Wahabi Lingkungan: Ketika Wajah Wasathiyah NU Menjelma Jadi Alat Kolonialisasi Baru

Nahdlatul Ulama atau yang akrab kita kenal dengan NU, adalah salah satu organisasi berbasis keagamaan terbesar di Indonesia, pun juga menjadi salah satu yang tertua. Secara harfiah, Nahdlatul Ulama dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan frasa ‘Kebangkitan Ulama’, oleh karenanya tak mengherankan jika sejak berdirinya hingga hari ini kita banyak melihat ulama-ulama otoritatif yang menjadi wajah sekaligus menghidupi NU di dalam maupun di luar organisasinya. Alasan mengapa organisasi ini dinamai demikian adalah karena pada mulanya, organisasi ini bertujuan untuk mewadahi dan mengamplifikasi suara ulama guna merespons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat.

Salah satu problem yang ingin direspons saat itu adalah munculnya praktik Wahabi atau puritanisme Islam yang kian meluas. Hal ini mengkhawatirkan karena praktik puritanisme disinyalir dapat memberangus kebebasan bermazhab atas nama narasi tunggal keislaman ala Wahabi. Selain itu, kondisi sosial yang memaksa masyarakat tunduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda juga menjadi pemantik lain yang melatar belakangi berdirinya NU sebagai sebuah sikap ulama melawan penjajahan Belanda kala itu. 

Dari keresahan yang demikian, NU kemudian menegaskan langkah perjuangannya di bawah misi dakwah bernama Islam Wasathiyah, atau islam moderat. Hal ini merupakan langkah logis untuk merespon gelombang puritanisme yang dianggap sebagai ancaman saat itu, juga sekaligus menjadi antitesis penjajahan yang berusaha mengawasi dan mengontrol praktik keagamaan masyarakat Indonesia kala itu.

Pasca-kemerdekaan, strategi moderasi beragama ini pada gilirannya berkembang menjadi praktik Islam Nusantara, dengan semangat menjalankan ajaran agama sembari tetap melestarikan budaya lokal. Ternyata pendekatan tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat yang memiliki keragaman latar belakang budaya di Indonesia. Tak hanya sebagai organisasi, pendekatan wasathiyah ini pada gilirannya juga berhasil melangkah jauh memasuki ruang politik di Indonesia. Bahkan pada 1952-1955, NU pernah berganti bentuk menjadi partai politik sebelum akhirnya kembali ke bentuk awalnya sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan. 

Meskipun tidak lagi mewujud sebagai partai politik, daya tawar NU di ruang di ruang politik tetaplah menjanjikan. Bahkan di masa Orde Baru, NU sempat  mengawal perjuangan reformasi melalui partai PPP. Di tengah posisinya yang abu-abu tersebut, gagasan K.H Sahal Mahfudz tentang politik tingkat tinggi, siyasah aliyah samiyah, seolah menjadi oase, menjelma pedoman terkait akan dibawa ke mana arah politik organisasi ini. Gagasan ini mendorong supaya NU sebagai organisasi tidak terlibat dalam politik praktis dan membebaskan langkah politik jamaah NU sebagai langkah individu, bukan atas nama organisasi.

Harapan dari implementasi gagasan politik siyasah aliyah samiyah adalah untuk mengembalikan independensi NU sehingga kembali menjadi organisasi keagamaan dan sosial tanpa mencampuri pilihan politik praktis jamaahnya. Pemikiran politik ini juga diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa sebagai organisasi sosial, alih-alih turun tangan dalam politik praktis, siyasah aliyah samiyah menawarkan wajah politik bernama NU kerakyatan, yang antara lain bermakna NU harus aktif memberikan, melindungi dan membela masyarakat dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.

Namun, cita-cita politik tingkat tinggi tersebut dewasa ini tampak semakin tak relevan dengan langkah NU yang terus menjauh dari misi melindungi kepentingan rakyat. Baru-baru ini, muncul label “wahabi lingkungan” yang dilontarkan oleh Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla kepada orang atau lembaga yang terlalu konservatif menjaga lingkungan, dalam konteks ini adalah orang-orang yang mentah-mentah menolak tambang dengan alasan menolak kerusakan lingkungan. Label wahabi ini, lebih-lebih oleh NU yang bahkan lahirnya adalah untuk menolak wahabisme, jelas bukan sesuatu yang main-main.

