Social Media

Susur Banguntapan: Menemukan Serpihan Indonesia di GKJ Karangbendo

Mentari sepenggalah, penutup Juni menyapa kulit saat kami menyusuri Jalan Sukun Raya. Hiruk pikuk keramaian Banguntapan menemani pelawatan kami. Di antara kerumunan orang yang hilir mudik, kami melaju, melewati pemakaman Sasana Laya. Tepat di sebelah timur, sepelemparan batu ke arah utara, sebuah gang kecil bernama Gang Manggar mengantarkan kami menuju sebuah bangunan megah: Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangbendo.

GKJ Karangbendo berdiri elegan, memancarkan aura kedamaian di tengah keramaian.

Hari Minggu yang cerah, tepatnya 30 Juni 2024, di penghujung bulan Pancasila yang penuh makna, Komunitas GUSDURian Yogyakarta menutup bulan dengan melaksanakan agenda Susur (Silaturahmi Saudara) Banguntapan.

Pagi itu, udara begitu hangat, mencapai 28 derajat Celsius. Di dalam gereja, para jemaat masih khusyuk mendengarkan khotbah. Kami disambut dengan ramah oleh beberapa petugas keamanan. Mereka mempersilakan kami masuk, menyiapkan kursi, dan kami pun dengan khidmat menyimak khotbah sang pendeta.

Bagi sebagian dari kami, suasana ini terasa sedikit canggung. Maklum, sebagai non-Kristen, tak sedikit yang baru pertama kali mengamati prosesi ibadah di gereja (meskipun beribadah di masjid juga jarang, haha). Tak pelak, ketika tiba saat pengakuan iman, tidak semua dari kami berdiri; yang memilih berdiri pun melakukannya sambil celingukan.

Mari kita renungkan sejenak. Di agama tertentu, menerima tamu yang berbeda keimanan di teras rumah ibadah saja bisa menimbulkan perdebatan dan memunculkan prasangka tak berkesudahan. “Toleransinya kebablasan,” katanya. 

Umat Kristiani di GKJ Karangbendo sama sekali berbeda. Mereka mempersilakan kami masuk, mengajak kami untuk melihat, merasakan, dan bahkan menyelami atmosfer gereja dengan semua indra dari segala penjuru mata angin.

***

LANGKAH KAKI menuntun kami memasuki gereja. Begitu melewati pintu masuk, kami disambut oleh jumantara sejuk dan menenangkan. Dinding gereja didominasi oleh batu alam yang kokoh, dihiasi dengan ornamen jendela kaca nako yang indah.

Konsep nako ini, ditambah dengan dinding yang hanya setinggi setengah bangunan, membuat suasana di dalam ruangan terasa begitu sepoi-sepoi. Angin sejuk dari persawahan di sebelah timur gereja semakin menambah kesan menyegarkan. Di bawah kaki, ubin lantai dengan corak khas tempo dulu menambah nuansa nostalgia.

Di tengah ruangan, terdapat altar yang terbuat dari kayu klasik, dikelilingi oleh bangku-bangku kayu untuk jemaat.

Menurut Widiyanto Matheus, selaku MPH (Majelis Pelaksana Harian), dulu saat GKJ Karangbendo masih dikelilingi persawahan, para petani sering beristirahat ditemani suara gemerisik padi di serambi gereja setelah seharian bekerja.

Kekhasan GKJ Karangbendo tidak hanya sampai di situ. Bentuknya yang tidak biasa, segi delapan (oktagon) yang ditopang oleh sepuluh tiang, memiliki filosofi yang mencerminkan nilai-nilai penting dalam agama Kristen.

“Sepuluh tiang melambangkan sepuluh hukum Tuhan,” papar Widiyanto. Filosofi dinding yang hanya setinggi setengah bangunan juga memiliki makna yang mendalam. “Kami terbuka untuk semua,” jelas beliau.

Keterbukaan GKJ Karangbendo tidak hanya terbatas pada umat Kristen. Di sini, toleransi dan rasa saling menghormati antarumat beragama begitu terasa.

Widiyanto lantas menceritakan sebuah kisah menarik. Suatu ketika, seorang Muslim datang ke GKJ Karangbendo karena mengira ini adalah masjid. “Dan gereja ini tidak pernah ditutup di malam hari,” kata Widiyanto. “Siapa pun yang ingin berdoa, dipersilakan. Bahkan, jika ada yang ingin shalat, kami fasilitasi.”

Alasan di balik keterbukaan ini sederhana: GKJ Karangbendo adalah tempat ibadah, bukan sesuatu yang eksklusif. Bagi mereka, gereja adalah rumah bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang agama dan keyakinan.

Prinsip ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan di GKJ Karangbendo. Contohnya, pelatih musik gereja dan bahkan pemain musik pengiring ibadah tidak semuanya beragama Kristen.

***

PEMBANGUNAN GKJ Karangbendo dimulai pada tahun 1980-an. Pada tanggal 17 September 1986, gereja ini diresmikan oleh Bupati Bantul KRT Surya Padma Hadiningrat. Saat itu, GKJ Karangbendo masih menjadi bagian dari GKJ Ambarrukma.

Pada tanggal 17 September 2012, GKJ Karangbendo resmi didewasakan dan dipisahkan dari GKJ Ambarrukma. Peresmian ini dilakukan oleh Bupati Bantul Hj. Sri Surya Widati.

Namun, baru pada tanggal 15 Juni 2023, GKJ Karangbendo mendapatkan izin pembangunan gedung. Izin ini terbilang lama, karena puluhan tahun setelah gereja ini berdiri. Pengurusan IMB (sekarang PBG) sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2022.

Proses panjang pengurusan IMB ini tidak terlepas dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM 2006) yang mengatur Izin Pendirian Tempat Ibadah yang seharusnya tidak berlaku surut.

Peraturan ini mewajibkan minimal “60 persetujuan warga sekitar” untuk mendapatkan izin. Meski terganjal regulasi, GKJ Karangbendo tidak gentar. Upaya mereka membuahkan hasil. “Kami mendapatkan 80 tanda tangan dari masyarakat sekitar,” ungkap Widiyanto.

“Ini menunjukkan warga sekitar GKJ Karangbendo punya andil besar,” tambah Widiyanto. “Artinya, kiprah pelayanan kami di sekitar kami diterima.”

***

SETELAH menikmati kudapan dan segelas teh hangat di GKJ Karangbendo, kami pun beranjak pamit.

Langit siang yang terik mengantarkan langkah kami keluar dari gerbang GKJ Karangbendo. Semilir udara hangat membelai wajah, membawa aroma persawahan yang menyegarkan. Perjalanan Susur Banguntapan masih berlanjut, menuju destinasi selanjutnya. Namun, kenangan indah di GKJ Karangbendo akan selalu terekam di memori.

Di gereja ini, kami telah menemukan serpihan Indonesia yang masih berceceran. Di sini, perbedaan keyakinan bukan menjadi penghalang, tetapi justru jembatan untuk saling memahami dan menghormati sebagaimana “end in mind” Susur Banguntapan ini.

Kami yakin, Gus Dur, guru kami di Komunitas GUSDURian, akan tersenyum mengetahui hal ini. Beliau, yang semasa hidupnya selalu memperjuangkan toleransi dan persaudaraan, pasti akan bangga melihat GKJ Karangbendo sebagai contoh nyata dari cita-citanya. “Indonesia ada karena keberagaman,” kata Gus Dur.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *