Teladan Kepengasuhan dari Mas Imam 

Imam Aziz, nama yang sangat familiar di kalangan nahdliyin dan aktivis. Seseorang yang diketahui sering berada di belakang layar dan menjadi motor penggerak perubahan orang-orang muda NU. Mas Imam, mereka menyebutnya, juga salah satu tokoh yang paling sering didatangi kelompok masyarakat rentan untuk mengadukan nasib atas ketidakadilan sistem yang mereka alami. Forum Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) di Muktamar Jombang 2015, Jama’ah Nahdliyin Yogyakarta, serta Jaringan GUSDURian adalah gerakan orang muda yang salah satunya dipelopori oleh Mas Imam.

Jauh sebelum gerakan ini lahir, Mas Imam lebih dulu telah menginisiasi LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang menerbitkan buku-buku Islam transformatif lebih dari dua dekade silam dan mendirikan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), sebuah gerakan yang dinilai cukup berani saat itu karena merekonsiliasi pelaku dan korban kekerasan konflik 1965. Mas Imam juga pernah menjadi salah satu jajaran ketua PBNU selama dua periode (2010-2022), ketua panitia Muktamar NU Jombang (2015) dan Lampung (2022), serta Staf Khusus Wakil Presiden (2019-2022). 

Sebagai pembela kaum lemah dan sahabat wong cilik, Mas Imam selalu hadir di tengah-tengah masyarakat yang terpinggirkan untuk membersamai dan mengadvokasi masalah yang mereka hadapi. Dalam situasi apa pun, Mas Imam selalu lemah lembut dan sopan kepada siapa saja, namun tegas dan badas dalam sikap dan pemikirannya. Mas Imam cenderung pendiam dan lebih banyak mendengarkan. Saya banyak memperhatikan ketika ada orang-orang yang bertamu ke rumah beliau untuk mengadukan suatu perkara atau saat sedang rapat, Mas Imam lebih banyak mendengarkan dan manggut-manggut dengan tenang. Dia akan merespons sekiranya semua informasi telah selesai disampaikan. Ini adalah sikap yang sangat sedikit dimiliki oleh para aktivis dan senior yang ditokohkan. Sikap ini jugalah yang membuat Mas Imam disegani banyak orang. Dia tidak takut dipandang sebelah mata atau disalahtafsiri sikapnya. Dia adalah versi otentik atas dirinya sendiri.  

Di balik sosok pendiam dan bersahaja ini, tak banyak orang tahu bagaimana relasi Mas Imam dengan anak-anaknya dalam mendidik dan menemani tumbuh kembang mereka. Dari pernikahannya dengan Rindang Farihah, Mas Imam dikaruniai empat orang anak (dua laki-laki dan dua perempuan). Mas Imam adalah seorang ayah yang terlibat penuh dalam kepengasuhan. Semua anaknya sangat dekat dengannya meski masa kanak-kanak mereka jarang ditunggui di rumah sebab aktivitasnya sebagai penggerak sosial dan ketua PBNU dituntut dengan mobilitas cukup tinggi. Beruntung, saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana kepengasuhan yang dilakukan oleh Mas Imam kepada anak-anaknya. 

Papa yang selalu dirindukan anak-anaknya 

Mas Imam menikah saat kariernya sudah sangat matang, sehingga ketika anak pertama lahir dia sudah dikenal banyak orang dengan segala aktivismenya. Bahkan ketika anak pertamanya belum masuk usia sekolah dasar, Mas Imam telah menjabat sebagai salah satu ketua PBNU. Ketiga anak yang lain lahir saat Mas Imam berada dalam dua periode kepengurusan PBNU dan juga menjabat Stafsus Wakil Presiden. Bisa dibayangkan, anak-anak ini sudah sering melihat tamu-tamu datang dan pergi ke rumah mereka. Tak jarang ketika bangun tidur mereka tidak menjumpai ayahnya yang sudah berada di luar kota. Mereka harus rela berbagi waktu dengan orang-orang yang bahkan mereka sendiri tidak mengenalnya.