Dari sejarah NU yang sedemikian getol menolak wahabisme, boleh jadi label wahabi lingkungan ini pada gilirannya juga dapat dijadikan legitimasi untuk menganggap bahwa kelompok tertentu yang masuk pada kategori tersebut adalah sebuah ancaman yang harus diperangi. Ajakan untuk menjadi moderat dalam segala hal termasuk niat menjaga kelestarian lingkungan agaknya dapat dijadikan legitimasi untuk membenarkan eksploitasi. Label wahabi tersebut, yang pada awal berdirinya NU menjadi motor penggerak untuk melawan penjajahan, pada gilirannya dapat menjelma sebagai alat yang digunakan untuk melakukan kolonialisasi gaya baru. 

Anibal Quijano dalam teorinya coloniality of power menegaskan bahwa warisan penjajahan hari ini bukan hanya tentang warisan kolonial masa lalu, tetapi juga tentang struktur kekuasaan yang terus memelihara ketidakadilan dan hierarki sosial hingga saat ini. Konsep ini menunjukkan bahwa kekuasaan kolonial yang berakar pada sistem penindasan rasial, epistemik, dan budaya masih berlanjut melalui struktur sosial dan institusi yang ada, termasuk dalam bentuk legitimasi dan simbol kekuasaan yang digunakan untuk mempertahankan dominasi tertentu. Dalam konteks ini, pernyataan Ulil Abshar dalam melontarkan label wahabi terhadap aktivis lingkungan dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika kekuasaan yang berusaha mengukuhkan posisi dan legitimasi organisasi tertentu, dalam hal ini PBNU. 

Dengan menggunakan label tersebut, PBNU secara tidak langsung juga tengah mencoba mengurangi daya tawar dan legitimasi aktivis lingkungan yang mungkin menantang narasi atau kepentingan tertentu yang diwakili oleh organisasi tersebut. Quijano menyebut bahwa salah satu cara untuk terus memelihara ketidakadilan dan mengontrol narasi sosial, termasuk melalui penggunaan label dan penanda identitas yang dapat memarginalkan kelompok tertentu. Selain itu, penggunaan label wahabi lingkungan juga dapat dilihat berpotensi menjelma sebagai hegemoni epistemik yang membatasi ruang diskursus dan mengontrol pengetahuan yang dianggap sah atau tidak sah dalam masyarakat. Terlebih mengingat NU sebagai lembaga yang otoritatif untuk melakukan produksi ilmu pengetahuan Islam. (Aníbal Quijano’s Critical Sociology: From Dependency Theory to Coloniality – Simeon J. Newman, 2024).

Dalam argumentasinya, Gus Ulil menyebut bahwa tambang dapat menjadi maslahat untuk umat jika dikelola dengan baik, dalam hal ini dikelola oleh PBNU. Oleh sebab itu, menolak mentah-mentah pengelolaan tambang demi konservasi alam kemudian dilihatnya sebagai wahabisme. Pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi, dipandang Gus Ulil sebagai sesuatu yang saat ini masih lebih banyak maslahat disbanding mafsadat-nya, dengan basis argumentasi seolah kita tidak punya pilihan lain selain menggunakan sumber ekstraktif sebagai sumber energi (lihat “Membedah Hujjah Fikih Tambang Ulil Abshar Abdalla” – Islami[dot]co). Padahal dalam qaul qadim PBNU (meminjam istilah Hengki, dalam tulisan yang sama), sudah banyak ulama yang setidaknya memiliki pendirian bahwa eksploitasi alam melalui industri ekstraktif harus dibatasi, atau bahkan KH. Alie Yafie yang terang-terangan berpesan bahwa menjaga lingkungan adalah salah satu upaya menjalankan syariat. Pun, sejumlah hasil muktamar juga mendorong upaya penyelamatan bumi dibanding meneruskan industri ekstraktif, kontras dengan pendirian PBNU hari ini.

