Stephen Covey mengatakan manusia adalah makhluk rohani. Bukti nyata dari eksistensi manusia sebagai makhluk rohani antara lain adanya kesadaran untuk perhatian, peduli atau membantu sesama. Pemahaman ini jugalah yang menjadi dasar Covey dalam merumuskan suatu pemahaman akan sosok seorang pemimpin. Baginya, seorang pemimpin adalah pribadi yang hadir dengan kesadaran untuk memberi perhatian penuh pada semua orang yang dipimpinnya.
Pemimpin sejati adalah dia yang benar-benar merelakan dirinya untuk orang lain. Ia hadir untuk membantu mengingatkan manusia dan mengarahkannya pada kehidupan sejati. Dalam konteks itu, ia hadir sebagai panutan bagi segenap manusia yang dipimpin. Dalam hal ini, kita coba meminjam pemikiran Maslow tentang kebutuhan manusia. Perhatian utama dari pemikiran Maslow mengenai kebutuhan tertinggi manusia antara lain melampaui diri.
Dalam pembaruan pemikirannya adalah yang disebut dengan “transendensi diri”. Seorang pemimpin diharapkan untuk mampu mentransendensi diri atau melampaui diri, sehingga yang dipikirkan bukan soal dirinya sendiri, melainkan liyan yang dipimpin. Seorang pemimpin hadir dengan landasan prinsip-prinsip umum yang bertujuan untuk kesejahteraan umum, bukan untuk diri sendiri atau kelompok tertentu.
Banalitas Penguasa
Hari-hari ini situasi politik bangsa kita sedang mengenaskan. Situasi di mana seolah-olah aktivitas dialektika di dalam ruang-ruang kelas itu hampa dan tak berfaedah. Penjabaran tentang nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan menjadi prinsip umum masyarakat Indonesia rasanya sia-sia. Para pemimpin bangsa kelihatannya menutup mata, hati, dan telinga terhadap nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para founding fathers bangsa ini. Kepentingan pribadi kelihatannya berada di ambang batas harapan seorang pemimpin. Harapan rakyat akan seorang panutan sejati hampir pasti lenyap.
Problematika moral kepemimpinan hari-hari ini menjadi masalah yang serius. Tidak dinafikan bahwa seorang pemimpin menjadi preseden bagi masyarakat dalam seluruh dinamika kehidupan bangsa. Semua kalangan bisa melihat bahwa saat ini berbagai cara dilakukan oleh seorang pemimpin untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Konstitusi dirajam untuk interes pribadinya atau kelompoknya. Pertanyaannya adalah siapa yang harus menjadi panutan lagi untuk 270 juta masyarakat Indonesia? Kondisi bangsa hari ini selaras dengan apa yang disebut Hanna Arendt dengan istilah banality of evil.
Banalitas seorang pemimpin atau penguasa nyata dalam praktik manusia yang tidak memiliki kesadaran atau mengalami ketumpulan hati nurani. Kita bisa melihat bahwa hari ini sedang terjadi di negeri ini, seorang pemimpin kehilangan hati nurani sehingga bergerak mengarahkan konstitusi sesuai pandangan subjektif. Hal ini tentu saja untuk kepentingannya sendiri. Adanya kenyataan bahwa kekerasan di dalam proses penegakan demokrasi di pandangan sebagai sesuatu yang biasa. Mahasiswa ditangkap dan diperlakukan dengan tidak adil, masih saja dipandang sebagai hal yang baik-baik saja.
Aktualisasi Pemimpin Sejati
Hari ini rakyat kembali menantikan seorang pemimpin sejati. Pemimpin sejati seperti apakah yang diharapkan oleh rakyat? Rakyat mengharapkan seorang pemimpin yang sungguh-sungguh menyadari dirinya sebagai makhluk rohani. Kesadaran diri semacam itu menuntun seorang pemimpin pada satu visi utama yakni kesejahteraan rakyat. Pemimpin hadir sebagai sosok yang mengarahkan rakyat pada kehidupan yang sejati.
Hari-hari ini di berbagai daerah di seluruh Indonesia masyarakat dan para calon kepala daerah berbondong-bondong ke Kantor KPU setempat untuk mendaftarkan diri sebagai calon-calon pemimpin pada periode yang datang. Yang diharapkan dari calon-calon ini adalah, hadir seorang pemimpin yang memiliki kesadaran bahwa rakyat adalah yang utama. Mereka yang terpilih juga diharapkan memiliki satu orientasi mendasar yakni pelayanan. Bahwa memimpin bukan kesempatan untuk semata-mata berkuasa, namun lebih dari pada itu adalah pelayanan. Itulah pemimpin sejati yang diharapkan oleh rakyat.
Seorang pemimpin seharusnya mampu mentransendensi diri untuk secara total melayani rakyat yang dipercayakan kepadanya. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin antara lain sifat egois. Sifat ini memberi dampak yang sangat buruk bagi siapa pun dalam menjalankan tampuk pemerintahannya. Tentu saja sifat ini menghancurkan setiap niat baik dari manusia. Dan kenyataan hari-hari ini tampak jelas ketika egoisme pribadi menguasai seorang pemimpin.
Satu nilai penting yang ada dalam diri Gus Dur selama masa kepemimpinannya dan bahkan yang dihidupi dalam peziarahan hidupnya adalah pengorbanan diri. Gus Dur, sebagaimana cerita-cerita dari keluarganya, bahkan ‘lupa diri’. Yang dimaksudkan di sini ialah Gus Dur kerap kali lebih sibuk dengan pelayanannya pada rakyat yang dipimpinnya daripada keluarganya.
Bahkan Gus Dur pada akhirnya merelakan kursi kekuasaannya demi suatu nilai yang lebih besar yakni keselamatan bangsa. Bagi Gus Dur “tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”. Maka dalam diri Gus Dur kita bisa melihat sosok pemimpin yang “rohani” dan bisa menjadi panutan bagi setiap orang yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin.