Berita-berita menyiarkan ancaman turunnya kasta warga kelas menengah. Tak main-main, ancamannya jatuh miskin.
***
Pemberitaan yang marak itu membuat saya harus mengecek lagi pengertian kelas menengah. Sebab kalau teori soal kelas di ilmu sosial, bayangan saya merujuk pada teori kelas dari Karl Marx. Yang secara garis besar membagi masyarakat di Eropa saat revolusi industri atas dua kelas. Pertama, borjuis atau para pemilik modal dan alat produksi. Kedua, proletar yang tidak memiliki modal dan alat produksi.
Lantas kelas menengah apa yang dimaksud pemberitaan itu? Ternyata bentuk klasifikasi berdasarkan tingkatan penghasilan masyarakat yang datang dari Bank Dunia dan IMF. Pembagian utamanya menjadi kelas ekonomi miskin, menengah, dan atas. Di antara ketiga kelas ekonomi utama itu masih terdapat spektrum lainnya. Seperti di kelas menengah yang masih terbagi lagi menjadi kelas menengah bawah, kelas menengah, dan kelas menengah atas, yang tingkat penghasilannya berbeda pula.
Ilusi kelas menengah
Kelas menengah ke bawah yang disebut-sebut terancam dalam banyak berita itu dipercaya memainkan peranan ekonomi krusial bagi negara, walau dari sisi jumlah masih diperdebatkan. Rata-rata mereka berstatus sebagai pekerja maupun pelaku usaha kecil (UMKM) dan sebagian besar hidup di perkotaan. Saya dapat membayangkan bahwa kebanyakan dari mereka ialah perantau. Alih-alih berada di kampung karena sedikitnya kesempatan karier, mereka lebih memilih tinggal di kota karena alasan kue ekonomi dan dipandang prestise. Saya bisa bilang seperti ini, karena saya termasuk di dalamnya.
Saya lahir dan besar di Riau oleh seorang ayah yang bekerja sebagai supir angkot. Lalu lanjut berkuliah di Yogyakarta. Dikarenakan mengambil disiplin ilmu jurnalistik, pasca-lulus saya pun melihat kesempatan karier di Jakarta sebagai wartawan ekonomi. Sebagai lulusan sarjana yang menjadi pegawai swasta di ibu kota waktu itu, saya dapat memahami bahwa kawan-kawan saya memandang dirinya terintegrasi dalam ekosistem kelas menengah. Walau bergajikan UMR lebih sedikit, namun kami masih dapat menabung sedikit dan mengkonsumsi barang-barang sekunder. Sampai titik itu, kami merasa hidup kami cukup layak.
Harapan pun muncul. Kami punya rasa percaya diri. Jika mampu meniti karier dengan mulus, maka kami dapat menaiki tangga kelas ekonomi yang lebih mapan lagi. Sementara itu, rasa percaya diri tersebut menjadi jurang pemisah dengan pekerja dari kelas ekonomi yang berbeda, yakni kelas miskin yang lebih rentan lagi kehidupannya di kota besar.
Padahal kalau dilihat, baik kelas menengah ke bawah maupun kelas miskin di perkotaan sama-sama rentan. Para pekerja dari kelas miskin harus ekstra bekerja di luar batas-batas kelayakan jam kerja dengan beban yang berat. Belum lagi jaring pengamannya tergolong minim. Sementara kelas menengah ke bawah yang serba tanggung ini juga sering kali kerja over time yang membuat dirinya lembur. Tentunya kerja seperti itu memengaruhi kualitas hidup setiap pribadi. Di tengah eksploitasi oleh pekerjaan itu, baik kelas miskin maupun menengah ke bawah sama-sama mengeluhkan, upah yang didapat tak sebanding dengan keringat serta tenaga yang telah habis terkuras.
Saya sendiri sebagai wartawan dan pekerja perantau di Jakarta kala itu, sebagian besar pendapatan harus terkuras untuk tempat tinggal, transportasi, dan makanan. Para pekerja di ibu kota ini, apalagi para perantau, dibayang-bayangi dengan inflasi harga-harga kebutuhan yang kian tak masuk akal. Inflasi harga barang itu selalu lebih tinggi dari kenaikan gaji setiap tahunnya. Wajar jika perbincangan di sela-sela istirahat jam kantor, berbagai keluhan atas kualitas hidup yang menurun selalu berkumandang.
Jadi konsumen
Jika teori marxis dianggap terlalu radikal, menganggap semua kelas pekerja baik di kelas miskin atau menengah bawah itu sama, yakni sama-sama tidak memiliki alat produksi. Artinya semua yang bekerja dengan seseorang atau institusi/organisasi dan digaji sama-sama pekerja. Coba pandang lebih jauh lagi, kesamaan kelas menengah tanggung tadi dengan kelas miskin. Keduanya sama-sama konsumen.
Di tengah era modern yang dibaluri eksploitasi berlebih kapitalisme, semua warga dunia dipandang hanya sebagai konsumen semata. Kita dipaksa mengkonsumsi berbagai macam hal. Bahkan untuk barang-barang yang sebenarnya gratis kita dapat dari alam, dan jadi hak setiap manusia yang lahir. Seperti air bersih misalnya, bukankah itu tersedia dan harusnya dapat dikelola untuk kepentingan publik secara luas. Bukannya malah dikomersialkan dan dijadikan komoditas semata.
Perilaku konsumsi inilah yang diagung-agungkan para ekonom kita. Bahwa keberhasilan ekonomi ialah seberapa banyak barang diproduksi dan dibeli. Tanpa memandang kebermanfaatan barang itu dan dampaknya bagi kebahagian dan peningkatan kelayakan hidup manusia.
Hitung-hitungan kesejahteraan hanya berdasarkan sebanyak apa produksi dan pendapatan (harta) yang diraih, bukan kebahagian hidup yang diperoleh. Tak heran inflasi terus jadi ancaman, pandangan ini menjejali kita dengan pertumbuhan terus menerus tanpa tujuan akhir yang jelas. Beberapa pemikir ekonomi alternatif menganggap perspektif ini membuat manusia tiada henti mengeksploitasi sosial dan lingkungannya yang berujung pada kiamat bagi kemanusiaan itu sendiri.
Orang miskin
Jika hidup kelas menengah ke bawah itu saja sudah berada di tepi jurang, bagaimana dengan warga miskin kota? Jelas lebih karut marut. Lebih susah lagi. Beban hidup modern yang menitikberatkan pada konsumerisme tentu semakin membuat warga miskin tak berdaya. Apalagi yang termarjinalkan di tengah kota besar. Jauh dari sumber daya dan tidak memiliki jaring pengaman sosial yang memadai.
Di tengah himpitan hidup orang miskin ini, masih saja kelas menengah, terutama yang tanggung tadi meneriakkan kata-kata merendahkan, seperti, “Enak ya hidup kelas miskin dapat subsidi”. Jelas, subsidi yang mereka dapat tidak seberapa. Hanya mampu mengganjal perut lapar, barang beberapa hari. Bentuk keculasan berpikir ini harus dihentikan. Sebab semakin membangun tembok besar antara kelas menengah kebawah dengan miskin yang sama-sama rentan.
Kelas menengah ke bawah sudah seharusnya bersatu dengan warga miskin. Mereka, yang disebut kelas menengah ke bawah itu, punya modal sosial dan pendidikan yang mungkin tidak dimiliki warga miskin. Jika keduanya bersatu dalam sebuah iringan kelas pekerja, tentu kekuatan sipil dalam memaksa pemegang kekuasaan dalam menjalankan fungsinya secara arif dapat terlaksana.