Sambil menyantap singkong dan kacang rebus, Gus Dur berkisah, saat masih ngontrak rumah bersama istri di pinggiran Jakarta, lupa tanggal dan tahunnya, saat waktu senja beringsut menjelang Maghrib, ada tamu mengetuk pintu. Mendengar ketukan, Gus Dur reflek bergegas menuju pintu dan membukanya. Tampaklah olehnya serombongan para pinisepuh bersurban. Beberapa sosok lalu memperkenalkan diri bahwa mereka adalah rombongan Walisongo, para sesepuh Nusantara.
Salah satu tamu menyahut, mereka sengaja mampir bertamu ke kontrakan Gus Dur hendak numpang salat. Selepas bercakap seperlunya dan azan Maghrib selesai berkumandang sayup di luar, para sesepuh pun mengajak semua rombongan salat berjamaah. Buru-buru Gus Dur merapikan tempat dan menggelar tikar. Spontan para rombongan mempersilakan sesepuh Mbah Sunan Ampel untuk menjadi imam. Namun, Syaikh Siti Jenar menyela, sebentar dulu, kita sedang menunggu dua orang lagi”, sahutnya.
Mendengar permintaan tersebut, Gus Dur hanya bisa taslim (menerima begitu saja) sambil menerka-nerka, siapa ya kira-kira dua orang yang sedang dinantikan rombongan Walisongo ini? Baru tersirat di hati, Syaikh Siti Jenar menyahut, kita menunggu kedatangan Kiai Hasyim Asy’ari dan Kanjeng Herucokro. Gus Dur mengaku heran mendengar salah satu tamu penting yang ditunggu ternyata kakeknya sendiri. Namun Gus Dur masih janggal dengan tokoh kedua, sosok misterius bernama Kanjeng Herucokro. Gus Dur mengaku hanya sam’an wa tha’atan, patuh dan taslim tanpa mempertanyakan.
Tak berselang lama, dalam pengalaman Gus Dur, Mbah Hasyim Asy’ari dengan Kanjeng Herucokro rawuh dan langsung bersapa secukupnya dengan rombongan Walisongo lainnya. Saat salat jamaah hendak dimulai, mendadak Syaikh Siti Jenar berseloroh meminta Kiai Hasyim Asy’ari menjadi imam, diikuti jamaah para Walisongo, Herucokro, dan Gus Dur sebagai makmum di belakang hingga selesai salat. Selain pengalaman salat berjamaah bersama para sesepuh Nusantara tersebut, Gus Dur tidak bercerita kepada penulis tentang materi perbincangan selanjutnya. Tiba-tiba berganti ke tema lain.
Mendengar langsung pengalaman personal Gus Dur tersebut, spontan muncul banyak pertanyaan dalam benak penulis, mengingat sebagian tokoh-tokoh yang dikisahkan di atas hidup dalam periode waktu yang berbeda, termasuk antara Mbah Hasyim Asy’ari, Kanjeng Herucokro, Walisongo, dan Gus Dur sendiri. Bagaimana bisa terjadi? Apakah itu mungkin terjadi? Beruntung saya pernah nyantri, meskipun mbeling, tidak sulit bagi saya untuk taslim dengan pengalaman esoteris Gus Dur tersebut. Terlebih jika berurusan dengan pencapaian maqam dan pengalaman dimensi yang bersifat meta-rasional, dimensi yang tidak lagi tersekat oleh ruang dan waktu.
Dengan penuh taslim, saya memberanikan diri bertanya balik ke Gus Dur, “Siapa sosok Herucokro itu, Gus?” “Herucokro itu Guru Kejawen-nya Syaikh Siti Jenar,” sahut Gus Dur. Memang di kalangan awam sosok ini jarang terdengar. Saya sendiri juga baru mendengar dari Gus Dur. Tak lama, Gus Dur melanjutkan kisah, saat masih menjabat presiden, salah satu sahabat karibnya Bondan Gunawan pernah memberitahu dan menunjukkan lokasi makam Herucokro yang berada di salah satu alas (hutan) di Ngawi, Jawa Timur, dan bahkan mengajak Gus Dur berziarah jika berkenan, namun selalu terlewat sebab memenuhi kewajiban dan acara-acara lainnya. Selepas bercerita, Gus Dur berseloroh, “Jadi, kita ini sebenarnya ya saudara dekat dengan para penghayat Kejawen dan Kebatinan. Tidak boleh saling menghina, memperolok apalagi melecehkan satu sama lain”.
Obrolan informal ini berlangsung sekitar akhir November 2009, selepas acara Interfaith Dialogue antara Gus Dur dan Cardinal Jean-Louis Tauran dari Vatikan di ruang pertemuan The Wahid Institute, Taman Amir Hamzah 8, bertajuk “Indonesia: The Center of Moderate Moslems”. Bersama Mas Rumadi dan sahabat Alamsyah M Dja’far, kami hanya taslim menyimak pengalaman Gus Dur.
Materi dialog ini hingga kini masih menjadi misteri bagi penulis dan membersitkan banyak tanya di benak, mengapa Walisongo dengan Syaikh Siti Jenar serasa begitu dekat, berbeda dengan narasi sejarah yang berkembang selama ini? Apa di balik misteri sosok Herucokro Sang Guru Kejawen dan hubungannya dengan para Walisongo? Mengapa Mbah Hasyim Asy’ari yang ditunjuk para Walisongo menjadi imam salat? Apakah terkait dengan otoritas keagamaan atau otoritas yang lain?
Silakan pembaca menafsirkan sendiri-sendiri. Allahumma Ihdina bi Hidayatihim wa Yahmina bi Hamaytihim wa Yumidduha bi Madadihin wa Yu’idu ‘alaina min Barakatihim wa Asrarihim wa Anwarihim wa Ulumihim fi al-Daraini bi Hurmatihim, Amien, Lahum al-Fatihah.
Pamulang, 28 September 2024