Social Media

Dari Teologi Pembebasan ke Fikih Pembebasan: Bagian Pertama

Sebelum disibukkan oleh istilah-istilah teknis teologi (konsep ketuhanan) dan fikih (hukum Islam) yang memang memiliki dasar-dasar keilmuan khusus. Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar untuk menyegarkan kembali cara kita (sebagai manusia) memandang kehidupan dan cara kita (sebagai manusia) berkehidupan atau menjalani kehidupan. (Diksi “menyegarkan kembali” saya pinjam dari tulisan Gus Ulil Abshar Abdallah “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” di Harian Kompas 18 September 2002).

Pertama-tama, cara manusia memandang kehidupan sangatlah dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan pengetahuan yang beredar dalam pikirannya. Pengalaman hidup membentuk watak dan karakter (kepribadian/subjektivitas) dan pengetahuan konseptual membentuk paradigma dan perspektif (kemampuan memahami realitas objektif). 

Kedua, pengalaman hidup dan pandangan hidup/dunia (world view) tertentu yang dilakoni terus menerus akan mengkristalkan paradigma menjadi nilai-nilai (ideologi). Nilai-nilai itu dipercaya sebagai kebenaran yang harus diperjuangkan. Jika nilai-nilai itu diberi justifikasi ketuhanan, jadilah ia teologi. 

Ketiga, manusia adalah makhluk tiga dimensi (ruh, jiwa, jasad) yang sekaligus hidup di alam tiga dimensi (spiritual, mental, material). Jasad-material mengalami perubahan (evolusi) terus-menerus seiring perubahan materi-materi di alam raya. Jiwa-mental mengalami perubahan (evolusi) terus menerus seiring bertambahnya pengalaman hidup dan informasi-pengetahuan. Sedangkan ruh-spiritual tiada pernah berubah, tetap seperti sediakala (pembahasan tentang ruh-spiritual akan dilanjutkan di sesi yang lain). 

Keempat, jasad-material berproses melalui panca indera yang terhubung dengan gerak partikel-partikel (atom) di alam semesta. Jiwa-mental bekerja melalui sistem saraf (neuron) yang terhubung dengan pancaran gelombang magnetik semesta. Ruh-spiritual bekerja dalam realitas mutlak (oneness), terhubung dengan energi semesta yang padu dan utuh. 

Kelima, panca indera mampu menangkap proyeksi bentuk, warna dan suara secara partikular (semuanya berbeda dan tidak ada satupun yang sama). Jiwa-mental mampu menangkap abstraksi makna yang menjadi bahan dasar pikiran menciptakan bahasa konseptual dan imajinasi visual. Penting dipahami, pikiran adalah entitas yang bebas-merdeka dan kreatif (berdaya cipta). Sedangkan ruh-spiritual menangkap pancaran pola-pola dasar (arch) dan siklus kehidupan universal. 

Mengapa penulis berangkat dari uraian ini? Semata-mata untuk mengingatkan kembali bahwa manusia mulanya adalah homo-spiritualis yang berevolusi menjadi homo-sapiens (spiritual-rasional). Manusia sapiens sejak beberapa ratus tahun belakangan berevolusi menjadi homo-materialis (rasio-sentris), lalu melanjutkan evolusinya menjadi homo-deus (meminjam istilah Yuval Noah Harari), dewa penghancur (antroposen). 

Mitologi modern mengimajinasikan kehidupan manusia yang semakin maju dengan capaian-capaian gemilang sains-teknologi sebagai buah kecanggihan pikiran. Sedangkan mitologi agama-agama mengabarkan kehidupan dunia yang bergerak menuju krisis dan kehancuran (kiamat?). Bagaimana mendialogkan keduanya? Akankah agama hanya akan terus menjadi tukang stempel (memberi legitimasi) atas temuan-temuan sains muktahir tanpa kritik atau bahkan dekonstruksi? 

Pembaca bisa jadi telah menangkap, bahwa tulisan ini dimaksudkan untuk merespons isu konsesi tambang yang melibatkan Nahdlatul Ulama (NU). Beberapa intelektual NU terjun untuk menulis pembelaan dengan dalil-dalil fikih rasional. Namun minus perspektif spiritual-tasawuf yang selama ini menjadi salah satu ciri tradisi intelektual-keulamaan NU. 

Memang, di periode kepengurusan PBNU saat ini, sabda-sabda kemajuan semakin sering dideklamasikan dalam berbagai kesempatan. Sehingga, penulis seringkali merenung, apakah NU akan benar-benar menjadi organisasi modern (rasional) dan meninggalkan tradisionalismenya yang berbasis pada tradisi spiritual? 

Pertanyaan itu akan penulis uraikan di tulisan berikutnya!

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *