersama Jaringan GUSDURian, kami menemukan bahwa para pelaku meyakini bahwa mereka harus menjaga (kemurnian) agamanya dari ancaman pengikut agama lain, apalagi sebagai mayoritas, mereka merasa memiliki hak yang lebih besar daripada kelompok minoritas dilengkapi dengan keyakinan bahwa aparat penegak hukum akan berpihak kepada mereka.
Sejatinya, mereka adalah para ignoramus yang terperangkap kebebalan kolektif yang dibentuk oleh pelaku sistem yang lebih besar: para oknum pemuka agama, oknum penyelenggara negara, dan oknum aparat penegak hukum. Mereka adalah korban sistem.
Hanya dengan membangun kesadaran kolektif ketiga pelaku sistem ini, kita bisa membantu para ignoramus berubah menjadi lebih baik. Dan barangkali itu esensi tujuan kemerdekaan Indonesia: mencerdaskan kehidupan bangsa.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 12 Mei 2024