Berita politik dan hukum sering kali terasa berat, apalagi bagi orang awam. Informasi berlalu-lalang seperti pelayan restoran yang sibuk menawarkan menu makan siang. Pemilu 2024 sudah selesai, dan kita duduk di meja demokrasi, menunggu hidangan yang dijanjikan. Di daftar menu, tersaji berbagai pilihan politik, dari yang sederhana sampai yang paling mewah. Appetizer, main course, hingga dessert, semuanya ada. Tapi, bukankah terlalu banyak pilihan kadang malah bikin bingung?
Di antara banyaknya menu, ada satu yang tak pernah mengecewakan: mie goreng atau mie soto dengan telur setengah matang. Sederhana, murah, tapi rasanya selalu enak. Restoran-restoran mewah mungkin menambahkan topping seperti keju, sate, atau ayam, tapi jujur saja, mie goreng cabai dengan telur itu tak tergantikan. Begitu pula dengan politik: sering kali yang paling sederhana justru yang paling relevan dengan kebutuhan rakyat.
Restoran politik berlomba-lomba menawarkan hidangan mewah, seperti saat Pemilu 2019. Itu pesta demokrasi terbesar, dengan lebih dari 200 juta pemilih. Pada masa itu, teknologi digital mulai berperan besar, membuat berita beredar cepat seperti asap knalpot di jalanan. Spanduk dan baliho politik penuh janji terlihat di setiap sudut kota. Sayangnya, banyak dari kita menelan mentah-mentah janji-janji manis itu. Seperti makanan yang terlihat lezat, tapi sebenarnya belum matang, politik pun kadang tampak menarik di luar, tapi kosong di dalam.
Sekarang, Pemilu 2024 sudah selesai, tapi suasananya masih terasa sama. Sistem yang dipakai tetap menggunakan resep lama, dengan bumbu-bumbu yang sudah kita kenal. Namun, kali ini, restoran mewah politik harus bersaing dengan warung-warung sederhana seperti angkringan, warung bakso, pecel lele, dan warung kopi yang lebih dekat dengan rakyat. Tempat-tempat ini menawarkan sesuatu yang lebih membumi, lebih dekat dengan keseharian kita. Sama seperti demokrasi, yang seharusnya bisa dirasakan oleh semua kalangan, bukan hanya segelintir orang.
Inilah peran penting seorang pemimpin: bukan sekadar menyajikan kebijakan yang tampak megah dari luar, tapi kebijakan yang benar-benar bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Pemimpin yang baik harus menjembatani kesenjangan yang ada, memastikan bahwa hasil demokrasi tidak hanya menguntungkan elit, tapi menyentuh setiap orang, terutama mereka yang sering kali tak terdengar suaranya. Kalau kemarin kita yang bingung memilih dari banyaknya janji politik, sekarang giliran para politisi yang bingung—ke mana arah rakyat akan berlabuh? Apa yang benar-benar diinginkan rakyat? Mereka mulai memodifikasi strategi, mencoba menyajikan “menu” baru yang lebih menarik, seperti Plankton yang berusaha mencuri resep rahasia Krabby Patty dalam serial Spongebob Squarepants.
Tapi, kita tahu, tidak semua yang terlihat menarik di luar bisa memenuhi selera. Para elit politik sering kali terpecah karena perbedaan pandangan soal konstitusi, sementara reformasi yang dulu menjadi landasan harapan, sekarang terasa seperti prasasti yang semakin berdebu. Demokrasi yang dulu diperjuangkan kini mulai kehilangan arah, terjebak dalam formalitas dan ritual tanpa esensi. Para intelektual yang sering turun ke jalan berusaha mengingatkan bahwa demokrasi bukan cuma soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal bagaimana kehidupan rakyat bisa berubah.
Inilah mengapa pentingnya kepemimpinan yang memprioritaskan keadilan ekonomi dan sosial—bukan sekadar memenangkan pemilu, tapi bagaimana mengubah janji menjadi kenyataan. Sebagai rakyat biasa, saya hanya ingin mengingatkan: jangan sampai kita terlena oleh janji-janji manis yang hanya terlihat cantik di luar. Fokuslah pada esensi dari “hidangan” politik yang disajikan. Demokrasi itu bukan soal formalitas saja, melainkan tentang bagaimana kebijakan yang diambil bisa benar-benar mengubah hidup rakyat. Apa gunanya pemilu kalau rakyat tetap merasakan kesulitan yang sama?
Kepada pemimpin yang terpilih, ingatlah bahwa rakyat adalah pelanggan. Dalam demokrasi, pelanggan adalah raja, dan sekarang raja sedang lapar! Pemimpin yang baik, seperti seorang koki, harus bisa meracik kebijakan yang tidak hanya tampak lezat dari luar, tapi juga bisa dirasakan oleh semua kalangan, dari kota sampai desa. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal proses pemilu yang lancar, tapi tentang bagaimana hasilnya bisa memberikan kesejahteraan bagi semua. Pemimpin yang baik harus memastikan bahwa setiap warga negara, baik yang menang maupun yang kalah, bisa duduk di meja yang sama dan menikmati hasil dari demokrasi ini.
Jadi, setelah pemilu ini, apa yang akan kita makan? Apakah kita masih akan menikmati mie goreng telur sambil duduk di bawah hujan kota yang membersihkan polusi politik? Atau kita akan disuguhi hidangan baru yang benar-benar segar, penuh harapan, dan membawa perubahan nyata?
Hanya sebuah rindu makan siang setelah pemilu.