Orang Jawa menyebutnya bener ning ora pener. Sebuah tindakan yang memenuhi syarat formal, tetapi tidak tepat. Pemeo ini langsung muncul di benak saya saat menyimak persidangan kasus korupsi Syahrul Yasin Limpo dalam jabatannya sebagai Menteri Pertanian.
Cucu Syahrul Yasin Limpo (SYL) mendapatkan privilese magang di Kementerian Pertanian dengan bayaran sepuluh juta rupiah per bulan, sedangkan biduanita Nayunda Nabila diangkat menjadi tenaga honorer dan menerima bayaran selama setahun penuh walau hanya masuk kerja selama dua hari. Keduanya diangkat dengan surat keputusan resmi, dan karenanya menjadi bener. Namun ada yang ora pener di balik pengangkatan tersebut, yaitu proses manipulasi kuasa yang tidak tampak dalam mekanisme formal terkait dengan kedekatan personal sang pemilik kuasa yaitu SYL.
Proses manipulasi ini tampak jelas setelah kasus terbongkar. Apabila tidak terbongkar, sang biduanita dan sang cucu tentu ”berhak” untuk menerima bayaran sesuai SK yang ada. Dan, kasus pengangkatan dengan manipulasi seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Sebagaimana dipopulerkan oleh warga jagat maya: di Indonesia tidak dibutuhkan ilmu atau keterampilan untuk dapat masuk ke sebuah institusi, terutama institusi negara, yang dibutuhkan adalah beking orang dalam.
Dalam konteks kasus SYL ini, mudah untuk melihat ke-bener-an dan pelanggaran etis yang dilakukan. Namun dalam banyak konteks lain, ke-ora pener-an yang terjadi hanya bisa dirasakan namun kurang atau tanpa bisa dibuktikan secara materiil, karena manipulasi canggih yang digunakan oleh pelaku pelanggaran. Apalagi dalam konteks politik dan penyelenggaraan Negara.
Misalnya proses pembahasan RUU omnibus law di tahun 2019 yang menimbulkan protes dari masyarakat, karena dibahas diam-diam dengan kecepatan tinggi tanpa pengetahuan rakyat. Walhasil, publik tidak dapat merespons dengan aspirasinya, namun produk tersebut tetap dinyatakan sah secara hukum.
Contoh lainnya adalah kritik sebagian masyarakat Papua terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta. Klaim bahwa Pemerintah telah menjalankan dialog dengan kelompok-kelompok warga Papua dikritik karena dialog memang dilakukan tetapi tidak menyertakan kelompok-kelompok kritis. Bener sudah berdialog tetapi ora pener terkait siapa yang dilibatkan.
Manipulasi dalam politik bukan hal yang baru, sebagaimana dirumuskan Machiavelli bahwa kekuasaan menumbuhkan sikap menghalalkan segara cara. Perubahan kebijakan akibat lobi politik, baik yang dilakukan oleh kelompok kepentingan politik maupun kelompok bisnis, adalah hal yang sangat lumrah terjadi.
Dalam artikel On the Concept of Political Manipulation (2020), Gregory Whitfield menuliskan bahwa aktor politik lazim melakukan banyak hal seperti menawarkan insentif tertentu (semisal bansos), menyesatkan aktor politik lain, mengintervensi proses pengambilan keputusan formal, melontarkan gagasan kontroversial dan lain-lain untuk mengubah keyakinan, sikap, dan perilaku rakyat. Semua hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pemaksaan atau tekanan politis, tetapi pada dasarnya melanggar nilai-nilai dasar yang menghidupi kepentingan bangsanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Malangnya bagi rakyat, manipulasi seperti ini sulit untuk dibuktikan secara materiil di hadapan hukum. Film Dirty Vote menyintesis berbagai indikasi pelanggaran dalam Pemilihan Presiden 2024 dan menyimpulkan adanya penyiapan manipulatif besar-besaran, tetapi Mahkamah Konstitusi menganggap tidak ada bukti cukup dalam hal pelanggaran penyelenggaraan Pilpres 2024.
Paling jauh, kita hanya bisa puas menghukuminya dengan istilah pelanggaran etik. Salah satu contoh epik Indonesia adalah pada kasus Keputusan Mahkamah Konstitusi No 90/2023, yang bener ning ora pener. Karena keputusan diambil secara sah melalui mekanisme yang ada, publik yang meyakini bahwa keputusan tersebut dipicu oleh kepentingan dan iktikad tertentu, menjadi tidak berdaya melawannya.
Kalangan cendekia dan pegiat demokrasi hari-hari ini juga memperingatkan hal yang sama terjadi dalam kasus Keputusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon kepala daerah. Disinyalir, keputusan ini membawa kepentingan calon-calon tertentu.
Ini pun tampak dalam lanskap global, di mana dua dasawarsa ini diwarnai dengan kecemasan kalangan pegiat demokrasi menyaksikan bagaimana demokrasi dimanipulasi untuk memperkuat otoritarianisme. Mekanisme demokratis justru menjadi alat untuk memarginalisasi kaidah dasar demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat dalam mengelola negaranya.
Berbagai kebijakan justru bermunculan untuk membatasi kuasa rakyat atau hak individual warga. Manipulasi mekanisme demokrasi menyebabkan state actors (penyelenggara negara) menjadi semakin kuat dan rakyat semakin lemah.
Proses ini membuat perangkat dan kaidah demokrasi tidak dapat diandalkan untuk berjalan dengan baik. Mekanisme-mekanisme formal menjadi rentan dimanipulasi oleh siapapun yang memiliki kuasa dan akses terhadap perangkat tersebut, sebagaimana dicontohkan oleh jabaran dalam film Dirty Vote.
Demikianlah, karena kecanggihan manipulasi sehingga secara formal tampak bener, maka perubahan-perubahan atau pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak dapat dihakimi. Walhasil, kondisi yang ora pener akan menang melawan ke-pener-an yang hakiki.
Di antara sekian ancaman terhadap demokrasi, manipulasi demokrasi menjadi ancaman yang paling berat untuk dihadapi karena sifat bener ning ora pener ini. Lalu bagaimana kita akan mengatasinya, untuk menghindari manipulasi demokrasi (meminjam tulisan Butet Kartaredjasa beberapa hari lalu di harian Kompas) menjadi biasa, padahal tidak biasa?
Di saat-saat seperti ini kita hanya bisa berharap kepada rakyat yang kritis (yang jumlahnya pun semakin menyusut), terutama para cendekia dan pemimpin bangsa yang setia kepada cita-cita kemerdekaan bangsa dan masih bertumpu pada kaidah dasar hidup berbangsa. Perjalanan sejarah Indonesia membuktikan setiap penggal utama digerakkan oleh mereka. Semoga kali ini pun demikian.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 2 Juni 2024