Hal ini turut menebalkan tesis Foucault bahwa pengetahuan akan selalu berkelindan dengan kekuasaan, ia selalu bersifat kontekstual, sehingga tak jarang ia diproduksi dan atau dianulir untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Begitulah yang hari ini terjadi pada PBNU, keperluan produksi pengetahuan PBNU terkait tambang saat ini adalah keperluan pembenaran dan legitimasi tindakan ekstraktifnya sebagai ormas yang telah memegang izin pengelolaan tambang. Oleh sebab itu, kritik terhadap qaul jadid PBNU hari ini hendaknya berfokus pada praktik dan konteks politik, bukan pada benar atau tidaknya sebuah kebenaran. Jika nantinya semangat anti-puritanisme ini direproduksi kembali untuk memerangi wahabi lingkungan, kita perlu tetap skeptis mengingat NU bisa saja menggunakan wajah moderatnya untuk mempromosikan kebenaran tunggal (yang dulu diperanginya) demi kepentingan praktis. (Vogelmann | Should Critique be Tamed by Realism? A Defense of Radical Critiques of Reason | Genealogy+Critique).

Upaya PBNU membela tambang habis-habisan hari ini tak ubahnya mereplikasi paradigma kolonialisme untuk selalu bergantung pada eksploitasi di bawah dalih pembangunan. Seperti yang dijelaskan oleh Walter Rodney, bahwa semangat kolonialisme adalah untuk memperkuat ketergantungan struktural dan mengeksploitasi sumber daya alam serta tenaga kerja untuk keuntungan segelintir elite, sementara dengan sengaja ataupun tidak, membiarkan rakyat dan lingkungan menjadi korban utama. Dalam konteks ini, pembelaan terhadap tambang tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis justru memperkuat pola eksploitasi yang sama seperti yang dilakukan oleh penjajah di masa lalu, yang mengabaikan hak dan kesejahteraan masyarakat lokal demi keuntungan ekonomi jangka pendek yang bahkan juga tidak sebanding dengan kerugian ekologis jangka panjangnya. Padahal, pembangunan sejati mestinya didasarkan pada Analisa kebutuhan masyarakat lokal, serta keadilan dan keberlanjutan, bukan membudayakan ketergantungan yang terus-menerus terhadap sumber daya yang dieksploitasi secara tidak adil. (Walter Rodney, Africa and Underdevelopment – Utopix)

Sikap dan pendirian PBNU hari ini yang cenderung permisif terhadap eksploitasi alam, yang juga ditandai dengan munculnya pelabelan wahabi lingkungan, tak ubahnya reproduksi cara pandang kolonial yang melihat pandangan lain yang tak menguntungkan kepentingan kelompok sebagai “asing,” sebuah term yang juga kerap kali digunakan oleh presiden kita saat ini, untuk menunjuk-nunjuk pihak yang tak sejalan dengan kepentingannya. (Mungkin Pihak Asing itu Kita).

Dalam konteks PBNU, proses pelabelan tersebut mencerminkan bagaimana kekuasaan dan dominasi coba dipertahankan dengan membangun citra negatif terhadap “yang berbeda”, sehingga memperkuat eksklusi dan marginalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir kolonial yang memandang “yang lain” sebagai inferior atau ancaman masih hidup dan diterapkan dalam dinamika internal keagamaan demi memelihara kepentingan praktis. Hal ini sudah sangat jauh dari latar belakang berdirinya NU sebagai organisasi serta semangat anti-penjajahan yang menjadi motor penggeraknya dahulu kala. Ulama yang pada mulanya berupaya menggunakan moderasi beragama atau Islam Wasathiyah dalam NU demi menjembatani kutub ekstrim dalam memandang agama, kini menjelma pion-pion yang siap melangkah kemanapun demi legitimasi kepentingan. 

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta. Saat ini sedang menempuh studi master Human Rights, Gender and Conflict Studies: Social Justice Perspectives (SJP) di ISS Erasmus University Rotterdam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *