Manusia, Alam, dan Kearifan Lokal Orang-Orang Mamasa

Mobil yang saya tumpangi dari Makassar ke Mamasa mulai menanjak menyusuri jalan sempit sembari membelah kabut. Jaket tebal yang sedari tadi membungkus badan perlahan mulai bekerja; mengimbangi cuaca dingin menuju ketinggian 1.900 meter di atas permukaan laut. Air conditioner (AC) yang sejak awal dinyalakan untuk mendinginkan tubuh selama perjalanan pun dihentikan. Sopir yang membawa kami juga sudah mulai mengenakan sarung.

Meski matahari perlahan menampakkan sinarnya yang jingga, udara pagi itu terasa sangat dingin. Beberapa warga setempat tampak menyambut pagi dengan mengenakan jaket lusuh, berjalan tergesa-gesa menembus kabut dan menyusuri jalan berbukit. “Tampaknya mereka sedang bergegas menuju ke ladang,” kata sopir.

Sementara itu, warga lainnya memilih bersantai ditemani secangkir kopi sembari mengenakan sarung khas Mamasa di teras rumah panggung. Sesekali sopir membunyikan klakson untuk menyapa mereka, dan membalasnya dengan melambaikan tangan disertai senyum.

Ya, itulah Mamasa, sebuah kabupaten yang berada di dataran tinggi provinsi Sulawesi Barat. Kabupaten ini dulunya secara administrasi merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), namun resmi memisahkan diri dari kabupaten induk pada 2002.

Jumlah penduduk Kabupaten Mamasa pada pertengahan 2023 tercatat sebanyak 165.310 jiwa dengan kepadatan penduduk 55 jiwa/km2. Wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan ini dihuni oleh beragam etnis, di antaranya Toraja, Mandar, Bugis, Batak, dan Makassar.

Kendati kehidupan sosial masyarakat Mamasa multikultural, mereka hidup rukun dan berdampingan secara damai. Hampir tidak pernah terjadi gesekan sosial yang mengatasnamakan agama, apalagi penolakan pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas. Justru yang terjadi sebaliknya, budaya gotong royong dan sistem kekeluargaan tampak begitu kuat mewarnai dinamika kehidupan sosial mereka.

Mungkin karena itu, Mamasa tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya yang eksotik, tetapi juga perangai manusianya yang ramah. Bagi sebagian orang, penduduk yang mendiami wilayah ini terkesan murah senyum, bahkan tidak sungkan melempar senyum atau menyapa orang-orang yang mereka dijumpai, meskipun tidak mengenalnya. Tampaknya, udara yang sejuk tak hanya sekadar menjadi penanda kesejukan alam Mamasa, tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya.

Perilaku semacam tampak telah menjadi ciri utama kehidupan sosial masyarakat yang mendiami wilayah berjuluk kondo sapata uhai sapaleleang itu; prinsip hidup yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersesama, mengedepankan penghargaan serta upaya menjaga harmoni kehidupan antara manusia dan alam.

Kearifan

Mamasa berasal dari kata “mamase” atau “sikamase”, yang berarti saling menyayangi dan mengasihi antarsesama. Kata “mamase” atau “sikamase” kemudian berubah menjadi “mamasa”, karena menyesuaikan lidah orang-orang Belanda yang belakangan datang di wilayah tersebut. Kendati demikian, hal tersebut tidak mengubah makna, apalagi laku hidup “sikamase” masyarakat Mamasa. Justru prinsip hidup “sikamase” semakin mengakar kuat seiring dengan hadirnya agama Kristen, karena prinsip hidup tersebut dinilai selaras dengan ajaran Kristen yang menjadi agama mayoritas di wilayah ini.

Ciri utama kehidupan sosial masyarakat Mamasa ditandai dengan pola relasi yang mengedepankan kehidupan harmonis. Jika diselami lebih jauh, tradisi dan adat istiadat yang sangat kuat memberi pengaruh terhadap praktik hidup semacam ini. Salah satunya bisa diselami pada makna filosofi kondo sapata uhai sapaleleang yang berarti sawah yang luas, dialiri air secara merata.

Filosofi kondo sapata uhai sapaleleang tentu tidak hanya sekadar menjadi penanda atau gambaran kondisi alam yang subur, tetapi juga menjadi prinsip hidup yang senantiasa mengedepankan kebersamaan, kesederhanaan, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Mungkin karena itu, dalam konteks sosial, filosofi kondo sapata uhai sapaleleang sering kali dimaknai sebagai: Mamasa adalah wilayah luas dan dihuni oleh orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan keadaban.

