Tengah September 2024 ini, saya menghadiri Global Action Summit bertema ”Leading the Rise: Women for Rights and Democracy” yang diselenggarakan oleh Vital Voices Global Partnership di Warsawa, Polandia. Organisasi ini adalah sebuah jejaring global wadah perempuan pemimpin dari berbagai latar belakang dan bekerja keras untuk mengatasi berbagai persoalan dunia.
Summit ini mengundang 100 perempuan pemimpin dari semua benua, baik dari lingkungan penyelenggara negara, seperti menteri, mantan menteri, mantan gubernur atau wali kota, anggota parlemen, politisi, dan lain-lain maupun dari lingkungan lembaga negara penunjang, seperti komisi perempuan, komisi HAM, dan komisi antikorupsi; serta dari lingkungan gerakan masyarakat sipil.
Presiden Republik Kosovo saat ini, Dr Vjosa Osmani, mantan Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarović, dan Menteri Pendidikan Polandia menjadi pembicara utama. Dan, sungguh menarik menyaksikan betapa berbedanya sistem protokoler yang terjadi dalam sesi-sesi ini dengan yang biasa kita lihat di Indonesia.
Dengan muatan tema seberat itu, dan tamu-tamu semulia itu pula, panggung pembicara terasa sangat sederhana dan apa adanya.
Dengan muatan tema seberat itu dan tamu-tamu semulia itu pula, panggung pembicara terasa sangat sederhana dan apa adanya. Forum berlangsung to the point, tanpa ada gemebyar suguhan yang tidak relevan. Sang Presiden tidak diikuti dengan puluhan perangkat, tetapi hanya bersama beberapa anggota staf. Venue kegiatan tidak menjadi ruwet dengan kepentingan keamanan dan segala tetek bengek lainnya.
Demikian pula para tamu utama, seperti menteri dan pejabat lainnya. Mereka datang dengan kendaraan biasa tanpa pengawalan voorijder, tidak diikuti oleh rombongan staf, duduk berkumpul bersama peserta, dan bersikap sewajarnya.
Pola yang sama saya temukan pada event lain yang pernah saya ikuti, seperti Oslo Forum di Norwegia, Forum 2000 di Republik Ceko, dan Global Dialogue Forum. Event-event ini dibuka oleh kepala negara tuan rumah, dihadiri sejumlah kepala negara dan tamu-tamu istimewa lainnya.
Protokoler para kepala negara ini terasa sangat simpel dan tidak menyusahkan siapa pun, membuat saya teringat peristiwa seru dibentak-bentak oleh seorang anggota Paspampres karena memasuki pintu yang tanpa tanda dan tidak dijaga, dalam acara Ibu Negara Indonesia tahun lalu (jangan khawatir, persoalan ini telah diselesaikan dengan baik).
Para tamu mulia di berbagai event internasional tersebut terlihat bersikap simpel. Hanya ada pengawalan minimal, dengan jumlah anggota staf yang minimal pula. Sungguh kontras dengan pengalaman saya bertemu dengan para pejabat eselon dan anggota parlemen di Indonesia yang gemebyar. Saya kerap melihat dua hingga lima anggota staf berduyun-duyun mengikuti satu orang pejabat sehingga dulu muncul guyonan jabatan YMT (Yang Membawakan Tas). Di jalan raya, para pejabat berkendara dengan lampu strobo. Di bandara, saya melihat para pejabat eselon ini disambut dengan barisan staf, bahkan sering kali di area terbatas.
Acara-acara negara kita semakin lama semakin berbunga-bunga, baik dalam makna literal maupun konotatif. Panggung semakin besar, dengan event organizing yang semakin canggih. Bahkan, acara rapat kerja kementerian pun menghadirkan artis pesohor untuk menyemarakkan panggung pembukaan, dengan acara yang penuh gebyar. Semuanya tentu membutuhkan anggaran negara, yang adalah uang rakyat yang disetorkan melalui pajak.
Akhir-akhir ini, budaya gemebyar ini terlihat semakin kuat.
Akhir-akhir ini, budaya gemebyar ini terlihat semakin kuat. Di lingkungan kementerian/lembaga negara, apabila dulu saya menemukan kultur privilese hanya pada pejabat eselon 1, sekarang saya kerap menyaksikannya pada pejabat eselon 2. Semakin banyak privilese yang mereka terima melalui jabatannya dan semakin tinggi mereka di-bombong oleh lingkungan strukturalnya.
Maka, tidak mengherankan jika muncul kasus Asisten Staf Khusus Presiden beberapa waktu lalu. Dari kasus ini publik menjadi tahu bahwa setiap Staf Khusus Presiden memiliki asisten dan para asisten memiliki para pembantu asisten. Demikian juga dengan para anggota DPR dengan perangkat stafnya atau para kepala daerah dengan para birokratnya.
Keistimewaan alias privilese yang diterima para pejabat ini pun menjadi berkebalikan dengan peran aslinya sebagai pelayan rakyat. Alih-alih menempatkan rakyat sebagai pemilik mandat, saat ini rakyat sering kali dipinggirkan, baik fisik maupun psikis demi kebutuhan para pelayan rakyat ini, misalnya di jalan raya. Beberapa aktivis gerakan masyarakat sipil menilai bahwa privilese para pejabat ini sudah terlalu besar.
Menariknya, dengan perkembangan teknologi informasi, saat ini peningkatan budaya privilese tersebut mulai menuai kritik dari rakyat yang semakin peka terhadap penyalahgunaan wewenang. Mulai dari kasus sang Asisten Staf Khusus Presiden sampai kasus nebeng jet pribadi dari Kaesang Pangarep, pelaku utama pembongkaran ini adalah para netizen Indonesia yang tidak mau tinggal diam di media sosial.
Banyak anak muda Indonesia yang mulai lebih sadar bahwa privilese para pejabat negara merupakan perilaku yang tidak dapat diterima. Apalagi mereka yang telah memasuki dunia kerja dan membayar pajak. Kesadaran ini menjadi bahan bakar mereka untuk bergerak menyoal perilaku-perilaku penuh privilese tak berdasar ini.
Rakyat tidak lagi menunggu dan mengandalkan sistem negara untuk menyelesaikan setiap kasus yang muncul.
Rakyat tidak lagi menunggu dan mengandalkan sistem negara untuk menyelesaikan setiap kasus yang muncul. Mereka proaktif untuk ”menindak” para pelaku walau kadang hanya berujung pada hukuman sosial.
Dan, ini mengingatkan saya pada Revolusi Perancis di abad ke-18, ketika kaum proletar yang tidak lagi bisa menerima privilese kaum merkantil dan para bangsawan akhirnya mencapai puncak kemarahannya serta menumbangkan sistem ekonomi politik yang telah mengakar.
Akankah terjadi di Indonesia? Saat ini tentu kita masih jauh dari kondisi itu. Semoga tidak akan harus demikian agar harga yang dibayar bangsa tidak menjadi terlalu besar.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 22 September 2024