Salah satu ingatan tentang bulan puasa saat masa kecil adalah ceramah yang saya dengar melalui radio, salah satunya kisah Umar bin Khattab. Bahwa ada suatu riwayat yang mengisahkan saat beliau mengakhiri shalatnya dengan tangis yang tersedu-sedu. Ketika salah satu sahabat bertanya kenapa sampai seorang Umar yang perkasa ini menangis sejadi-jadinya setelah shalat adalah tidak lain ketika teringat akan peristiwa ia mengakhiri hidup anaknya karena dia adalah perempuan.
Dada saya selalu ngilu mendengarnya, apalagi kisah ini ternyata cukup populer di kalangan para pendakwah saat itu. Bahkan di salah satu kaset penceramah kondang punya orang tua saya, ada kisah itu. Guru ngaji saya juga tidak luput menyampaikannya dalam materi ceramahnya di beberapa kesempatan. Sampai pada akhirnya, ayah saya turut mengisahkannya. Saya benar-benar tak mampu membendung kesedihan di hadapannya. Tangis saya tumpah mendengar kisah yang sangat tragis dan menyayat hati itu.
Pada kesempatan lain, saya pernah dirundung kesedihan berhari-hari karena menonton sebuah film. Sebuah film Hollywood berjudul Agora yang mengisahkan tentang kehidupan seorang filsuf perempuan bernama Hypatia membuat saya merenung. Bagi teman-teman yang menonton film ini pasti mengetahui alasan Hypatia dieksekusi, yaitu karena adanya dogma agama waktu itu, singkatnya: karena ia adalah perempuan.
Padahal, Hypatia adalah sosok yang cerdas dan berkontribusi dalam kehidupan masyarakat. Karena kecerdasan dan kebijaksanaannya, ia diikuti oleh banyak orang. Banyak yang ingin belajar kepadanya, bahkan dari kalangan laki-laki. Hal tersebut menjadi poin yang dianggap negatif dan hina dari sebuah tafsir ajaran agama. Sehingga, Hypatia di akhir hidupnya mengalami hal yang sangat keji. Dalam literatur lain saya menemui bahwa eksekusi Hypatia lebih kejam dibandingkan yang digambarkan di film.
Dari dua kisah ini saya merenungi bahwa cara pandang yang tidak adil terhadap gender bisa menjadi sangat krusial bagi situasi sosial. Saya kira zaman akan berubah seiring dengan teknologi yang berkembang. Nyatanya, tantangan untuk mempertahankan sebuah nilai tidaklah berbanding lurus dengan kemudahan mengakses informasi. Saat ini, situasi ternyata bisa jadi tidak berubah.
Membaca berita di sebuah media massa, sebuah film horor berjudul Vina: Sebelum 7 Hari (2024) yang dinilai lebih mengeksploitasi korban meraup penonton kurang lebih empat hampir menyentuh angka lima juta penonton. Saya tidak menontonnya, tetapi dari beberapa bacaan dan artikel yang menurut saya kredibel soal perspektif keadilan gender bahwa film ini tidak berpihak kepada korban. Hal ini bukanlah sebuah edukasi seperti yang disampaikan pembuat film. Besarnya animo masyarakat terhadap sesuatu yang tidak sensitif gender membuat saya sedikit merenungi seberapa mainstream isu keadilan gender di masyarakat.
Sebenarnya ada banyak film yang menakar seberapa pedihnya peristiwa kekerasan berbasis gender yang mengajak penontonnya untuk merenungi sikap kita yang kerap diskriminatif terhadap identitas sosial lain bukanlah sikap yang diamini dan dinormalisasi begitu saja. Ambil contoh film Korea berjudul Hope, kisah seorang anak kecil yang menjadi korban kekerasan seksual dari gurunya sendiri. Film yang diangkat dari kisah ini bagi saya, tanpa mengeksploitasi korban, tetap mampu menggiring nurani kita untuk menentukan sikap bahwa kekerasan seksual benar–benar tidak manusiawi.
Melihat fenomena ini saya kira kita bisa melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, bagaimana industri perfilman terbentuk dan kedua adalah kondisi masyarakat Indonesia. Penikmat film, tentunya bukan kalangan bawah. Kemampuan mengakses tontonan di bioskop tentunya bukan berasal dari masyarakat yang kesusahan memenuhi kebutuhan pokoknya. Asumsi saya, setidaknya orang-orang yang leluasa mengakses bioskop adalah orang yang juga bisa mengakses pendidikan dasar. Angka hampir lima juta bukanlah angka yang sedikit, jika kita mengambil angka berdasarkan asumsi tersebut.
Artinya ini menunjukkan bahwa situasi tidak sensitif gender dialami oleh orang-orang yang juga dapat mengakses pendidikan. Mereka mengantre, antusias, dan berbondong-bondong ingin menyaksikan sebuah tontonan yang secara komersial dibuat dengan cara mengeksploitasi korban kekerasan seksual dan kekerasan yang sampai sekarang tidak memiliki kejelasan hukum. Padahal ini sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Setelah viral para institusi penegak hukum, media, dan juga -kita tidak boleh lupakan- industri film luput pada hal yang paling mendasar dan prinsipil yaitu: keadilan.