Sewajarnya anak-anak, mereka juga sering ngambek, tantrum, bertengkar satu sama lain, merajuk, bahkan teriak-teriak jika keinginannya tidak keturutan. Mas Imam hanya diam, mendengarkan dan sesekali memanggil nama anak yang merajuk ini dengan lembut. Tidak pernah sekalipun Mas Imam berteriak memarahi anaknya apalagi sampai memukul. Yang ada malah Mas Imam yang kena pukul kalau ada anak yang tantrum. Setelah mereka tenang dan berhenti menangis, biasanya mereka akan memeluk ayahnya dan bersandaran manja.

Meski lebih sering tinggal di Jakarta, saat di rumah (Jogja) Mas Imam akan memastikan sendiri kebutuhan anak-anaknya. Di pagi hari, Mas Imam akan membangunkan anak-anaknya satu per satu untuk salat Subuh dan menyiapkan sarapan sesuai menu yang diinginkan mereka. Jika anak-anak mengajukan menu yang berbeda, Mas Imam akan memasak semuanya. Anak yang malas-malasan dan tidak mau bangun akan digendong dan dimandikan Mas Imam.

Ada juga yang sejak kecil tidak suka dengan keformalan dan bertemu dengan banyak orang. Dia punya gayanya sendiri. Ketika ikut hadir di acara ayahnya, anak ini hanya mengenakan celana kolor, kaos oblong dan sandal karet. Begitupun ketika sekolah, dia paling anti memakai pakaian formal. Beruntung saat itu di sekolahnya tidak ada aturan berseragam, jadi ke sekolah cukup dengan baju kasualnya. Apa pun itu, Mas Imam tidak pernah mempermasalahkan, yang penting anaknya nyaman dan ke sekolah dengan riang.

Jarak sekolah kurang dari satu kilometer dari rumah, biasanya Mas Imam mengantar anak-anaknya dengan sepeda motor Honda Vario, tanpa helm, dan hanya mengenakan sarung dan kaos oblong. Anak pertama dan kedua satu sekolahan di MI Pesantren Sunan Pandanaran. Mereka akan dibonceng depan dan belakang. Pulang dari mengantar anak-anak, Mas Imam akan mampir belanja sayuran di pasar dekat pesantren atau di Pasar Rejodani. Dengan statusnya sebagai salah satu ketua PBNU, Mas Imam cukup luwes untuk blusukan ke pasar. Sepulang dari pasar, dia akan memasak sendiri sarapannya. Mas Imam akan mengajak serta siapa saja yang tinggal di rumahnya untuk sarapan bersama. Ada beberapa santri putra yang ikut tinggal di rumah bagian depan (terpisah dari rumah utama) dan akan membantu keluarga terutama ketika Mas Imam berada di luar kota.  

Anak ketiga yang saat itu masih di TK Afkaruna memiliki jam masuk sekolah lebih siang dari kedua kakaknya. Anak ini hampir setiap hari memiliki “proyek” yang tujuannya menghindar untuk berangkat ke sekolah. Segala drama akan dimunculkan, dari yang tidak mau mandi, lari-larian, tidak mau sarapan hingga Mas Imam harus mengejar untuk menyuapinya, baju yang selalu tidak cocok dan minta ganti untuk mengulur waktu berangkat ke sekolah, juga sembunyi di belakang pintu saat ayahnya sudah men-starter kendaraan. Dengan telaten Mas Imam menghadapi tingkah anak-anaknya ini.

Ada kekhawatiran yang dirasakan mereka. Saat pulang sekolah atau bangun tidur mendapati ayahnya sudah tidak ada lagi di rumah dan berada jauh di luar kota yang entah kapan pulangnya. Namun, tiba-tiba di pagi hari yang lain ayah mereka sedang menyapu halaman. Kondisi demikian sudah akrab dengan mereka selama bertahun-tahun. Kini anak-anak tumbuh menjadi remaja. Seminggu lalu seolah kejadian dejavu. Saat bangun tidur, ayahnya berada di rumah namun telah berada jauh di luar jangkauan mereka.

