Penulis dan aktivis gender Kalis Mardiasih mengadakan kelas menulis dalam rangka pemberdayaan perempuan pada Minggu, 6 Juli 2025. Acara yang bertempat di Kafe Balcos Compound Yogyakarta ini diikuti oleh berbagai perempuan dari beragam identitas, di antaranya adalah para penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.
Kalis Mardiasih merupakan sosok penulis perempuan yang sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Kini, ia semakin gencar menyebarkan semangat dalam memberdayakan para perempuan Indonesia untuk membantu mengekspresikan dinamika kehidupan yang berlandaskan pengalaman sesama perempuan melalui tulisan.
Dalam kelasnya, Kalis membekali materi yang terdiri dari beberapa pembahasan, di antaranya tentang cara menemukan ide dari keresahan dalam diri terhadap lingkungan, merangkai logika dan emosi dalam tulisan, serta teknik menyunting yang disampaikan langsung oleh salah satu mantan penyunting Penerbit Mojok, Prima Sulistya.
Kalis juga membawakan beberapa materi tentang tentang budaya patriarki yang di dalamnya tidak hanya berisi tentang teori, namun juga diwarnai dengan realitas yang berlangsung secara tidak sadar melalui peran domestik, peran publik, dan peran sosial kaum perempuan.
“Pada faktanya belum banyak dari mereka berani mengungkapkan serta mengekspresikan ketidakadilan gender yang terjadi di Indonesia,” ujar Kalis.
Pada saat kelas menulis berlangsung, peserta terlihat sangat antusias mendengarkan sekaligus menganalisis berbagai bentuk ketidakadilan di sekitar mereka, yang kemudian merelevansikannya sebagai bentuk refleksi. Refleksi tersebut nantinya yang akan dituangkan dalam tulisan sebagai topik utama dari esai yang digarap bersama-sama. Dalam hal ini, para peserta juga akan diajak untuk praktik menulis langsung, yang kemudian dikoreksi bersama-sama oleh Prima Sulistya untuk belajar membenahi kekeliruan yang banyak dilakukan oleh para penulis.
Dalam materi teknik penyuntingan naskah, Prima menekankan beberapa kesalahan yang terjadi secara berulang kali dalam kepenulisan artikel, seperti pemilihan kata yang tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penerapan huruf kapital dalam kepenulisan, serta pengulangan kata yang sama dalam satu kalimat.
“Hal tersebut sering kali dianggap remeh oleh para penulis yang secara tidak langsung akan berdampak pada kredibilitas penulis yang direpresentasikan melalui tulisan,” papar Prima.
Pada sesi diskusi dan tanya-jawab Prima juga dengan santai membagikan tips dan trik dalam mengirim naskah ke redaksi mojok.com agar bisa lolos di tahap seleksi dengan berlandaskan pengalamannya selama bekerja menjadi editor di redaksi mojok.com.
Keterlibatan penggerak GUSDURian dalam kegiatan kelas menulis bagi perempuan merupakan salah satu bentuk dukungan atas pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Kalis. Selain itu kegiatan ini juga sejalan dengan nilai-nilai GUSDURian, yang mana salah satunya adalah pembebasan. Menurut Gus Dur, pembebasan adalah kondisi di mana setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, serta melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bebas dari rasa takut dan otentik, yang menjadi dasar semangat pembebasan.
Dalam hal ini, komunitas GUSDURian sepaham untuk ikut menyukseskan kegiatan. Output-nya akan melahirkan pembebasan untuk para perempuan yang sering kali menjadi korban marjinalisasi agar turut berekspresi melalui tulisan atas ketidakadilan gender yang sering kali dirasakan.
Kelas menulis kali ini terasa istimewa, bukan hanya karena materinya yang padat dan inspiratif, tapi juga karena suasana hangat yang tercipta di antara para peserta, fasilitator, dan komunitas yang terlibat. Bersama Kalis Mardiasih, peserta diajak menyelami lebih dalam pengalaman dan kegelisahan mereka sendiri, sesuatu yang selama ini mungkin hanya tersimpan dalam hati. Melalui tulisan, semua itu perlahan berubah menjadi suara yang utuh dan bermakna.
Kehadiran Prima Sulistya pun menambah kekayaan proses belajar. Dengan cara yang santai namun penuh ketelitian, ia membimbing peserta memahami pentingnya menyusun tulisan yang tidak hanya enak dibaca, tetapi juga sesuai kaidah kebahasaan.
Komunitas GUSDURian Yogyakarta sendiri menunjukkan dukungan nyata dalam proses pemberdayaan perempuan melalui literasi ini. Menulis, bagi para peserta, kini bukan lagi sekadar hobi, tapi juga menjadi alat untuk menyampaikan keresahan, menantang ketidakadilan, dan tentu saja, membebaskan diri. Sebuah langkah kecil yang penuh arti, dari perempuan untuk perempuan, melalui kata-kata yang jujur dan berani.









