Demonstrasi pro-Palestina dan menentang kejahatan Israel terhadap Gaza di kampus-kampus Amerika Serikat sempat meningkat tensinya. Belakangan ini kanal berita AS dan Barat yang saya amati, melakukan reportase soal eskalasi protes di Universitas Columbia (Columbia University) di New York. Protes damai yang berujung chaos itu diwarnai aksi aparat keamanan yang merangsek ke wilayah kampus dan menangkap banyak mahasiswa.
Protes sudah terjadi sejak April tahun ini. Di mana ratusan mahasiswa kampus ivy league tersebut mendirikan tenda di halaman kampus lengkap dengan atribut bendera Palestina dan keffiyeh yang diselempangkan di badan mereka. Demo di kampus ini merupakan respons sipil AS atas kondisi geopolitik saat ini, setelah momentum 7 Oktober tahun lalu.
Saat itu Hamas menyerang pemukiman Israel yang dibalas dengan serangan lebih brutal oleh militer Israel, IDF, dan mengepung wilayah Gaza. Akibatnya serangan militer dan bencana kelaparan melingkupi wilayah itu sampai sekarang.
Respons sipil ini sebenarnya sudah bergelora di berbagai lapisan masyarakat di negeri Paman Sam. Untuk kampus saja, per 30 April tahun ini setidaknya ada 89 universitas seantero AS yang telah melakukan protes serupa. Mereka mendirikan tenda dan secara damai melakukan aksi massa dengan mendiami halaman kampus sambil membawa atribut protes.
Memori Anti-Perang Vietnam
Skala protes di kampus yang terjadi di hampir seluruh negara bagian AS menyebabkan banyak pihak membandingkannya dengan protes pada masa Perang Vietnam. Gerakan anti-perang yang paling heroik di AS pada medio 1970-an itu menggambarkan ribuan mahasiswa di ratusan kampus di AS melakukan protes besar-besaran. Tak hanya mahasiswa, berbagai kalangan mulai dari aktivis gender, aktivitas anti-segregasi rasial, hingga seniman juga turut turun ke jalan.
Universitas Columbia yang menjadi pemberitaan belakangan ini sudah punya sejarah gerakan mahasiswa yang progresif. Pada tahun 1968, para mahasiswanya melakukan protes kepada pihak kampus karena secara institusional ternyata diketahui terlibat dengan pemerintah AS dalam menyokong peperangan di Vietnam.
Hal yang sama juga terjadi saat ini, di mana mahasiswa menemukan kaitan pendanaan (funding) dari perusahaan maupun lembaga donor pro-Israel mengalir di tubuh kampus. Oleh karena itu terdapat tiga tuntutan para pendemo di universitas ini; pertama, pencabutan donor dana dari perusahaan pro-Israel di kampus; kedua, transparansi sebesar-besarnya soal keuangan universitas; dan terakhir yaitu pengampunan bagi para mahasiswa dan sivitas akademika yang ikut protes dari sanksi dan pendisiplinan kampus atas demonstrasi ini.
Sayangnya dari pengamatan saya terhadap beberapa pemberitaan di media AS seperti NBC, Fox News, CNN, atau media Barat lain seperti BBC maupun ABC tidak meng-cover substansi dari demo. Sorotan utamanya ialah keganasan demonstrasi. Aksi protes memang awalnya berlangsung damai, sampai massa pro-Israel memprovokasi dan mengakibatkan aparat turun tangan. Kekacauan pun tercipta selama beberapa hari di area kampus dan menjadi perbincangan nasional.
Diawali Damai, Diakhiri Represi Aparat
Mengutip Reuters, Kevin Kruse, seorang sejarawan dan profesor Universitas Princeton, kampus yang mahasiswanya juga melakukan aksi protes serangan Israel, demo-demo yang terjadi kali ini jika dibandingkan dengan demonstrasi anti-perang Vietnam berlangsung lebih damai. Sebagai perbandingan, pada masa itu para pendemo tak segan mengkonfrontasi terlebih dahulu. Para pemrotes perang Vietnam itu pernah membakar markas tentara komando cadangan (Reserve Officers’ Training Corps/ROTC), yang menyulut kekerasan semakin tajam.
Sementara partisipasi pendemo mahasiswa di AS diperkirakan semakin beragam latar belakang rasnya. Jika melihat data kasar dari artikel Reuters di atas, pada tahun 1970 dari total 7,2 juta mahasiswa S1 di seluruh kampus AS, sebagian besar ialah warga kulit putih, hanya 7% yang merupakan warga kulit hitam. Sedangkan saat ini ada 15 juta mahasiswa S1 di AS, di mana 18% mahasiswa keturunan Amerika Latin, 11% mahasiswa kulit hitam, dan 6% mahasiswa keturunan Asia. Para pendemo kali ini juga punya irisan dengan gerakan sipil seperti penggerak gender, Black Lives Matters, maupun Anti-Larangan Imigran Muslim sebelumnya.
Jika pada saat Perang Vietnam, media seperti surat kabar dan radio membombardir berita kepahitan para tentara AS yang berperang, maka soal serangan Israel ini, banyak mahasiswa mendapatkan kabar secara langsung dari postingan di media sosial. Betapa kengerian secara vulgar menampakkan kondisi warga Gaza. Di mana banyak gedung hancur dan anak-anak mati menggambarkan brutalnya dampak serangan ini. Belum lagi blokade Gaza menyebabkan bencana kelaparan dan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan ataupun untuk hidup normal seperti bagian lain di muka bumi ini.
Tampaknya gerakan sipil di AS masih tetap menguat. Meski demikian, jurus-jurus negara dalam menangani tuntutan rakyat dengan represi aparat saat demonstrasi masih saja dipakai. Masyarakatnya cukup melek, bahwa pemerintahnya punya andil dan mampu mengakhiri konflik ini agar tidak semakin merugikan warga sipil di Palestina. Tentu kita pun berharap konflik ini segera berakhir. Kita juga mengimpikan masyarakat di Gaza dapat lepas dari rasa takut akan teror dari serangan Israel yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa mereka.