Magang semakin diminati banyak mahasiswa. Namun, pertanyaan muncul, apakah intensitas magang yang tinggi sudah selaras dengan pendidikan kesarjanaannya? Lalu seberapa besar pengaruh magang terhadap serapan lapangan kerja?
“Ini magang saya yang kedua kalinya mas,” ucap salah seorang pemagang di kantor saya. Selain berjibaku dengan kelas di perkuliahan, anak muda yang energik ini mengakui bahwa teman-temannya sesama mahasiswa saat ini tergila-gila dengan program magang. Ia sendiri mengikuti program magang dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan nama ‘Magang Merdeka, Kampus Merdeka’ yang diganjar 20 SKS, setara dengan 1 semester perkuliahan.
Menurutnya, banyak mahasiswa yang rela mengganti kelas perkuliahan dengan magang. Toh, sama-sama memperoleh SKS untuk memenuhi syarat kelulusan. “Daripada di kelas, pusing tugas kuliah dan ngebosenin. Mending magang mas, apalagi kalau program ini dapat uang saku,” urai pemagang itu. Selain itu, motivasi lainnya mengikuti magang ialah, menambah jaringan, memperbarui muatan CV, yang ujungnya persiapan masuk bursa kerja selepas kuliah nanti.
Menjadi sarjana
Ramainya program magang tampaknya selaras sebagai upaya merealisasikan link and match antara sekolah dengan industri. Hal yang pas untuk diterapkan di banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pendidikan vokasi lainnya. Namun apakah sudah pas untuk digalakkan bagi pendidikan sarjana (S1)? Sebagai calon sarjana, kemampuan melakukan riset yang baik adalah keharusan. Untuk itu, seorang mahasiswa perlu ditempa pengetahuan yang matang. Pengetahuan itu sebagian besar ada di kelas maupun kehidupan kampus, bukan tempat magang.
Saya ingat betul saat masih semester akhir tengah menggarap tugas akhir. Rasanya sulit melakukan riset dan menuliskannya. Sementara tuntutan menulis sangat penting bagi seorang sarjana. Sebab menulis menunjukkan kemampuan kita dalam menyampaikan argumen secara runut, logis, dan analitis. Kemampuan menulis tersebut tentu berdampak pada kualitas dan mutu karya ilmiah negara kita. Bukankah negara ini tengah mendorong agar penelitian kita tidak hanya besar dari kuantitas saja. Tapi juga berkualitas dan berdampak positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat.
Beda halnya bagi mahasiswa dengan program studi sarjana terapan (D4) di beberapa kampus. Tipe pendidikan sarjana ini memang dituntut dapat segera mengaplikasikan keilmuan dengan ruang praktikal kerja yang lebih nyata. Namun fenomena yang saya lihat banyak pemagang bukan berasal dari jurusan sarjana terapan, sebagian besar ialah sarjana umum. Apalagi realitasnya, jumlah pendidikan sarjana terapan belum begitu banyak di Indonesia.
Misalnya di tempat saya bekerja, sempat ada mahasiswa dengan latar belakang ilmu sains-teknologi menjadi pemagang. Padahal unit kerja kami mengampu tugas-tugas yang berhubungan dengan relasi media dan kehumasan. Tentu sangat disayangkan, apa yang ia pelajari tidak linier dengan tempat magangnya. “Enggak masalah mas, yang penting SKS-nya terpenuhi,” jawab peserta magang tersebut saat saya menanyai keselarasan dengan studinya.
Tidak ada kesempatan putar balik bagi mahasiswa tersebut. Ia bertekad menyelesaikan program magang dari pemerintah ini. Sebab ia tidak ingin menunda masa magangnya yang akan berdampak pada lamanya masa perkuliahan yang diambil. Hal yang akan membuat uang kuliah yang harus dibayar semakin bertambah. Apalagi Uang Kuliah Tunggal (UKT) diwacanakan naik. Oleh karena itu, banyak mahasiswa dikebut waktu. Apa saja dilakukan demi lulus secepat mungkin.
Melamar magang juga diwarnai tingginya persaingan. Sudah seperti mencari kerja saja. Belum lagi terdapat ujian dan seleksi untuk memperoleh tempat magang yang diimpikan. Sementara itu banyak instansi dan perusahaan membuat syarat yang tinggi.
Beban mental
Saya membandingkan pengalaman magang saya saat berkuliah dulu. Mungkin usaha dan kerja kerasnya tidak ada apa-apanya dibandingkan generasi sekarang. Sebab bukan kewajiban. Hanya karena memilih mata kuliah tertentu, maka diwajibkan magang kurang dari 3 bulan. Berkaca dengan itu, beban bagi mahasiswa saat ini tampaknya semakin tinggi dan berpotensi mendorong masalah mental bagi generasi muda.
Saya tidak menemukan data pasti untuk manusia seumuran mahasiswa, namun dari ulasan Kompas (2023), berdasarkan riset Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) usia remaja 10-17 saja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Tegangan kejiwaan itu salah satu faktornya disebabkan oleh tingginya ekspektasi di lingkungan pendidikan. Bukan tidak mungkin usia di atasnya, yakni pelajar di universitas, mengalami hal serupa atau bahkan lebih buruk.
Terlalu lamanya durasi magang juga menimbulkan potensi masalah baru. Saya melihat para pemagang di kantor saya yang menjalani magang selama 6 bulan, turut menyerap budaya kerja di kantor. Saya yakin di setiap kantor pasti punya budaya kerja yang positif. Tapi tak sedikit pula yang negatif. Dalam realitasnya, ada beberapa budaya kerja yang buruk seperti kedisiplinan, kebersihan atau obrolan di saat jam-jam istirahat yang mungkin tidak baik diserap para pelajar.
Terlalu lamanya durasi magang tentu memengaruhi persepsi mereka. Bukan tidak mungkin mereka juga terbawa dengan kebiasaan tersebut. Penyerapan budaya kerja yang buruk hanya sebagian potensi masalah dari lamanya durasi magang. Project Multatuli (2021) pernah mengulik bahwa program magang yang terlalu lama juga punya potensi meningkatkan depresi bagi mahasiswa. Bahkan sampai titik munculnya kasus-kasus pelecehan ke pemagang di tempat kerja.
Magang untuk kerja
Program magang tentu punya banyak manfaatnya. Dengan magang, maka pengalaman kerja secara riil diperoleh. Tentu akan berguna menambah portofolio angkatan kerja yang baru lulus dari sekolahnya. Pengalaman magang juga diharapkan mampu menambah nilai tawar di tengah persaingan kerja yang ketat. Namun pernahkah terpikir, apakah penggalakan program magang ini sudah sebanding dengan pelebaran ketersediaan lapangan kerja? Akan sangat ironis sekali jika hanya menggenjot program magang tanpa peningkatan serapan kerja.
Acap kali tingginya angka pengangguran dikaitkan dengan kemampuan SDM yang belum mencukupi. Dalam hal ini pendidikannya. Di atas kertas, jam pembelajaran semakin meningkat dengan inovasi di sana-sini. Kurikulum dan proses pengajaran di sekolah-sekolah sering kali bergonta-ganti. Negara lebih bergairah mengotak-atik sektor pengembangan SDM tersebut.
Sementara problem utamanya yang tak kalah penting ialah jumlah lapangan kerja yang kian menyusut. Pandemi kemarin memperlihatkan betapa brutalnya pemutusan hubungan kerja. Pasca-pandemi situasi pun masih belum pulih. Baru-baru ini industri tekstil yang menyerap banyak tenaga kerja sudah mem-PHK kan ratusan ribu karyawan. Mungkin orang mengira, industri padat karya sudah memasuki senja kalanya. Tapi lihat belum lama ini pula, perusahaan e-commerce yang basisnya digital dan dianggap masa depan itu, turut merampingkan sejumlah karyawannya yang berujung pada PHK massal.
Negara sudah seharusnya memikirkan untuk menggenjot lapangan kerja, tidak hanya program magangnya saja. Kita tidak ingin generasi baru di negeri ini, sudahlah memperoleh pendidikan tinggi, punya segudang pengalaman dengan magang, namun tidak tersedia pekerjaannya. Akhirnya terlunta-lunta dan mengulur-ulur waktu dengan magang agar terhindar dari sebutan pengangguran.