Makna lain yang bisa ditemukan dalam filosofi tersebut adalah keterbukaan dan keadilan sebagai penopang utama terciptanya kedamaian hidup, sebagaimana komitmen mereka mematuhi ada’ tuo; sistem adat istiadat yang senantiasa mengedepankan kehidupan bersama secara damai, yang dalam bahasa lokal Mamasa disebut sitayuk, sikamase, sirande maya-maya (saling menghargai, saling mengasihi, dan saling mendukung).

Karena itu, jika kehidupan sosial masyarakat Mamasa selama ini terlihat adem, guyub, dan toleran, itu tidak lebih karena sifat alamiah sebagian besar masyarakat Mamasa dalam menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal mereka. Salah satunya adalah komitmen mereka mematuhi aturan ada’ tuo yang senantiasa menjadi rujukan sekaligus menjadi perekat kebersamaan dan kehidupan sosial yang harmonis.

Ritual Adat

Stepanus, dkk dalam tulisannya berjudul “Mebulle Bai: Ritual, Ruang Bersama dan Rekonsiliasi Masyarakat Lokal di Mamasa, Sulawesi Barat” menjelaskan bahwa ada’ berarti aturan atau kepercayaan yang harus ditaati. Sementara tuo berarti hidup. Secara sederhana, ada’ tuo berarti aturan hidup yang memberi perhatian pada nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.

Menurut Stepanus, ada’ tuo senantiasa menjadi pedoman dalam menyelesaikan masalah. Proses penyelesaiannya dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dengan melibatkan berbagai pihak, seperti tokoh adat, tokoh agama, pemerintah, keluarga, atau pihak yang sedang berkonflik. Proses penyelesaian masalah senantiasa mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan dan kesetaraan sebagaimana yang menjadi inti dari ada’ tuo.

“Masyarakat Mamasa merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan berbagai tradisi dalam menata kehidupan sosial,” tulis Stepanus, dkk.

Mungkin karena itu, nilai luhur seperti gotong royong dan sistem kekeluargaan orang-orang Mamasa sejak dari dulu dikenal sangat kuat, bahkan setiap peristiwa konflik yang terjadi dianggap merusak harmoni berkeluarga dan bermasyarakat. Karena itu, menurut Stepanus, pemulihan konflik sering kali disandingkan dengan ritual tertentu, salah satunya adalah ritual “mebulle bai”.

Ritual adat menjadi ruang untuk mengkreasi kebersamaan dan sekaligus memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sosial di Mamasa. Pada konteks ini, menurut Stepanus, ritual tidak hanya berfungsi sebagai sarana spiritual semata, tetapi juga sebagai media untuk memperkuat ikatan sosial dan menyelesaikan konflik.

Ritual tersebut dilakukan setelah pemuka adat melakukan mediasi konflik. Pihak yang dianggap bersalah dalam konflik tersebut akan diantar oleh keluarga yang dituakan untuk membangun perdamaian di tempat yang ditentukan dan beberapa orang berjalan di depan memikul atau membawa babi.

“Babi yang dipikul mendahului rombongan keluarga dengan maksud supaya setiap pihak, khususnya pihak yang dirugikan dalam konflik dapat membuka diri untuk menerima pihak lain dalam membangun perdamaian. Setelah mereka sampai, babi diletakkan di pintu rumah, sementara keluarga dan pihak yang bersalah akan masuk ke dalam rumah untuk membicarakan konflik secara damai,” tulis Stepanus.

Ritual “mebulle bai” bertujuan untuk memulihkan dan menjaga agar kohesi dan solidaritas sosial tetap terjaga secara utuh, sebagaimana yang menjadi inti pesan sitayu sirande maya-maya (saling menghormati, saling menghargai, dan saling mendukung). Pada akhirnya, meskipun dalam konteks masyarakat sekuler kehidupan bersama bersifat profan, hal ini tidak berlaku dalam konteks masyarakat lokal seperti Mamasa.

Bagi mereka, kehidupan bersama adalah hal yang sakral. Karenanya, ritual adat senantiasa dihadirkan untuk menguatkan kebersamaan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa harmonisasi kehidupan adalah persoalan serius yang harus senantiasa dilestarikan. Kehidupan bersama memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Mamasa, mulai dari hubungan sosial hingga cara mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Presidium Jaringan GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua). Tinggal di Makassar. Aktif menulis di media cetak maupun daring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *