CAFE TALKS: Diskusi di Kafe ala GUSDURian Surabaya, Bahas Inklusi Sosial

SURABAYA – Akhir pekan menjadi momen wajib anak muda untuk hangout, salah satunya dengan nongkrong-nongkrong di kafe. Entah sambil WFC (Work From Cafe)–menyelesaikan pekerjaan atau tugas kuliah; ngobrol bersama teman, relasi, atau pacar; atau bahkan menjelajahi kafe-kafe estetik dan instagramable untuk mempercantik tampilan Instagram.

Komunitas GUSDURian Surabaya (Gerdu Suroboyo) melihat hal ini bukan sekedar gaya hidup, tapi peluang ruang temu yang asyik, santai, estetik, dengan obrolan yang tidak kosong. Diskusi ringan soal gerakan, navigasi situasi dan isu terkini, obrolan pun mengalir tapi berisi. Hal ini menjadi cara GUSDURian Surabaya untuk membaur ala gaya Gen Z dengan semangat kolaborasi dan perubahan.

Minggu sore (20/7/25), di salah satu kafe kekinian Jl. Tunjungan No. 9 Genteng bernama Plataran Aruna, sembilan orang penggerak Gerdu mulai berkumpul dari jam 16.00 WIB. Berbagai minuman lengkap dengan cemilan ringan dipesan. Pertemuan itu spesial karena sebelumnya kami sepakat untuk membahas satu hal, yaitu “Navigasi Inklusi Sosial di Surabaya”.

Setelah saling sapa dan menanyakan kabar satu sama lain, Siti Sumriyah, Koordinator Gerdu memulai diskusi dengan menghadirkan kembali kata “inklusi sosial” yang tercantum dalam visi-misi GUSDURian Surabaya. Setelah itu Mbak Sum, sapaan akrabnya, mempersilakan semua orang untuk berbagi pandangan masing-masing akan inklusi sosial di Surabaya.

Dimulai dari Ike yang mengatakan inklusi itu mestinya merangkul semua di segala aspek. “Misalnya saya Islam dan perempuan. Dari segi agama saya merasa mayoritas. Tapi sebagai perempuan nggak, inklusi sosial masih kata-kata, belum aksi nyata. Kalau di Gerdu sendiri Inklusif karena pemimpinnya perempuan,” ujarnya. 

Ichan pun melanjutkan, inklusi sendiri adalah cara membuat sebuah lingkungan setara, tanpa melihat ras, agama, atau lainnya. “Surabaya dan permasalahannya, kebijakan, fasilitas dan yang perlu, intinya anak muda harus berdampak positif. Kelas advokasi yang sudah dilakukan Gerdu kemarin merupakan dasarnya, dan ruang-ruang seperti ini (diskusi) bisa membuat brainstorming, sama kebijakan publik sih,” ucapnya.

Menanggapi soal kebijakan publik, Samsul yang notabenenya kuliah di jurusan hukum menimpali, kebijakan yang dibuat mestinya melibatkan dan melihat masyarakat. “Bukan hanya bagaimana kebijakan publik itu menguntungkan mereka (pemerintah/elite), seperti UU TNI, wamen rangkap jabatan, dan lain-lain,” imbuhnya.

Mendengar pemaparan tadi, Nesa, salah satu peserta yang turut hadir melanjutkan, tidak semua masyarakat dapat mengayomi satu sama lain, baik yang disabilitas, agama, perempuan, dan lainnya. “Dari Gerdu sekarang sudah bergerak di isu disabilitas (selain ekologi, pendidikan, agama dan budaya), lebih diperbanyak lagi,” paparnya.

Fathur, penggerak Gerdu tiba giliran menyampaikan pandangannya. Menurutnya, inklusif tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang termarjinalkan, karena semua orang bisa jadi korban, misal problem inklusivitas di Surabaya transportasi umum.

“Transportasi umum Surabaya jauh dari kata baik. Contoh, Bandara Juanda yang belum memiliki akses transportasi umum memadai baik menuju atau dari Bandara Juanda sendiri. Orang-orang minta parkir dibatasi tapi warganya memakai kendaraan pribadi,” jelasnya. Ia juga menambahkan, transportasi umum Surabaya tidak maju karena tidak memakai kartu sekali akses.

Dita sendiri, salah satu penggerak Gerdu lainya, menyoroti isu inklusivitas ini dari bisnis dan HAM, di mana operasional bisnis mestinya memperhatikan aspek-aspek martabat manusia. “Seperti jam kerja, cuti untuk perempuan, serta yang tak kalah penting melibatkan semua orang (termasuk perempuan dan disabilitas) dalam semua prosesnya. Misal pembangunan infrastruktur, ranah ini erat sekali dengan laki-laki, dan desainnya berdasarkan barometer laki-laki, padahal kebutuhan perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan sendiri juga masih mendapatkan beban ganda; bekerja dan urusan domestik,” ungkapnya.

“Di dunia kerja, perempuan juga mendapatkan diskriminasi, misal tuntunan memiliki penampilan tertentu untuk naik jabatan seperti dalam film Imperfect. CEO industri kecantikan banyak dipegang laki-laki, padahal lini bisnis ini erat dengan perempuan, belum dengan urusan domestik tadi yang harus masak, mengambil air bersih yang bisa jadi tempatnya jauh, itulah kenapa infrastruktur penting bagi perempuan selain untuk kemajuan ekonomi,” imbuhnya.

Terakhir, Simon juga menyampaikan analisisnya. Baginya, melihat keadilan mestinya bukan dari aspek keadilan itu sendiri dulu, melainkan perlu dilihat dari ketidakadilannya dulu.

“Seperti masalah soal egaliter, tapi ada ketidaksetaraan ekonomi, dari status lalu ke akses. Seperti kesetaraan akses orang Muslim. Seorang anggota PBNU dengan orang penghayat itu tidak setara. Seperti hak di mata hukum dalam kasus Tom Lembong dan lainnya. Contoh lain, kasus pelecehan seksual, kalau gak Islam gak ramai,” ungkapnya.

“Inklusi sosial adalah tentang bagaimana prasangka ditumbuhkan. Rasisme terhadap Tionghoa bisa diatasi oleh kita sendiri, namun jika kita tidak aware maka kita tidak bisa apa-apa. Jadi jangan dieksklusifkan dan ini bukan masalah hanya orang Tionghoa, tapi masalah bersama, yaitu rasisme,” tegasnya.

Sebagai penutup, Samsul menyimpulkan, bahwa kunci inklusif hanya satu, yaitu punya pengetahuan. Itulah kenapa orang-orang yang konservatif agama misal, memakai kaca mata kuda, karena tidak melihat dari konteks sosialnya.

“Kenapa pemikiran Gus Dur bisa melampaui orang beragama lain? Karena Gus Dur pintar. Dia tidak takut imannya luntur,” paparnya. Peserta lain pun menimpali, untuk menciptakan masyarakat yang memiliki pengetahuan, salah satunya bisa dilakukan melalui cara yang dilakukan oleh Gerdu Surabaya saat ini, yaitu menciptakan ruang-ruang berbagi pengetahuan.

Diskusi sore itu pun ditutup dengan menandaskan semua makanan dan minuman yang dipesan. Tak lupa pula, sebelum pulang para peserta melakukan ritual wajib pertemuan, berfoto, dan mempostingnya di media sosial.

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *