Sekadar Catatan Perjalananku

Waktu menunjukkan pukul 05.30 Wita. Aku dan istri melesat menuju halte bus. Dinginnya angin subuh menabrak kami berdua di atas motor. Koper biru yang menemani perjalanan kujepit di kaki. Istriku bilang, biar hemat naik motor saja. Seperempat jam menuju pukul enam kami tiba di halte bus.

Aku sangat bersemangat dalam perjalanan kali ini. Sudah 17 tahun yang lalu pengalaman perjalanan dengan bus kutempuh. Maklum, terlahir di keluarga menengah ke bawah, kami tidak mampu membeli tiket pesawat yang harganya selangit waktu itu. Nostalgia masa kecil naik bus terkenang kembali.

Kala itu, naik bus menjadi sebuah wahana bagi seorang bocah yang akan naik ke kelas empat. Tepatnya tahun 2007. Perjalanan dua hari tiga malam ditempuh dari Gorontalo menuju tanah kelahiranku, Parepare. Dan kali ini, aku akan naik bus lagi menempuh jarak ratusan kilometer menuju Kota Manado.

Kukecup pipi dan kening sang pemilik hatiku, sebab perjalanan akan selalu menjadi sebuah misteri hidup. Bukan soal berhasil sampai di kota tujuan itu, tapi apakah kita akan selamat kembali kepada orang yang terkasih. Itulah tujuan perjalanan bagiku, untuk pulang kembali.

Bus berangkat pukul 06.00 Wita. Sebuah hal langka yang kutemui di pagi itu. Ketepatan waktu bagi orang Gorontalo adalah hal langka. Lambaian tangan kami saling beradu di udara, saling mengikhlaskan keberangkatan ini.

Roda menggilas aspal dengan tergesa. Debu-debu segar pagi hari melompat masuk lewat jendela menerpa mukaku. Wajah istri terus terbayang dibenak. Iringan doa untuknya dan untukku terlantunkan melalui bibir.

Dalam setiap perjalanan sejak zaman azali hingga kini selalu saja ada catatan-catatan yang mengingatkan. Baik itu berupa kenangan indah maupun buruk. Semua catatan perjalanan umat manusia cukup menarik untuk dijadikan pelajaran. Begitupun dengan perjalananku ini. Ada sedikit goresan yang ingin kubagi kepada siapa saja yang membacanya.

Perjalanan kali ini mengisahkan tentang landskap di sisi kiri dan kanan jalan. Warna-warni kehidupan tergambar jelas. Seperti menonton sebuah film di bioskop, pemandangan ketika perjalanan mengisahkan cerita nyata. Namun, kesadaran ini mulai muncul di akhir-akhir ini. Ketika diri semakin beranjak dewasa. Kepekaan pun semakin terasah.

Saat melalui jalur menuju utara pulau Sulawesi itu, berbagai spanduk berdiri tegak dengan berbagai ukurannya di sisi jalan. Saat itu masa-masa pemilihan. Wajah-wajah itu seakan dengan angkuhnya menyapaku melalui jendela. Muka klinis para calon pejabat daerah itu mengulum senyum. Sayangnya, orang-orang yang lewat tidak membalas senyuman itu. Tatapan mereka kosong, air mukanya juga kaku. Mungkin mereka iri dengan harga cetakan spanduk yang bahkan tidak sepadan dengan upah per hari mereka.

Aku berandai-andai bagaimana jika spanduk yang menjulang berjejeran itu dikumpulkan, kemudian dijual kembali. Hasilnya diberikan kepada rakyat. Bila itu benar-benar bisa terjadi, mungkin, air muka kaku tidak akan menghiasi wajah pria yang lewat tadi.

Tapi lamunan itu buyar, saat aku tersentak. Bus bergoyang kiri dan kanan. Rodanya timbul tenggelam melalui aspal berlobang. Ketersentakkan ini menjadi hal lumrah bagi kami penikmat jalan di negeri ini. Percuma mengeluh seperti ibu-ibu yang kutemui minggu lalu.

“Baru juga dua bulan lamanya, jalan sudah berlobang lagi,” ucapnya sambil memijit-mijit pinggulnya.

“Tadi para pekerja jalan itu dengan angkuhnya berkata bahwa jalan ini dikerjakan dengan biaya miliyaran. Haduh, kami sudah tidak termakan lagi dengan angka-angka itu. Yang perlu adalah perawatan setelah pengerjaan jalan,” ucap seorang pria bercakap-cakap dengan temannya. Tak sengaja aku menguping percakapan itu.

“Tapi menurut saya yang paling penting itu bukan perawatannya, tapi ketahanannya setelah pengerjaan. Percuma jika tidak tahan lama. Perawatan itu sama dengan biaya tambahan lagi. Mendingan uang itu diberikan ke saya untuk makan anak istri di rumah, apalagi di tengah krisis ekonomi ini,” balasnya kepada temannya.