Sabtu, 12 Juli 2025 menjadi hari yang panjang. Jarum jam seolah tak bergerak untuk menuju pukul 10 pagi. Anak-anak bangun di pagi hari seperti biasanya. Namun kali ini kondisinya berbeda. Bertahun-tahun mereka terbiasa ketika bangun di pagi hari, ayahnya sudah berada di Jakarta tanpa pamitan karena saat berangkat, mereka masih terlelap. Hari itu, mereka bangun namun dengan mata sembab dan sorot mata linglung. Anak ketiga bahkan hanya duduk termenung namun bulir-bulir air mata terus mengucur. Dengan lirih berucap, “Papa kenapa bohong. Papa bilang mau mengantarkanku ke pondok besok”.

Anak-anak ini menunggu, seolah berharap ayahnya hanya pergi ke luar kota seperti biasa. Bukan pergi untuk selamanya. Di antara mereka tak ada lagi kata, hanya menatap untuk saling menguatkan. Lalu lalang orang sudah tak mereka hiraukan. Banyak tangan mengulurkan salam, mereka hanya diam. Kejadian yang kurang dari 24 jam masih berputar-putar di kepala. Berharap itu hanya menjadi kembang tidur saja.

Dua pekan berlalu setelah pemakaman ayahnya. Kini anak ketiga berganti status menjadi santri di pondok tempat Mas Imam dimakamkan. Setiap hari sepulang sekolah, dia selalu menyapa ayahnya di makam. Pemandangan ini sudah biasa bagi santri-santri di Pesantren Bumi Cendekia. Suatu malam, anak ini menghampiri pengasuh yang telah selesai mengajar ngaji, dia bertanya, “Bu, Papa ngajar apa?”. Dijawab oleh pengasuhnya kalau ayahnya mengajar Tafsir Jalalain. Dengan penasaran dia melanjutkan, “Kapan?”. Dengan berat hati pengasuh itu menjawab lagi, “Malam Minggu, Mas”.

Karena melihat mata yang berkaca-kaca, pengasuh itu melanjutkan, “Besok ada Pak Rofiq yang akan mengajar”. Anak ini sangat berharap bahwa besok ayahnyalah yang akan datang mengajar. Dengan terus menatap pintu gerbang pesantren, anak ini tak lelah menunggu ayahnya. Anak yang dulu selalu mengulur-ulur waktu berangkat ke sekolah agar bisa selalu bersama ayahnya, kini dia bersemangat untuk belajar karena masih berharap ayahnyalah yang akan mengajarnya.  

Mas Imam begitu mencintai dan menyayangi anak-anak. Rasa cintanya dia dedikasikan untuk membangun sekolah dan pesantren inklusif untuk siapa saja yang ingin belajar. Dengan kesibukan sebagai salah satu Stafsus Wakil Presiden, Mas Imam masih meluangkan waktu seminggu sekali untuk mengajar ngaji sendiri. Sebelum kelulusan santri tahun ini, Mas Imam telah merampungkan kitabnya, memberikan ijazah bagi para santri yang ingin mengajarkan ilmunya. Tepat ketika tugasnya selesai menemani ngaji, Mas Imam dipanggil Gusti Allah di hari yang indah.

Kepergian yang mendadak namun menjadi kecemburuan banyak orang. Bahkan Mbak Alissa Wahid berbisik saat menunggu jenazah di rumah sakit, “Aku ingin seperti Mas Imam, pergi dengan tenang tanpa rasa sakit berkepanjangan”. Kini Mas Imam telah dimakamkan di tempat pengabdian terakhirnya, Pesantren Bumi Cendekia. Pesantren dengan anak-anak yang akan selalu mengelilinginya, meneladani perjuangannya, dan melanjutkan nilai-nilai yang telah ditanamkannya.

Staf Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian Divisi Jaringan dan Advokasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *