MOJOKERTO – Pada 14 Juli 2024 lalu, Komunitas GUSDURian Mojokerto telah melaksanakan rembug desa bersama para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Acara ini diikuti oleh tiap lapisan tokoh masyarakat maupun tokoh agama di Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur bersama beberapa perwakilan dari komunitas GUSDURian.
Desa Sooko sendiri merupakan desa dampingan GUSDURian Mojokerto yang dihuni oleh warga dengan latar belakang yang heterogen. Pendampingan ini bertujuan menggali potensi penguatan persaudaraan di masyarakat agar Desa Sooko dan Mojokerto menjadi ruang yang nyaman bagi semua elemen masyarakat.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Imam Maliki selaku fasilitator dari GUSDURian Mojokerto. Koordinator Wilayah (Korwil) GUSDURian Jawa Timur tersebut mulai memantik para peserta yang hadir untuk melihat potensi dan tantangan yang mereka hadapi di Desa Sooko. Di samping itu, Muna sebagai pemantik forum dari juga turut menekankan bahwa tujuan GUSDURian hadir di Desa Sooko adalah untuk ikut belajar bersama.
“Bapak-Ibu, kami di sini ingin belajar dari Desa Sooko, terutama soal bagaimana mengelola keberagaman di desa ini,” papar perwakilan Sekretariat Nasional (SekNas) Jaringan GUSDURian tersebut.
Dari sinilah kemudian satu per satu dari para tokoh unjuk bicara bergantian sesuai dengan pengalaman dan perspektifnya masing-masing. Tokoh pertama yang mengutarakan suaranya adalah Bu Sri, selaku warga Desa Sooko yang juga merupakan Ketua Komisi Nasional Pendidikan Kota Mojokerto. Sebagai seorang praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan, dirinya menyampaikan bahwa peningkatan kapasitas bagi perempuan dan anak sangatlah penting.
“Kegiatan-kegiatan ini, nantinya kami berharap adanya kapasitas sumber daya manusia, terlebih pada perempuan dan anak. Kalau kita bercerita tentang anak, ada beberapa keluhan masalah adab. Masalah adab ini sekarang menurun drastis. Dan lagi, anak sekarang merupakan generasi yang belum begitu kuat menghadapi cobaan. Sehingga kami berharap anak-anak juga diperhatikan, agar bisa lebih siap menghadapi apa pun, kondisi di lingkungan apa pun, dan identitas mereka sebagai warga Indonesia bisa melekat,” terangnya.
Penekanan Bu Sri atas permasalahan di atas, agaknya langsung merujuk pada usulan program dampingan yang bisa GUSDURian berikan pada Desa Sooko. Tidak berhenti di situ, dirinya juga menyinggung permasalahan dan tantangan yang ada di Sooko.
“Kalau di wilayah Sooko sendiri banyak warga pendatangnya, sehingga intensitas komunikasi tidak begitu dekat. Kalau di tempat saya, golongan usianya paling tidak 50-60 an. Tapi meski dengan kondisi seperti ini, ketika kami berkegiatan, masalah keberagaman tidak menjadi masalah. Artinya, siapa pun mereka, apa pun warnanya, dengan keyakinan apa pun, selama ini baik-baik saja. Tapi barangkali di tempat lain, kadang-kadang masih ada yang terdapat beberapa perbedaan, dan terkadang kaum minoritas masih menjadi masalah buat mereka,” tambahnya.
Setelah Bu Sri selesai, ia menunjuk Pak Sofwan untuk melanjutkan pembahasan. Kebetulan Pak Sofwan sendiri adalah anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Di sini ia mengungkapkan bahwa Desa Sooko memiliki karakteristik yang unik sebab keberagaman yang dimilikinya.
“Saya tahu persis kalau desa ini unik. Karena warganya bermacam-macam. Tidak hanya masalah penganut agama, golongan-golongan organisasi dalam agama pun semuanya ada. NU mayoritas, Muhammadiyah ada, LDII ada, yang lain juga ada. Alhamdulillah, hidup juga tentram. Tidak pernah terjadi gesekan-gesekan, baik fisik maupun non-fisik,” ungkapnya.
Di sini, Pak Sofwan mencoba mengatakan bahwa Desa Sooko secara kehidupan sosial baik-baik saja. Namun setelahnya, ia sedikit menyinggung sedikit dinamika yang pernah terjadi di masyarakat.
“Ternyata antarwarga tersebut tidak ada bedanya. Ketika kami ketemu ya guyon, kita juga saling tolong satu dengan yang lain. Itu adalah hal yang biasa. Termasuk di sini makamnya pun, meskipun ada komplain karena makam yang agak beda, tetapi tetap dalam satu komplek. Ini satu gambaran, bahwa satu ide dari Gus Dur termasuk apa yang dipraktikkan oleh beliau itu sudah dipraktikkan pula oleh masyarakat yang ada di Desa Sooko ini,” paparnya.
Disusul pendapat selanjutnya disampaikan oleh Ketua RW. Dirinya menuturkan bahwa masyarakat di Desa Sooko, merasa aman, nyaman, dan happy. Ia juga berterima kasih kepada komunitas GUSDURian karena bersedia melakukan pendampingan di masyarakat.
“Saya melihat komunitas GUSDURian mendampingi di masyarakat ini sangat berterima kasih,” katanya.
Suara terakhir disampaikan oleh Pak Ghozali, selaku tokoh agama yang menekankan pentingnya pendampingan GUSDURian di Desa Sooko. Ia mengungkapkan bahwa Sooko adalah desa yang strategis, warganya beragam, banyak, bahkan menjadi tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh penting.
“Saya kira program GUSDURian ini perlu. Sehingga orang-orangnya bisa toleran. Mudah-mudahan ke depannya, ada orang sekelas Gus Dur sehingga negara ini bisa aman sejahtera,” pungkasnya.