Menurutku mereka berdua benar. Selain dari ketahanan suatu bangunan, mereka yang bertanggungjawab terhadap pembangunan itu harus memerhatikan perawatannya.

Wajah istri saya kembali terbayang di kepala. Bagaimana seandainya bus terjungkir akibat jalan berlobang tadi. Apakah ia siap menjanda tanpa adanya sosok suami yang menafkahinya lahir dan batin? Semoga itu hanya khayalan saja.

Semua lamunan ini membuatku capek. Kututup kedua mata. Lamunan tadi berubah menjadi mimpi di siang hari. Daguku bersandar di jendela. Wajah diterpa angin dan mentari saat aku tertidur.

Panasnya terik matahari membangunkanku dari mimpi siang itu. Pohon-pohon di pinggir jalan hanya beberapa kali terlihat. Gunung nampak gundul. Pohon pelindung dari panasnya sang surya jarang terlihat. Beberapa kali, bus melewati gunung yang mengepulkan asap, bekas terbakar. Tanahnya menjadi kecokelatan. Bahkan ada yang kehitam-hitaman.

Tapi itu hanya sebagian kecilnya saja. Dan itu diperlukan untuk menanam jagung atau tanaman pertanian lain dari para petani. Hal itu masih mending ketimbang penggundulan besar-besaran oleh para pemilik modal.

Kadang kita merasa kasihan terhadap para petani. Di berita-berita menuliskan bahwa mereka ditahan dengan alasan menyerobot lahan milik sebuah perusahaan. Bahkan, mereka harus digunduli dengan alasan ketertiban.

“Petani digunduli, tuh koruptor aman-aman saja dengan rambut klinisnya di bui,” tulis seorang netizen, berkomentar di sebuah postingan berita penahanan para petani.

Semua saling membenarkan diri dengan berbagai alasannya. Tapi satu yang aku ketahui dengan pasti, bahwa alam memang disuguhkan untuk manusia. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, bukan untuk keinginannya. Apalagi hanya untuk memenuhi nafsu ingin kaya. Bukhari-Muslim pernah meriwayatkan hadis yang menggambarkan ketamakan kita yang berbunyi, “Jika seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya akan memiliki lembah kedua, seandainya memiliki lembah emas kedua ia ingin lembah emas yang ketiga.”

Sebanyak apa pun yang diberikan kepada umat manusia, tidak akan pernah memuaskan nafsunya. Bumi ini tidak cukup besar untuk memuaskan kita. Makanya perlu pembaharuan.

Bus singgah di tengah perjalanan. Tepatnya di Bintauna. Para sopir memilih tempat ini agar bisa meregangkan otot-otot kaku akibat duduk berjam-jam di kursi kemudi. Para penumpang pun turun. Aku pun mengikuti mereka.

Di rumah dari kayu ini kami makan siang. Sekadar mengganjal perut agar tidak kelaparan. Sebab tidak mungkin diisi hingga kenyang, biasanya akan mual saat di perjalanan. Aku belum pernah menemui orang yang bisa makan dengan kenyang di suatu perjalanan.

Rumah makan dari kayu ini cukup kecil. Pemandangan yang sama juga lewat sedari tadi. Bangunan kecil dari kayu yang mereka sebut rumah. Tapi ini menjadi hal yang lumrah bagiku. Di mana pun aku melakukan perjalanan, baik di Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Pulau Jawa dan di mana pun itu selalu ada rumah sederhana, kecil, dan terbuat dari kayu atau papan, yang atapnya mulai berkarat.

Tapi kesederhanaan itu tidak merisaukan mereka yang tinggal di situ. Mereka dapat tertawa dengan senang bersama keluarganya. Kesederhanaan yang mengingatkan masa kecil kita semua yang tidak perlu pusing dengan segala tekanan masalah kehidupan ini.

Selang 30 menit, bus berangkat melanjutkan perjalanan menuju Kota Manado di siang itu. Kami melewati berbagai rumah ibadah. Ada masjid dan juga gereja. Mayoritasnya adalah gereja. Sebab Sulawesi Utara terutama Manado terkenal dengan mayoritas umat Kristiani. Aku pun sudah terbiasa dengan hal itu. Sebab teman masa kecilku pun seorang Kristiani.

Namun ada fenomena unik di setiap rumah ibadah yang kami lewati. Ada sekumpulan orang yang memegang kardus dan menyerukan meminta sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah. Baik di depan masjid maupun gereja.

Ritual ibadah seperti shalat ataupun ibadah mingguan memang sangatlah privat. Meski demikian, kita selalu saling bahu membahu untuk mendirikan rumah tempat kita beribadah. Yang Muslim menghargai yang Kristen, begitupun sebaliknya. Itulah sikap moderat dari masyarakat di Sulawesi Utara, khususnya di Kota Manado tujuan perjalananku kali ini.

Kota Gorontalo, Mei 2024

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *